Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5 Liburan

Hari-hari berlalu setelah pertemuan penuh emosi dengan Elan. Celine tetap menjalani pekerjaannya seperti biasa, namun pikirannya tak sepenuhnya berada di tempat yang sama. Tatapan kosong kerap menghiasi wajahnya di balik layar laptop, dan senyum-senyum kecil yang biasa ia berikan pada rekan kerja mulai jarang muncul.

Sampai akhirnya, di sebuah pagi yang tenang, Celine membuka jendela apartemennya dan menatap langit biru bersih. Udara terasa berbeda. Ada suara dari dalam dirinya yang berbisik:

“Pergilah. Menjauh sebentar. Ambil jeda.”

Tanpa pikir panjang, ia membuka laptopnya dan mulai browsing destinasi. Ia tak ingin keramaian, tak ingin tempat yang terlalu mewah. Hanya ingin tempat di mana suara ombak lebih lantang dari suara notifikasi, dan aroma laut menggantikan aroma kopi kantor.

Dan akhirnya ia memilih sebuah pulau kecil di timur—tenang, indah, dan nyaris asing.

---

Hari Pertama

Celine turun dari speedboat kecil yang membawanya dari dermaga utama ke pulau penginapan. Angin laut menerpa wajahnya, membuat rambutnya berantakan tapi ia tak peduli. Ia melangkah pelan di pasir putih yang hangat, dengan sandal jepit dan topi lebar yang menutupi separuh wajah.

Kamar penginapannya sederhana, dinding kayu berlapis anyaman bambu, tapi langsung menghadap laut. Ia membuka jendela, dan pemandangan biru luas menyambut tanpa gangguan.

Tak ada suara klakson. Tak ada suara notifikasi.

Hanya angin dan ombak.

Malam itu ia duduk di teras, mengenakan kimono tipis, menatap bintang sambil menyesap teh hangat. Pikirannya pelan-pelan mulai tenang.

---

Hari Kedua

Pagi-pagi, Celine bangun tanpa alarm. Ia berjalan ke pantai hanya dengan kaus dan celana pendek, lalu duduk di atas batu besar menunggu matahari terbit.

Dan saat semburat oranye muncul di cakrawala, ia tersenyum kecil.

“Udah lama aku nggak secinta ini sama keheningan,” bisiknya pada diri sendiri.

Hari itu ia mengikuti kelas yoga kecil di dekat penginapan, lalu membaca novel yang lama tak sempat disentuh. Tak ada panggilan kerja. Tak ada pertanyaan dari siapa pun. Dan yang lebih penting—tak ada Elan.

Tapi, sesekali bayangan wajah pemuda itu melintas. Senyumnya. Tatapannya. Ketulusan yang belum tentu bisa ia temukan lagi di tempat lain.

---

Hari Ketiga

Ia mencoba snorkeling. Menyelam di antara karang dan ikan-ikan kecil. Di bawah air, semuanya terasa sunyi dan damai. Tak ada yang bisa menyentuhnya. Tak ada yang bisa mengusiknya.

Dan saat malam tiba, ia menulis di buku kecil yang ia bawa.

> “Mungkin hidup bukan tentang memilih yang aman, tapi memilih yang membuat kita lebih hidup.”

---

Hari Keempat

Ia menyewa sepeda dan menyusuri jalan setapak keliling pulau. Bertemu anak-anak lokal yang bermain layang-layang. Tertawa. Melihat langit terbuka.

Di sebuah bukit kecil menghadap laut, Celine duduk lama sendirian. Di sana, untuk pertama kalinya ia mengakui pada dirinya sendiri.

“Aku merindukannya.”

Tapi kali ini, rindu itu tidak membuatnya lemah. Justru membuatnya sadar—bahwa ia masih punya pilihan untuk menentukan siapa yang layak ia perjuangkan.

---

Hari Kelima

Pagi itu, ia memesan tiket pulang.

Bukan karena ia bosan. Tapi karena ia sudah cukup memberi jeda untuk hati yang sempat lelah.

Ia berdiri lama di dermaga, angin laut mengibaskan rambutnya. Ponselnya kembali aktif, dan seketika puluhan notifikasi masuk.

Salah satunya… dari Elan.

“Kamu di mana?”

“Aku nyariin kamu tiap hari.”

“Pulanglah. Aku mau kamu tahu satu hal…”

“…aku belum selesai.”

Celine tersenyum kecil.

Pulau ini memberinya jeda.

Tapi sekarang, waktunya kembali.

Bukan untuk menyerah.

Tapi untuk menentukan… apakah cinta yang datang dari tempat tak biasa, layak untuk dibawa ke masa depan.

Celine menatap layar ponselnya yang menampilkan notifikasi pesan dari Elan. Jari-jarinya sempat gemetar. Bukan karena marah, bukan karena rindu yang tak tertahan, tapi karena… ada bagian dari dirinya yang belum siap untuk kembali.

Ia duduk di ujung dermaga, kaki menjuntai ke air laut yang bening. Angin sore menyapu wajahnya lembut. Di sisi kanan, kapal kecil yang harusnya membawanya kembali ke kota sudah mulai bersiap. Tapi langkah Celine tak kunjung beranjak.

“Celine?” panggil Pak Darto, petugas penginapan yang juga merangkap pemandu lokal. “Kapalnya sudah siap. Nanti sore ombak mulai tinggi.”

Celine menoleh pelan. “Kalau saya mau perpanjang satu malam lagi, bisa, Pak?”

Pak Darto tersenyum ramah. “Wah, bisa banget. Malah kami senang kalau Mbaknya betah di sini.”

Ia tersenyum kembali, lembut. “Tolong dibantu ya, Pak. Saya nggak jadi pulang hari ini.”

“Siap, Mbak Celine.” Pak Darto pun beranjak, membatalkan pemesanan kapal untuknya.

Celine menatap air laut yang memantulkan sinar matahari sore. Tangannya kembali meraih ponsel. Ia membuka pesan Elan satu per satu, membaca setiap kata dengan hati-hati. Hatinya bergetar. Tapi kali ini, bukan karena ingin segera kembali, melainkan karena ingin memaknai semuanya lebih dalam.

Ia tak langsung membalas pesan-pesan itu.

Sebaliknya, ia menulis sebuah pesan baru di draft, namun belum ia kirim:

> Elan, aku belum pulang. Bukan karena aku tak rindu. Tapi karena aku ingin memastikan bahwa aku pulang dengan hati yang utuh. Bukan hati yang setengah ragu, setengah berharap.

Kalau kamu benar-benar mau melanjutkan ini, jangan cuma tunggu aku di kota. Cari aku. Temukan aku. Tunjukkan kalau kamu cukup berani melangkah, bukan hanya bicara.

Ia menatap tulisan itu lama, lalu menghela napas dan menyimpannya di draft. Belum dikirim.

Malam itu, Celine duduk sendirian di kursi rotan teras penginapannya. Langit bertabur bintang, suara jangkrik menggantikan musik dari earphone.

Tak ada drama. Tak ada air mata.

Hanya seorang wanita yang sedang belajar mencintai dirinya sendiri lebih dulu,

sebelum membiarkan cinta orang lain datang lagi dengan segala risikonya.

Dan mungkin… malam ini,

ia benar-benar merasa bebas.

Malam itu udara terasa lebih hangat, meski angin laut tetap berembus lembut. Celine mengganti bajunya dengan dress katun selutut berwarna gading, lalu melangkah keluar dari kamar penginapannya. Rambutnya diikat sederhana ke belakang, dan di tangan kanannya ia menggenggam kamera saku kecil—kamera yang dulu sering ia bawa sebelum hidupnya dipenuhi deadline dan klien.

Ia berjalan menyusuri bibir pantai yang sunyi. Hanya ada jejak langkahnya di pasir basah, dan suara ombak yang seolah mengajak bicara.

Di kejauhan, tampak sebuah pondok kayu kecil milik pemilik penginapan, berdiri di atas batu karang rendah. Di sana ada lampu minyak tergantung, menciptakan cahaya temaram yang cantik. Celine menghampiri tempat itu, lalu duduk di bangku kayu yang menghadap langsung ke laut lepas.

Dari sakunya, ia mengeluarkan kamera dan mulai memotret malam. Cahaya redup. Butiran pasir. Ombak kecil yang pecah pelan di kaki batu.

Klik.

Lalu ia diam. Menatap hasil jepretan. Dan tersenyum.

Senyum kecil, tulus, seperti senyum seorang gadis yang baru menemukan kembali bagian dirinya yang sempat hilang.

Ponselnya bergetar pelan di saku.

Ia mengeluarkannya.

Pesan masuk dari Elan. Hanya satu kalimat.

"Kalau aku datang ke sana, kamu mau ketemu?"

Celine menatap pesan itu lama. Jantungnya berdebar. Tapi kali ini, tak ada panik. Tak ada bingung.

Ia tak langsung membalas. Tapi perlahan, ia mengetik:

> “Kalau kamu tahu apa yang kamu cari, silakan datang.”

Ia kirim. Tanpa embel-embel tambahan.

Lalu menatap laut lagi, lebih tenang dari sebelumnya.

Tak lama kemudian, Pak Darto muncul di kejauhan sambil membawa dua gelas teh jahe hangat. “Lagi menikmati laut malam, Mbak?” sapanya sambil tersenyum.

Celine mengangguk. “Iya, Pak. Rasanya baru kali ini saya bisa benar-benar diam dan nggak mikir apa-apa.”

Pak Darto duduk di sisi bangku yang lain dan meletakkan teh hangat di depannya. “Pulau ini memang bukan cuma buat wisata. Kadang, orang datang ke sini buat nemuin dirinya sendiri lagi.”

Celine tersenyum. “Mungkin itu juga alasan saya di sini, Pak.”

Angin berembus.

Lautan tetap bergelombang,

tapi hati Celine… mulai diam.

Esok hari, mungkin segalanya akan berubah.

Mungkin Elan akan datang. Mungkin tidak.

Tapi malam ini,

untuk pertama kalinya dalam hidupnya—

Celine merasa ia tak sedang menunggu siapa pun.

Ia hanya sedang menemukan dirinya. Dan itu… cukup indah untuk dirayakan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel