Bab 4 Nasehat Mama
Setelah kepergian Amanda, Celine duduk kembali di ruangannya. Tangannya refleks meraih cangkir kopi yang sudah dingin, tapi kali ini tak sempat disesap.
Ponselnya bergetar.
Di layar tertulis:
Mama
Celine terdiam sejenak. Ia tahu, jika ibunya menelepon di jam kerja seperti ini, pasti ada yang penting. Ia segera mengangkat.
“Hallo, Ma?” suaranya pelan, berusaha terdengar biasa.
“Celine?” suara Mama di seberang terdengar lembut, tapi penuh rasa ingin tahu. “Kamu baik-baik saja, Nak?”
Celine tersenyum miris. “Iya. Baru aja selesai ketemu tamu penting.”
“Hm… tamu penting? Atau tamu istimewa?” Suara Mama seperti mengendus sesuatu.
Celine terdiam beberapa detik, lalu menghela napas. “Mama udah dengar dari siapa?”
“Tante Agnes. Dia bilang temennya, si Bu Amanda, baru aja main ke kantor kamu. Katanya nyari tahu soal kamu.”
Celine mengusap kening. “Cepet banget ya gosip nyebar.”
“Kamu tuh kenapa nggak cerita dari awal?” suara Mama mulai terdengar cemas. “Kamu deket sama cowok muda? Elan, anaknya Amanda itu?”
Celine mengangkat bahu, meski tak terlihat. “Nggak gitu deket, Ma. Kita ngobrol, cocok, tapi... ya, aku juga tahu ini rumit.”
“Kamu sadar nggak siapa kamu hadapi? Itu Bu Amanda, Celine. Ibu-ibu kelas atas yang hidupnya kayak ratu. Kalau dia nggak suka sama kamu, dia bisa bikin hidupmu berantakan.”
“Aku tahu, Ma. Tapi aku juga nggak bisa pura-pura nggak ngerasa apa-apa.” Suara Celine mulai lirih. “Elan itu beda. Dia tulus, polos, tapi juga keras kepala. Dan… dia bikin aku ngerasa muda lagi.”
Di ujung telepon, Mama terdiam sebentar sebelum berkata, “Celine, kamu boleh sayang sama siapa aja. Tapi jangan lupa, kamu juga harus jaga diri. Jangan sampai perasaan kamu dimainin atau disalahpahami.”
Celine memejamkan mata. “Aku ngerti, Ma.”
“Dan satu lagi…” suara Mama sedikit melembut, “…kalau dia memang serius, dia akan berjuang. Tapi kalau dia mundur hanya karena disuruh ibunya, kamu harus rela lepasin.”
Celine membuka mata, menatap jendela kaca ruangannya yang mengarah ke gedung-gedung tinggi kota.
“Iya, Ma. Aku juga pengen tahu… sejauh mana dia mau jalan demi aku.”
“Kalau gitu, kamu tenang aja dulu. Jangan gegabah. Mama percaya kamu bisa hadapi ini.”
“Terima kasih, Ma.”
Telepon ditutup. Celine menggenggam ponselnya erat, kemudian menatap bayangan dirinya di pantulan kaca.
“Kalau kamu memang nggak main-main, Elan…
buktikan itu. Karena aku sudah terlalu lama capek menghadapi cinta yang cuma separuh jalan.”
Celine meletakkan ponselnya pelan di atas meja. Napasnya teratur, tapi ada ketegangan tipis yang masih tertinggal di dadanya. Ia menyandarkan diri ke sandaran kursi sejenak, memejamkan mata, mencoba mengatur ulang emosi yang sempat naik turun sejak pagi.
Tak boleh terlalu larut dalam perasaan.
Masih banyak pekerjaan menunggu.
Ia membuka laptop, kembali ke dokumen presentasi kampanye iklan baru untuk klien kosmetik lokal yang sedang berkembang. Slide demi slide, ia baca ulang dengan detail. Tangannya mulai sibuk mengedit copywriting, mengatur ulang elemen visual agar pesan tersampaikan dengan lebih kuat.
Beberapa menit kemudian, pintu diketuk.
“Masuk,” sahutnya tanpa mengalihkan pandangan.
Seorang anggota tim desain masuk—Dina, anak magang yang baru sebulan bergabung.
“Maaf, Mbak Celine. Ini hasil revisi banner digital untuk kampanye ‘Glow From Within’. Kata Mas Rio tadi Mbak yang mau lihat langsung,” ujar Dina sambil menyodorkan tablet.
Celine mengambilnya. “Oke, makasih, Din. Duduk aja dulu, ya.”
Dina duduk dengan gugup di kursi seberang meja, sementara Celine meneliti desain itu dengan teliti. Warna-warnanya cukup menarik, tipografi sudah lebih lembut, dan elemen wajah model kini lebih menyatu dengan background.
“Ini sudah jauh lebih baik,” ujarnya sambil mengangguk. “Tapi coba elemen bunga yang di kiri itu digeser sedikit. Biar visualnya lebih seimbang. Dan tone warna kulit model agak terlalu pucat, kita harus pastikan dia tetap kelihatan segar dan natural.”
“Baik, Mbak. Saya revisi sekarang juga,” ujar Dina dengan senyum lega.
Celine mengangguk dan mengembalikan tablet itu. “Kamu kerja bagus, Din. Terus pertahankan semangatmu.”
Begitu Dina keluar, Celine membuka kembali emailnya. Ada beberapa permintaan meeting, follow up proposal, dan satu surel dari divisi keuangan terkait anggaran media placement. Ia menyingsingkan lengan kemeja, mulai membalas satu per satu, suara keyboard memenuhi ruangan.
Wajahnya serius, penuh fokus.
Tapi di sela kesibukan itu, ada satu detik ketika tatapannya kosong, mengarah ke kaca jendela. Bayangan Elan melintas. Suaranya. Senyumnya. Tatapan jujurnya yang begitu yakin ketika bilang, “Aku pengen kenal kamu lebih dalam.”
Celine menggeleng pelan, membuang jauh bayangan itu.
Bekerja. Fokus. Jangan sampai perasaan menghancurkan disiplin.
Ia merapikan rambut ke belakang telinga, lalu menulis satu catatan kecil di sticky note yang ia tempel di tepi layar laptop:
“Jangan ragu untuk pergi dari yang tak yakin. Tapi beri ruang untuk yang mau bertahan.”
Hari itu berjalan panjang. Tapi satu hal pasti:
Celine tidak akan mundur, tidak akan lemah.
Bila cinta datang dengan tantangan, ia akan menyambutnya bukan dengan air mata—tapi dengan kepala tegak dan hati yang teruji.
Menjelang sore, ruangan kerja Celine mulai diterpa cahaya kekuningan dari matahari yang mulai condong ke barat. Suara tuts keyboard masih terdengar, sesekali diiringi bunyi notifikasi email masuk. Timnya satu per satu mulai berpamitan pulang, namun Celine tetap duduk di meja dengan mata terpaku pada layar laptop.
“Celine, kamu nggak pulang bareng yang lain?” tanya Rio, salah satu rekan kerja yang mampir di ambang pintu.
Celine menoleh dan tersenyum tipis. “Masih mau beresin sedikit lagi. Kamu duluan aja, Ri.”
“Jangan lembur tiap hari, loh. Nanti makin susah move on dari kantor.” Rio terkekeh sebelum berlalu.
Begitu pintu tertutup kembali, Celine mendesah pelan. Matanya mulai lelah, tapi pikirannya masih belum mau tenang. Ia menutup laptop dan bersandar, menatap langit sore yang mulai bergradasi jingga keunguan dari balik jendela besar.
Di saat seperti ini, pikirannya kembali melayang pada Elan.
Pertemuan pertama mereka di kafe kecil, cara Elan mengajak ngobrol tanpa beban, lalu motor yang tiba-tiba mogok di pinggir jalan, hingga obrolan panjang larut malam di teras apartemen Celine.
Anak itu…
Terlalu jujur. Terlalu spontan. Tapi justru itu yang membuatnya… menyentuh.
Namun wajah sang ibu—Amanda—juga masih tertinggal jelas di benaknya. Tatapan penuh penilaian, nada bicara yang meremehkan, dan perintah halus yang tajam: “Lepaskan dia.”
Celine berdiri, berjalan pelan ke dispenser dan menuang air putih ke gelas. Ia menyesapnya sambil berdiri di dekat jendela.
Ponselnya tiba-tiba bergetar di meja.
Nama di layar: Elan
Celine terdiam. Tangannya sempat ragu beberapa detik sebelum ia berjalan kembali dan mengangkat panggilan itu.
“Hallo,” ujarnya singkat.
“Ce…” suara Elan terdengar pelan, berat. “…kamu di kantor?”
“Iya. Baru mau pulang.”
“Aku… bisa ketemu kamu sekarang?”
Celine menghela napas. “Elan, kamu nggak perlu maksa. Aku ngerti kalau kamu—”
“Aku nggak maksa. Tapi aku butuh ketemu kamu. Sekarang.” Suaranya terdengar serius. Tidak seperti biasanya yang ceroboh dan asal bicara.
Celine diam. Lalu akhirnya berkata, “Temui aku di bawah. Lima belas menit.”
Tanpa menunggu jawaban, ia menutup panggilan dan segera mengambil tas serta jas tipisnya. Ia berdiri sejenak di depan cermin kecil dekat pintu, merapikan rambut, lalu keluar dari ruangan.
**
Di lobi gedung kantor yang sudah mulai sepi, Celine menuruni eskalator dan melihat Elan berdiri tak jauh dari pintu keluar. Ia mengenakan hoodie hitam dan celana jeans, kontras dengan suasana profesional sekitar. Tapi yang lebih mencolok adalah wajahnya—lelah, sedikit bingung, namun jelas ingin bicara.
Begitu melihat Celine, Elan melangkah cepat menghampiri.
“Ce, aku minta maaf.”
Celine menatapnya tanpa ekspresi. “Untuk apa?”
“Untuk tadi malam. Untuk hari ini. Untuk Mama. Dia… dia nggak punya hak datang ke kamu begitu.”
Celine menghela napas. “Dia ibumu, Elan. Dan dia cuma melakukan apa yang dia anggap benar.”
Elan menggeleng, emosinya naik. “Tapi aku juga punya hak memilih jalan hidupku. Kamu tahu nggak, Ce, seumur hidup aku selalu disetirin Mama. Bahkan waktu milih kuliah. Tapi kamu…” Elan menatap matanya, dalam. “…kamu bikin aku pengen jadi laki-laki yang mutusin hidupnya sendiri.”
Celine menahan napas.
“Aku nggak peduli dia siapa. Aku tahu ini mungkin nggak mudah buat kamu, tapi aku serius, Ce. Aku pengen terus deket sama kamu. Aku pengen buktiin kalau aku nggak main-main.”
Celine terdiam. Hatinya bergejolak, tapi wajahnya tetap tenang.
“Elan…” suaranya lirih, “…kalau kamu memang serius, kamu harus siap. Bukan cuma soal aku dan kamu. Tapi juga tentang menghadapi keluargamu, gosip, penilaian orang. Ini nggak akan mudah.”
Elan tersenyum kecil. “Aku nggak cari yang mudah. Aku cari yang nyata.”
Dan di tengah sore yang mulai meredup, di antara keramaian jalanan dan gedung tinggi, Celine untuk pertama kalinya tak sanggup berkata apa-apa lagi.
Karena mungkin… untuk pertama kalinya juga, ia percaya,
berondong ini benar-benar siap jatuh cinta, dengan cara yang paling dewasa.
