Bab 3 Rencana Mommy Amanda
Pagi datang dengan dingin yang enggan beranjak. Matahari sudah tinggi ketika Elan membuka mata, tapi kantuk masih menggantung di pelupuk. Ia sempat terpejam lagi beberapa detik—sampai terdengar ketukan pelan di pintu kamarnya.
Tok. Tok. Tok.
“Elan? Bangun, Nak. Sarapan sudah siap. Papa juga sudah tunggu kamu. Katanya hari ini kamu ikut ke kantor,” suara Mommy terdengar dari luar, datar, tak semarah semalam, tapi tetap terdengar mengontrol.
Elan duduk pelan. Punggungnya masih terasa kaku, pikirannya juga belum jernih. Ia menatap cermin di seberang tempat tidur. Rambut awut-awutan. Mata sembab.
"Aku ikut ke kantor..." gumamnya dengan getir. “Tapi cuma jasadku. Jiwaku masih pengen balik ke semalam.”
Ia bangkit, berjalan ke kamar mandi, mencipratkan air dingin ke wajah. Setelah beberapa menit, ia berpakaian rapi—kemeja putih, celana kain gelap, dan sepatu formal. Gaya formal ini selalu membuatnya merasa bukan dirinya sendiri, tapi hari ini ia memilih diam.
Turun ke bawah, meja makan sudah tertata rapi. Sang Papa duduk membaca koran digital di tablet. Mommy sedang mengaduk teh. Saat melihat Elan, ia tersenyum tipis.
“Good morning. Sudah siap untuk hari pertamamu di kantor Papa?”
Elan menarik kursi dan duduk. “Siap, Mom.”
Papa menoleh, mengangguk singkat. “Nanti kita langsung ke bagian pengembangan produk. Kamu mulai dari bawah. Jangan harap jadi bos cuma karena anak pemilik perusahaan.”
Elan menahan senyum miring. “Iya, Pah. Aku ngerti.”
Mereka makan dalam hening. Tapi kepala Elan jauh dari meja makan. Pikirannya kembali ke semalam. Saat Celine menyerahkan helm dan berkata, “Kamu belum siap buat jadi laki-laki yang bisa ambil keputusan sendiri.”
Ia mengelus layar ponsel di sakunya. Belum ada balasan dari Celine.
Setelah sarapan, ia masuk ke mobil bersama Papa. Mobil melaju menyusuri jalanan kota yang sibuk. Elan memandang keluar jendela, melewati kafe tempat ia dan Celine bertemu pertama kali.
Tangannya bergerak mengetik pesan singkat.
Elan:
Aku ikut Papa ke kantor hari ini. Hari pertama jadi "orang serius".
Tapi jujur, rasanya aneh banget, Ce. Kayak… bukan aku.
Ia menatap layar beberapa saat, lalu mengirimnya.
Tak ada balasan.
Tapi tak apa. Untuk pertama kalinya, Elan tidak hanya melangkah… tapi belajar menunggu. Belajar tumbuh.
Dan jauh di dalam hatinya, ia percaya, ia dan Celine belum benar-benar selesai.
Begitu suara deru mobil menghilang di balik gerbang rumah, sang Mommy—Amanda—berdiri dari kursinya di meja makan. Jemarinya merapikan bagian bawah gaun rumahnya yang mewah, tapi sorot matanya menyiratkan sesuatu yang jauh dari tenang. Ia berdiri tegak di ruang makan yang kini sepi, kemudian melangkah menuju ruang kerja kecil pribadinya di lantai satu.
Tak butuh waktu lama untuknya duduk di depan laptop. Ia membuka layar, membuka catatan dan beberapa akun media sosial, lalu mengetik pelan sambil bergumam.
“Perempuan dewasa, pulang malam, dan berhasil mempengaruhi Elan…” katanya, matanya menyipit. “Kita lihat siapa kamu sebenarnya.”
Ia membuka akun media sosial Elan terlebih dahulu, menggulir ke foto-foto lama. Tak ada banyak petunjuk. Elan memang tidak sering unggah foto pribadi. Tapi… satu story highlight menarik perhatiannya—ikon kecil motor dan tulisan: "Ride with surprise passenger ”
Amanda mengklik.
Video pendek. Goyangan kamera, lalu sekilas siluet seorang wanita turun dari motor. Rambut panjang, rok selutut, heels—terlihat elegan, meski wajahnya tak jelas.
Amanda mengecilkan mata. “Huh. Ini bukan anak kuliahan biasa.”
Ia mengangkat ponselnya, menekan cepat nomor asistennya.
“Eva, aku butuh kamu cari informasi. Ada kemungkinan Elan terlibat dekat dengan seorang wanita. Umurnya… kemungkinan di atas dia, jauh. Penampilannya dewasa dan rapi. Mungkin bekerja di sekitar kawasan perkantoran pusat kota. Cari tahu siapa saja yang baru-baru ini intens kontak atau terlihat dekat dengan Elan. Termasuk siapa saja yang dia jemput malam-malam.”
Suara Eva di ujung telepon terdengar ragu.
“Baik, Bu Amanda… Tapi, apa saya boleh tahu tujuan pencarian ini?”
Amanda tersenyum kecil tapi tajam. “Tujuannya? Untuk menyelamatkan masa depan anakku. Sebelum wanita tak tahu diri itu menjeratnya lebih dalam.”
Selesai menutup telepon, ia kembali menatap layar laptop. Kali ini ia membuka aplikasi pelacak yang ia simpan secara diam-diam di ponsel Elan—yang pernah ia pasang waktu Elan sering bolos kuliah di semester pertama.
Ia melihat riwayat lokasi semalam. Titik berhenti lama di salah satu gedung kantor pusat. Amanda menatap layar itu lama.
“Hmm. Kantor? Sudah selarut itu? Kau bukan anak magang, Elan…”
Tangannya kembali bergerak lincah di keyboard, mencari direktori kantor yang sesuai dengan lokasi. Ia menelusuri nama-nama karyawan wanita, satu demi satu. Hingga matanya berhenti pada satu nama:
Celine A. Pranata – Manager Divisi Kreatif
Ia mengklik profil LinkedIn-nya. Latar belakang profesional yang kuat. Usia? Tiga puluh dua.
Amanda menyandarkan punggungnya ke kursi, bibirnya menyeringai dingin.
“Tentu saja. Tipe wanita mandiri yang selalu merasa lebih tahu dari ibu si laki-laki.”
Ia menutup laptop perlahan, lalu bangkit.
“Baiklah, Nona Celine. Mari kita lihat seberapa kuat kamu mempertahankan Elan. Karena kalau kamu pikir bisa merebut anakku begitu saja…” Amanda berjalan menuju jendela, memandang jauh ke luar.
“…kamu belum pernah berhadapan dengan aku.”
Sinar matahari siang menembus kaca tinggi kantor tempat Celine bekerja. Ruangannya berada di lantai delapan, tertata rapi dengan suasana hangat khas pemiliknya—lukisan kecil berwarna pastel, tanaman hijau di pojok ruangan, dan aroma kopi dari mesin kecil di meja sudut.
Celine baru saja selesai membimbing presentasi tim desain, kini tengah duduk santai sambil menyesap kopi ketika pintu ruangannya diketuk.
Tok. Tok.
“Masuk,” ujarnya tanpa menoleh.
Pintu terbuka, dan seorang resepsionis muda masuk dengan wajah ragu. “Maaf, Mbak Celine, ada seorang tamu… seorang wanita. Katanya bernama Bu Amanda. Dia tidak membuat janji, tapi bilang ini penting dan mendesak.”
Celine memutar kursi, alisnya terangkat.
“Amanda?” gumamnya.
Ia sempat berpikir. Lalu…
Satu nama langsung terlintas.
Mommy-nya Elan.
“Baik. Suruh naik. Aku akan temui di ruang rapat kecil,” ucap Celine tenang, walau detak jantungnya sedikit naik.
Tak lama kemudian, Celine melangkah ke ruang rapat kecil kaca bening di sebelah ruang kerjanya. Ia duduk lebih dulu, menenangkan diri, lalu menoleh saat pintu dibuka oleh resepsionis.
Dan di sanalah Amanda—anggun, tajam, dan berjalan masuk seperti seorang ratu yang siap menyidang.
“Selamat siang, Ibu Amanda,” sapa Celine sopan, berdiri sambil tersenyum profesional.
Amanda menatap Celine dari ujung kepala hingga ujung kaki sebelum duduk dengan anggun di seberang meja. “Siang juga… Celine, ya?”
Celine mengangguk. “Benar. Ada yang bisa saya bantu?”
Amanda menyilangkan kaki, meletakkan tas mahalnya di samping kursi, lalu bersandar ringan. “Langsung saja, ya. Saya ini ibu dari Elan.”
Celine menahan senyum kaget, namun tetap menjaga ekspresi tenang. “Saya sudah menduganya. Tapi saya tidak menyangka Ibu sampai datang langsung ke kantor.”
“Saya hanya ingin tahu…” Amanda menatap tajam, “…apa niat kamu mendekati anak saya?”
Celine mengangkat dagunya sedikit. “Saya tidak mendekati siapa-siapa, Bu. Elan dan saya hanya… kenal. Ngobrol. Kadang makan bersama.”
“Dia pulang terlambat karena kamu.” Suara Amanda terdengar dingin.
“Kalau saya tidak salah ingat, Elan sudah cukup dewasa untuk memilih sendiri kapan harus pulang,” jawab Celine, masih sopan, tapi nadanya mulai mengeras.
Amanda tersenyum miring. “Dewasa di umur tidak selalu berarti dewasa dalam berpikir. Kamu… wanita usia matang. Cerdas. Karier bagus. Tapi tetap saja—apa yang kamu harapkan dari hubungan dengan laki-laki seusia anakku?”
Celine menatap tajam. “Apa yang Ibu khawatirkan? Bahwa saya akan merusak masa depan Elan? Atau bahwa Elan akan memilih sesuatu di luar kendali Ibu?”
Seketika, ruangan itu menjadi senyap.
Lalu Amanda berdiri perlahan. “Saya tidak datang untuk berdebat. Saya hanya ingin kamu tahu… Elan itu seluruh dunia saya. Aku membesarkannya dengan susah payah. Mendidiknya untuk jadi laki-laki hebat, bukan mainan perempuan ambisius yang sedang bosan.”
Celine ikut berdiri. “Saya tidak main-main dengan siapa pun, Bu. Dan saya tidak sedang bosan. Tapi saya juga tidak minta hubungan ini. Elan yang datang ke hidup saya.”
Amanda mendekat, berdiri hanya satu langkah dari Celine. “Lepaskan dia.”
Celine menatap mata wanita itu dalam-dalam. “Saya tidak menggenggam siapa-siapa, Bu. Kalau Elan ingin pergi, saya akan jadi orang pertama yang membukakan pintu.”
Amanda menatapnya lama. Wajahnya tetap dingin, namun seberkas emosi melintas di matanya.
Kemudian ia melangkah pergi, anggun, elegan, namun jelas… belum selesai.
Dan Celine? Ia berdiri sendiri di ruangan kaca itu, menarik napas panjang, lalu menghembuskan pelan.
Satu senyum tipis muncul di sudut bibirnya. Bukan karena menang—tapi karena ia tahu…
Pertarungan baru saja dimulai.
