Bab 7
*Happy Reading*
'Sayang'
Hanya karena satu kata itu, aku langsung linglung seketika. Otakku blank, haluku membumbung tinggi.
Serius!
Saking linglungnya, setelah itu aku sampai tidak tau bagaimana perdebatan Pak Dika dengan guntur setelahnya. Yang kuingat, mereka memang sempat berdebat sebentar, sebelum Pak Dika menggiringku pergi dari sana.
Anehnya, Pak Dika tidak membawaku ke parkiran, atau tempat mobilnya terparkir. Melainkan ke sebuah warung rokok yang ada di dekat kampusku.
Warung yang bentuknya gerobak, tapi gak ada rodanya, dan bisa masuk satu orang ke dalamnya.
Aish ... pokoknya kaya gitu aja. Ngerti, kan? Pernah lihat, kan?
"Duduk!" titah Pak Dika pelan, tapi tegas.
Karna aku masih dalam mode linglung, aku pun menuruti titahnya, untuk duduk di dekat warung itu. Tapi bukan di kursi, melainkan di trotoar.
Entah apa maksud Pak Dika melakukan ini padaku. Yang jelas, setelah itu di terlihat mengobrol dengan pemilik warung dan menunjuk-nunjuk aku.
Eh, dia gak niat bakal jual aku, kan?
Setelah bicara beberapa menit dengan pemilik warung, Pak Dika pun kembali ke tempatku sambil membuka jas dan jam tangan mahalnya. Setelah itu mengambil botol air mineral besar, membukanya, dan ....
Byur!!
"Aakkhhh!" Aku pun langsung memekik dan refleks berdiri, kala dia menuang seluruh isi botol ke atas kepalaku.
"Bapak!"
"Kamu bau banget, Intan," jawabnya cepat.
"Tapi--"
"Kamu butuh mandi!" selanya lagi.
Astaga! Maksudnya apa coba?
Iya, aku tau aku memang butuh mandi karena aroma busuk ini. Tapi ...
"Nggak di sini juga kali, Bapaaaaaakkkk," kesalku kemudian. Sambil cemberut tak terima.
"Ya, trus mau di mana? Saya gak mau nganterin kamu pulang kalo bau kamu busuk seperti ini," balasnya tanpa perasaan.
"Ya--"
"Dan saya yakin, angkot atau siapapun gak akan mau melakukannya juga kalo kamu masih beraroma seperti ini!"
Benar juga sih! Tapi ... tetep aja gak kaya gini caranya. Emang aku apaan coba dimandiin pinggir jalan kaya gini.
"Tapi ... kan saya bisa mandi di toilet atau--"
"Kelamaan Intan, juga gak bakal ada sabun atau sampo di sana. Mending di sini lengkap," tukasnya lagi tak bisa di bantah.
"Udah! Duduk lagi!" titahnya sekali lagi. Sambil mendudukan aku di trotoar, dan kembali membuka botol air mineral kemasan besar. Yang kemudian di siapkan beberapa dus di dekatnya oleh sang pemilik warung.
Ya, ampun. Dia niat banget loh, mandiin aku di sini.
Tak sampai di sana, dia pun meminta beberapa sachet shampo rencengan, dan menuangkannya di atas kepalaku. Kemudian menggosok-gosoknya lembut sekali. Seperti memandikan anaknya.
Bisa bayangin, kan? Gimana nelangsanya aku di sini?
Walaupun begitu, Yang jelas kali ini aku sudah pasrah saja udah. Karena memang merasa, percuma juga melawannya.
Pak Dika ini tipe dominan. Dia itu dalam beberapa kesempatan memang kadang tidak bisa di bantah. Karena dia anak pertama, pernah jadi suami, dan kini jadi orang tua tunggal.
Nah, kebayangkan, gimana otoriter nya dia?
Beberapa pejalan kaki melirikku sambil mengulum senyum dan berbisik-bisik menyebalkan. Tapi aku gak perduli. Dan lebih memilih menikmati saja pijatan lembut di kepalaku dari tangan Pak Dika.
Kapan lagi yee kan, di mandiin cogan kek gini? Sekalipun musti di pinggir jalan. Gak papa, deh. Yang penting udah ngerasain belaian lembut tangannya.
Aduh! Otakku memang mulai geser kayaknya.
"Angkat tangan kamu, Intan!" titahnya lagi, yang langsung ku turuti dengan baik. Yaitu mengangkat kedua tanganku tinggi-tinggi.
"Selonjorin kakinya!" Kembali, aku melaksanakan apa yang pria ini perintahkan.
Lalu, Tanpa kata lagi. Pak Dika pun menyiram-nyiram seluruh tubuhku dengan telaten, dan fokus sekali.
"Pak, ini gak sekalian buka baju. Terus pake sabun gitu? Nanggung banget kalo cuma kepala doang mah. Tubuh saya juga butuh di mandiin, nih!" tantangku sekalian. Sengaja menggodanya.
Namun, Pak Dika hanya melirikku sekilas, dan menaikan sebelah alisnya sebelum mendengkus geli.
"Nanti Bella cemburu," jawabnya singkat. Sebelum meberikan handuk kering padaku, yang entah dia dapat dari mana.
"Udah selesai mandiinnya?" tanyaku sekali lagi, mencoba memastikan. Siapa tau ada season dua atau tiganya, gitu.
Akan tetapi, Pak Dika hanya mengangguk. Sebelum menyeka peluh di dahinya. Dan menemui sang pemilik warung untuk membayar semua yang sudah di pakai.
Entah dia harus membayar berapa, aku gak perduli. Soalnya, takut disuruh bayar. Hehehehe ...
Lalu, setelah urusan bayar membayar selesai. Dia pun mengambil jas dan jam tangannya lagi. Sebelum menggiringku ke arah parkiran kampus. Di mana mobilnya terparkir.
"Tunggu sebentar!" Lagi-lagi, dia memberikan perintah, yang tidak bisa aku bantah. Ralat, tepatnya tak ingin aku bantah.
Lalu, Pak Dika pun membuka bagasi belakang mobilnya. Kemudian terlihat mengacak-acak isi yang lumayan terdapat banyak barang ternyata.
Akan tetapi, kalo di lihat baik-baik. Barang di sana sudah pasti punya anaknya, si Bella. Karna di sana ada mainan, bebek-bebekan, sendal, sepatu, selimut dan banyak lagi. Tapi semuanya bernuansa pink. Dan seorang Mahardika, gak mungkin pake sesuatu berwarna pink, kan?
Nanti jadi cucok!
"Bapak nyari apa?" Karna terlalu lama menunggu. Aku pun tidak tahan untuk bertanya pada pria, yang saat ini tengah memakai kemeja hitam tanpa dari dan jas itu.
"Kaos," jawabnya singkat.
"Kaos?" beoku.
"Iya, seingat saya. Saya masih punya kaos cadangan di sini. Tapi saya lupa taruh di mana. Uhm ... ah, ini dia!" tiba-tiba dia memekik riang. Seraya menujukan kaos oblong berwarna hitam kearahku.
"Maksudnya?" Aku masih tak mengerti arti tindakannya ini untukku.
"Ck, kamu gak mungkin pulang dengan basah kuyup seperti itu Intan. Makanya ganti sana kaos kamu dengan ini," jelasnya sambil menyodorkan Kaos pasti bersize besar di tubuhku itu.
"Tapi yang basah bukan cuma kaos, Pak. Celana sampe daleman saya pun basah semua. Gimana dong?" terangku dengan polos.
Pak Dika pun terlihat berpikir sejenak , sebelum mengacak-acak kembali isi paper bag yang sama. Lalu ...
"Pake sarung ini dulu."
Astaga!
Dikira aku mau sunat apa di kasih sarung begitu?
