Bab 6 Ancaman Mommy
Keesokan paginya, langit tampak sedikit berawan. Celine terbangun lebih awal dari biasanya, bukan karena alarm, tetapi karena ada sesuatu dalam dirinya yang terasa… gelisah. Bukan gelisah karena sedih, tapi lebih seperti firasat bahwa sesuatu sedang menuju ke arahnya.
Ia bangkit dari tempat tidur, membasuh wajah, lalu mengenakan pakaian santai—blus putih longgar dan celana kain tipis. Rambutnya dibiarkan terurai. Setelah menyeduh kopi sachet dari laci kamar, ia duduk di beranda kamarnya yang menghadap laut, menatap cakrawala yang mulai diterpa cahaya mentari pagi.
Ponselnya tergeletak di meja kecil. Tak ada pesan baru.
Tapi… ada suara motor dari kejauhan. Bukan suara biasa.
Motor besar.
Celine berdiri perlahan. Mencondongkan tubuh sedikit ke tepi beranda. Suara itu semakin dekat. Dan kemudian, terlihat seorang pria dengan helm hitam turun dari ojek lokal di jalan kecil menuju penginapan.
Ia melepas helmnya pelan-pelan.
Elan.
Celine membeku. Matanya membelalak, napasnya tercekat sejenak.
Pria itu berdiri di bawah sinar matahari pagi yang masih lembut. Wajahnya sedikit lelah, rambutnya berantakan karena perjalanan laut dan darat. Tapi matanya—mata itu menatap langsung padanya, hangat dan teguh.
Celine turun dari beranda, langkahnya pelan namun mantap. Elan berdiri diam, membiarkannya mendekat. Tidak terburu-buru. Tidak berkata apa-apa dulu.
Hingga akhirnya mereka berdiri hanya satu meter berjauhan.
“Gila kamu,” ujar Celine lirih, setengah tertawa, setengah terharu.
Elan menarik napas. “Aku enggak bisa nunggu kamu pulang, Ce. Aku takut kamu benar-benar pergi. Bukan cuma dari kota… tapi juga dari aku.”
Celine menatapnya dalam. “Aku nggak pergi dari kamu, Elan. Aku cuma… butuh waktu buat tahu aku pantas diperjuangkan atau tidak.”
Elan mendekat setapak. “Kamu nggak perlu minta dipantaskan. Dari awal aku jatuh karena kamu jadi diri kamu sendiri.”
Sunyi sesaat. Angin laut meniup rambut Celine, dan ia menunduk pelan.
“Aku takut, Elan. Takut kalau kita ini cuma euforia sesaat. Kamu muda, penuh semangat. Aku... lebih tua, punya banyak luka.”
Elan mengangkat wajahnya dengan kedua tangan. “Aku juga punya luka. Tapi aku nggak nyari yang sempurna, Ce. Aku nyari orang yang bisa duduk bareng aku kayak gini—di ujung dunia sekalipun—dan masih mau bicara jujur.”
Celine menahan napas, matanya berkaca-kaca.
“Kalau kamu masih ragu, aku bisa tinggal di sini seminggu. Atau dua. Kita ngobrol. Kita diam bareng. Kita lihat, ini cinta atau cuma angin lewat.”
Celine tersenyum tipis. “Kamu nggak takut ditelan ombak?”
Elan tertawa kecil. “Kalau ombaknya kamu, aku rela.”
Celine menutup wajahnya sejenak, tertawa sambil menggeleng.
Lalu akhirnya—untuk pertama kalinya sejak semua kekacauan terjadi—ia melangkah maju, memeluk Elan. Pelan. Tapi erat.
Dan di pantai kecil yang tenang itu, di antara angin, matahari pagi, dan deru ombak…
dua hati yang pernah ragu, akhirnya mulai melangkah ke arah yang sama.
Pelukan itu terasa menenangkan. Celine memejamkan mata di dada Elan, mendengar detak jantungnya yang cepat tapi mantap. Ia berpikir mungkin… untuk kali ini, ia bisa membuka diri.
Namun, kebersamaan yang baru sekejap itu terganggu oleh getaran ponsel di saku jeans Elan. Bergetar terus, berkali-kali. Celine pelan-pelan melepaskan pelukannya. Elan mengerutkan kening, lalu menarik ponsel dari saku.
“Mommy.”
Tiga panggilan tak terjawab.
Lalu, panggilan keempat masuk.
Dengan napas berat, Elan mengangkat.
“Iya, Mom?”
Suara di seberang langsung meledak, cukup keras sampai Celine pun bisa samar-samar mendengarnya.
“Kamu di mana?! Kamu pikir ini lucu kabur-kaburan begitu? Pulang sekarang, Elan! Sekarang juga! Jangan bikin Mommy makin malu!”
Elan menutup matanya sejenak, memijit batang hidungnya. “Mom, aku—”
“Nggak ada alasan! Papamu baru pulang dari luar kota dan dia murka. Kamu pikir dengan kabur ke pulau, masalah selesai? Sekarang juga kamu balik! Kalau kamu nggak pulang malam ini juga, semua fasilitas kamu Mommy bekukan. Mobil, kartu, semua!”
Celine menunduk, menggenggam tangannya sendiri. Suara di seberang telepon itu terasa seperti tamparan bagi harga dirinya. Ia tahu… Elan masih hidup di bawah kendali orangtuanya.
“Aku lagi…” Elan melirik ke arah Celine yang masih berdiri di hadapannya, mencoba memilih kata. “…di tempat yang penting.”
“Elan.”
Kali ini suara sang mommy lebih tajam, dingin, dan tegas.
“Pulang. Atau kamu kehilangan semuanya.”
Klik. Sambungan terputus.
Sunyi menggantung di antara mereka. Elan menatap ponselnya sejenak, lalu perlahan menurunkannya.
Celine menghela napas. “Kamu harus pulang.”
Elan menatapnya, kecewa. “Aku nggak mau ninggalin kamu lagi.”
“Tapi kamu harus hadapi itu.” Celine melangkah pelan, tersenyum lembut. “Aku nggak mau jadi alasan kamu putus hubungan sama keluargamu, Elan. Urus mereka. Bicarakan semuanya.”
Elan menunduk. “Tapi kalau aku pulang, Mommy akan—”
“Kalau kamu benar-benar mau berjuang buat kita,” potong Celine, “kamu harus pulang bukan karena tunduk, tapi karena siap berdiri sebagai diri sendiri.”
Elan terdiam. Lalu mengangguk pelan.
Celine menyentuh lengannya sebentar. “Aku nggak akan ke mana-mana. Aku masih di sini. Tapi aku juga nggak akan tunggu terus kalau kamu cuma lari-lari.”
Ia tersenyum. Lalu berbalik, melangkah pelan kembali ke kamarnya.
Elan berdiri di sana, menggenggam ponsel yang sunyi.
Laut di hadapannya bergelombang pelan.
Dan ia tahu—badai yang sesungguhnya, baru akan dimulai di rumah.
Langit siang itu mulai berwarna abu-abu, pertanda hujan mungkin akan turun. Elan berdiri di tepi dermaga, menatap perahu kecil yang telah disiapkan oleh Pak Darto untuk menyeberang ke pelabuhan utama. Ranselnya digantungkan di satu bahu, dan wajahnya tampak jauh lebih dewasa dari saat pertama kali menginjakkan kaki di pulau ini.
“Sudah yakin, Mas?” tanya Pak Darto sambil membantu menyeimbangkan tangga perahu.
Elan mengangguk pelan. “Sudah, Pak. Terima kasih untuk semuanya.”
Pak Darto tersenyum bijak. “Kadang, untuk membuktikan cinta… memang bukan cukup tinggal. Tapi berani kembali, dan menghadapi semuanya.”
Elan menatap laut sejenak, lalu naik ke perahu. Ia memilih duduk di ujung, dekat mesin, menatap ke arah pantai yang perlahan menjauh.
Dan di sana, dari kejauhan, berdiri sosok wanita yang tidak ia sangka akan begitu memikat hatinya—Celine.
Celine berdiri di depan penginapan, hanya diam menatap dari jauh. Rambutnya tertiup angin, mata tak berkedip, dan senyum kecil menggantung di bibirnya. Ia tak melambaikan tangan. Ia hanya diam. Tapi diam itulah yang paling terasa menghantam hati Elan—karena di balik diam itu, tersimpan kepercayaan.
Kepercayaan bahwa Elan akan kembali. Setelah menyelesaikan apa yang perlu ia bereskan.
Perahu mulai menjauh, menyeberangi laut yang tenang tapi dalam. Elan duduk dalam diam, ponselnya tergenggam di tangan. Ia membuka galeri dan melihat foto-foto yang ia ambil diam-diam selama di pulau—foto Celine yang tertawa di pantai, foto siluetnya di bawah cahaya senja, foto tangan mereka yang sempat saling menggenggam.
Lalu ia mengirim pesan pendek.
> Aku pulang sekarang, bukan karena menyerah. Tapi karena aku ingin kita punya masa depan yang nggak harus disembunyikan.
Tak lama kemudian, ia menambahkan satu pesan lagi.
> Tunggu aku, Ce. Aku janji akan datang lagi… kali ini dengan kepala tegak.
Pesan itu terkirim.
Tak ada balasan.
Tapi Elan tahu, cinta yang dewasa tidak selalu bicara cepat.
Kadang, cinta hanya perlu waktu… dan bukti.
Dan sore itu, dengan langit yang mendung dan hati yang mantap, Elan pulang.
Menuju rumah, menuju keluarganya, dan pada akhirnya—menuju keputusan yang akan menentukan apakah ia layak untuk mencintai seorang wanita seperti Celine… atau hanya akan menjadi kenangan singkat yang tak cukup kuat bertahan.
