Bab 2 Perintah Mommy
Bunyi motor menggeram lembut di tengah lalu lintas malam yang tak terlalu ramai. Angin menerpa wajah Celine yang duduk di jok belakang, tangannya melingkar erat di pinggang Elan. Meski mereka belum bicara banyak sejak meninggalkan kantor, keheningan itu terasa nyaman. Aneh, tapi menyenangkan.
Celine sedikit menyandarkan dagunya di bahu Elan. “Kita mau makan di mana, sih? Jangan bilang warteg.”
Elan tertawa kecil. “Warteg juga romantis kalau sama kamu.”
“Aku pulang sekarang juga kalau kamu serius.”
“Santai, Ce. Aku udah booking tempat spesial. Ada live music, rooftop, lampu gantung. Pokoknya cocok buat tante cantik yang keras kepala.”
Senyum Celine mengembang, namun belum sempat ia menjawab, ponsel Elan yang terselip di dashboard motornya bergetar keras.
“Mommy calling…”
Celine melirik layar sekilas. “Mommy?” gumamnya, heran. “Kamu masih manggil mama kamu ‘Mommy’?”
Elan mendecak pelan dan menepi ke pinggir jalan. Ia mengangkat helm sedikit dan menekan tombol hijau.
“Halo, Mom?”
Suara di ujung sana terdengar nyaring, bisa terdengar samar oleh Celine dari jarak sedekat itu.
> “Elan Nathaniel! Kamu di mana sekarang?! Sudah hampir jam sembilan malam dan kamu belum pulang! Kamu pikir kamu tinggal sendirian?!”
Elan menghela napas. “Aku keluar sebentar, Mom. Nggak jauh, santai aja—”
> “Dengan siapa kamu keluar? Bukan dengan teman-teman kampusmu, kan? Kamu itu anak satu-satunya, Elan. Mommy nggak suka kamu keluyuran malam-malam. Kalau kamu jatuh, siapa yang urus?”
Elan menatap Celine, yang sedang berusaha keras menahan tawa di balik helmnya.
“Mom, aku baik-baik aja. Aku nggak sendirian. Aku bareng… temen,” jawab Elan pelan.
> “Teman? Teman cewek?”
Elan terdiam.
> “Pulang sekarang. Mommy tunggu sepuluh menit. Jangan sampai Mommy harus telepon Daddy buat cari kamu.”
Elan menutup telepon tanpa menjawab. Diam sejenak, lalu menyandarkan kepala ke setang motor dan mendesah panjang.
“Gagal total,” gumamnya.
“Wah,” Celine berseru pelan sambil membuka helm. “Ternyata si berondong masih di bawah kekuasaan mamanya, ya?”
Elan menatapnya tanpa senyum, tapi wajahnya memerah. “Maaf ya. Harusnya malam ini bisa lebih seru.”
Celine hanya tersenyum tipis dan menggeleng. “Nggak apa-apa. Mommy kamu benar kok. Kamu memang masih bocah.”
“Ce—”
“Udah. Aku pesan taksi online sendiri aja.” Celine menyerahkan helm, lalu turun dari motor. “Kamu pulang. Anak baik nggak boleh bikin ibunya marah, kan?”
“Celine, aku serius sama kamu,” ujar Elan, suaranya berat.
“Aku tahu. Tapi kamu belum siap buat jadi laki-laki yang bisa ambil keputusan sendiri.”
Elan menunduk, tak bisa membantah.
Sebelum melangkah pergi, Celine menatap Elan sekali lagi. “Besok-besok kalau ngajak jalan tante, pastiin izin dulu ya sama Mommy.”
Lalu ia pergi, langkahnya ringan, meninggalkan Elan yang masih berdiri terpaku dengan helm di tangan dan hati yang terasa lebih dingin dari angin malam.
Elan tiba di halaman rumahnya dengan perasaan campur aduk. Lampu teras masih menyala terang, dan pintu utama terbuka sedikit, tanda seseorang sedang menunggunya. Ia memarkir motor pelan, melepas helm, lalu berjalan pelan-pelan ke dalam seperti anak sekolah yang pulang terlambat.
Begitu ia melangkah masuk, suara hak sepatu terdengar mendekat cepat.
“Elan!”
Sosok wanita paruh baya yang elegan dengan gaun rumah sutra dan wajah tegas berdiri di depan tangga. Wajahnya tak bisa dibilang marah… tapi aura kecewanya menusuk tajam.
“Kamu kira kamu itu siapa? Anak buangan yang nggak punya tanggung jawab?!”
Elan mengusap wajah. “Mom, aku cuma keluar sebentar. Cuma makan malam—”
“Makan malam sama siapa? Itu cewek siapa?!”
“Teman. Dewasa. Tapi bukan kriminal. Nggak perlu panik kayak gini, Mom,” sahut Elan, suaranya mulai naik setingkat.
Sang mommy menyipitkan mata. “Dewasa?” ia mendekat dua langkah. “Kamu itu masih dua puluh dua tahun, Elan. Jangan sok jadi laki-laki dewasa kalau masih belum bisa pikir panjang!”
“Mom, aku bukan anak kecil lagi.”
“Oh, kamu pikir kamu udah dewasa cuma karena bisa nyetir motor malam-malam dan ngajak perempuan keluar tanpa izin orang tua?!”
Elan menghela napas keras. “Aku cuma mau hidup kayak anak normal, Mom. Bisa ketemu orang, bisa jatuh cinta, bisa salah—dan belajar sendiri!”
“Kamu bisa belajar tanpa menghancurkan masa depan kamu, Elan. Mommy nggak mau kamu jatuh di tangan perempuan yang cuma lihat kamu sebagai mainan.”
Elan menatap ibunya lekat-lekat. “Dia bukan perempuan seperti itu.”
“Dan kamu pikir Mommy bakal percaya? Kamu bahkan nggak bisa jaga komunikasi baik dengan Mommy, tapi kamu mau jaga hati perempuan lain?!”
Elan terdiam. Mulutnya terbuka, tapi tak ada kata keluar. Semua yang ingin ia katakan terhalang oleh fakta bahwa—di rumah ini, ia memang masih dianggap anak-anak.
“Besok kamu ikut Daddy ke kantor. Magang. Berhenti keluyuran cari wanita. Fokus ke hidup kamu!” sang Mommy menunjuk tajam ke arahnya, lalu berbalik dan menaiki tangga tanpa menoleh.
Elan berdiri di tempat, kedua tangannya mengepal. Bukan karena marah, tapi karena merasa kalah.
Ia menatap pintu yang kini tertutup rapat.
Dan satu hal terlintas di benaknya:
“Celine benar… aku belum jadi laki-laki yang bisa ambil keputusan sendiri.”
Tapi rasa itu bukan berarti dia akan menyerah. Tidak. Dia akan buktikan, pada ibunya. Pada Celine. Dan terutama… pada dirinya sendiri.
Elan masih berdiri membeku di bawah tangga. Rumah yang biasanya tenang malam-malam begini kini terasa menyesakkan. Ucapan sang Mommy terus terngiang di telinganya, menusuk lebih dari yang ia akui.
"Berhenti keluyuran cari wanita."
"Kamu belum bisa jaga komunikasi baik dengan Mommy."
"Kamu bahkan belum bisa ambil keputusan sendiri."
“Hhh…” Elan mengerang rendah, lalu berjalan cepat menuju tangga. Langkahnya berat, tetapi setiap hentakan sepatunya penuh dengan amarah yang ditekan.
Dia membanting pintu kamarnya begitu sampai di lantai dua. Dinding kamar langsung jadi sasaran.
BRAK!
Punggung tangannya menghantam tembok. Tidak keras, tapi cukup menyakitkan.
“Kenapa sih semuanya harus selalu Mommy yang tentuin?” gumamnya, nyaris mendesis. “Aku punya hidup, bukan cuma nempel di keluarga ini kayak robot warisan!”
Ia melempar jaket ke kursi, menjatuhkan helm ke lantai tanpa peduli. Laptop menyala di meja belajarnya, wallpaper-nya masih sama: foto keluarganya waktu liburan ke Eropa dua tahun lalu. Ia menatap foto itu, lalu berbalik kasar, enggan melihatnya lagi.
Langkahnya terhenti di sisi tempat tidur. Ia mendudukkan diri, memandangi ponsel yang tergeletak di meja kecil sebelah ranjang. Jarinya ragu, tapi akhirnya mengambil ponsel itu, membuka chat terakhir yang masih terbuka.
Celine.
Waktu di layar: 21:18
Status terakhir: online dua menit lalu.
Ia mengetik.
> Maaf ya, Ce. Mommyku memang masih nganggep aku anak kecil.
Namun tak jadi dikirim. Ia hapus perlahan, lalu mengetik lagi.
> Nggak semudah itu ternyata, jadi cowok yang bisa ngelindungin orang yang dia suka.
Elan menatap kata-kata itu lama. Lalu… kirim.
Ponsel ia letakkan pelan. Ia jatuh terlentang di ranjang, memejamkan mata, napasnya berat.
Dalam hati, ia bergumam,
"Besok aku mulai buktiin semuanya. Aku bakal jadi laki-laki beneran. Bukan cuma buat Mommy, tapi buat kamu juga, Ce."
Dan malam itu, amarahnya berubah menjadi tekad.
Elan tahu, waktunya belum tepat. Tapi ia juga tahu… waktu itu akan datang.
