Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6

*Happy Reading*

Menurut kalian. Apa yang harus kulakukan setelah di siram tak manusia seperti itu? Apalagi dengan Air yang aromanya busuk sekali.

Mengamuk.

Tentu saja! Memangnya aku harus diam saja di perlakukan seperti itu? Oh ... maaf, aku gak sebaik itu dan tidak salah. Jadi, tidak ada alasan untukku mengalah. Betul?

Aku mengamuk, aku berteriak marah dan menerjang si cewek gila itu.

Tadinya aku menjambak rambut cewek itu, tapi dia membalasku sambil meraup wajahku. Ya, sudah. Aku juga ikutin aksinya, dengan meraup wajahnya yang penuh dempulan.

Tak hanya itu, aku juga sengaja membasahi tanganku dengan tetesan air di baju, sebelum meraup wajahnya, dan memeluknya kencang.

Maksud aku, biar dia juga beraroma sama denganku, yaitu bau busuk dari air yang dia bawa. Adil, kan?

Kalo kaya gini dia jadi senjata makan tuan. Bener, gak?

Wanita itu pun murka. Dan kembali menjambakku. Dengan senang hati aku ladenin, dong. Karena aku juga sudah gemas dengan rambut blonde, hasil karya salon mewah itu.

Persetan dengan biaya yang dikeluarkan untuk membentuk rambutnya. Yang jelas, berhubung dia sudah berani cari ribut sama aku. Maka, sudah jadi hukum wajib untukku melibasnya. Setuju?

Melihat aksiku. Si Nur kembar pun seperti tak ingin kehilangan moment. Mereka pun langsung mengabadikan kejadian itu dengan ponsel mereka.

Sahabat kampret memang! Bukannya nolongin malah sibuk bikin Video. Dan ternyata, bukan cuma si kembar Nur yang melakukan itu. Tapi sebagian besar penghuni kantin yang ada di sana. Sebagiannya lagi, menyoraki dan pasang taruhan untuk menentukan kemenangan.

Ya, salam. Mereka bener-bener solimi ya sama aku?

Namun, Entah karena video mereka, atau karena sudah dapat kabar dari mulut ke mulut. Tak berselang lama, Guntur pun datang dengan kawan-kawannya. Dan langsung memisahkan kami. Membuat koor bernada kecewa menggema di sana.

"Sayang, kamu lihat! Cewek itu bikin rambut sama makeup aku rusak," rajuk wanita itu, sambil menunjukan wajah melas pada Guntur.

Lebay!

"Jangan playing victim lo! Yang cari ribut pertama itu lo! Dasar makhluk dempulan!" Sergah Ku tak ingin kalah.

"Udah diem!" lerai Guntur, "Kalian nih kenapa, sih? Kaya anak kecil aja tau, gak? Gak malu di liatin maba yang lain?" katanya lagi. Membuat aku berdecak kesal.

Memang karna siapa coba kami jadi kaya gini?

"Kalo ada masalah itu, diomongin. Jangan kaya gini? Kalian pikir aku gak malu jadi bahan rebutan kalian?"

Wuanjir!!

Pede sekali si buaya satu ini?

"Sok cakep banget lo?" tukas ku tak terima. "Lo kira, gue ngelawan dia buat elo, gitu? Dih, gak ada Faedahnya banget." sambungku dengan sarkas.

"Loh, tapi--"

"Gue ngelawan buat harga diri gue sendiri. Bukan buat elo, Guntur Adisaksena. Sekarang, daripada lo makin besar kepala lagi. Mending lo seret nih cewek dari hadapan gue. Dan jangan berani muncul di hadapan gue lagi!" tambahku dengan tegas.

"Tan, kamu salah faham. Dia ini bukan cewek aku. Kami sudah putus dah--"

"Bodo amat! Gue udah males sama lo! Minggir lo!" Aku sengaja menyelanya, dan mendorongnya menjauh agar bisa segera pergi dari sana.

Begini ya pemirsah! Aku akui, aku memang suka sama Guntur dan nargetin dia jadi gebetan. Tapi, kalo ternyata deket sama dia malah bikin aku nambah musuh, ya ... aku gak mau lah?

Emang siapa dia? Baru gebetan doang. Calon pacar dan bukan calon suami. Jadi ... ngapain aku bela sampai mati, coba?

Demen boleh, dungu jangan!

Kaya gak ada cowo lain aja yang bisa ku gebet, yee kan?

"Tan, tunggu dulu. Aku bisa jelasin semuanya. Kamu jangan ngambek gini dong. Aku tuh udah klik banget sama kamu. Aku mau jadi pacar kamu!" Guntur menghalangi langkahku. Dan mencoba meluluhkan hatiku.

Sayangnya, aku sudah gak minat sama dia. Soalnya aku udah hilang respect, entah karena apa.

"Gue udah gak minat. Minggir lo!" Tolakku tegas. Sambil mendorongnya menjauh kembali.

"Tan?"

"Intan?"

Entah ini keajaiban atau apa. Tiba-tiba tak jauh dari tempatku. Pak Dika muncul dan memanggil namaku juga.

"Nah, calon laki gue udah dateng. Minggir lo. Gue mau balik!" Aku pun sengaja berbohong. Agar bisa terlepas dari Guntur.

"Loh, itu bukannya Papanya Bella."

Aduh! Aku lupa kalo Guntur pernah lihat Pak Dika waktu negor si Bella.

"Iya, emang dia Papanya Bella. Kenapa? Gak masalah kan, kalo gue nikah sama dia?" balasku lagi. Mencoba tetap tenang menghadapi Guntur. Padahal aslinya ketakutan parah.

Apalagi kalo sampai Pak Dika tau kebohonganku. Bisa makin mati kutu aku!

"Jadi kamu nolak aku demi Duda itu?" seru Guntur tak terima.

Bangke, ya! Aku udah ngomong pelan, biar Pak Dika gak curiga. Eh, si Guntur malah ngomong pake toa. Bisa turun pamor aku kalo kaya gini?

"Memang kenapa kalo saya Duda? Bukannya, cinta itu tak memandang status?"

Bukan, itu bukan jawabanku. Tapi jawaban Pak Dika yang entah sejak kapan sudah ada di belakangku.

"Tapi usia kalian sangat jauh. Bapak harusnya malu!" tukas Guntur tak terima.

"Kenapa harus malu? Intannya sendiri gak keberatan, kok. Iya kan, Sayang?" balas Pak Dika sambil meraih pinggangku mesra sekali.

Maakkkk ... Intan mau pingsan aja kalo kaya gini ...

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel