Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 1 Usaha Elan

“Bukan urusanmu, Lan. Sudah kubilang, aku terlalu tua buat kamu.”

Celine meneguk kopinya yang sudah mulai dingin. Ia tak menatap lelaki di hadapannya, memilih menatap jendela kafe yang dipenuhi embun tipis. Senyap sejenak, hanya dentingan sendok dan riuh pelan dari pengunjung lain yang terdengar.

“Tapi aku nggak pernah lihat umur jadi masalah buat jatuh cinta,” sahut Elan, santai, sambil menyandarkan tubuh di kursi. Pria itu mengenakan hoodie abu-abu yang membuat wajah tampannya terlihat semakin muda—dan menyebalkan.

Celine melirik sekilas, cepat-cepat memalingkan wajah saat mendapati mata itu menatapnya dengan senyum nakal. “Kamu cuma lagi iseng. Cari tantangan. Tante-tante sepertiku memang kelihatan menarik buat cowok seumur kamu.”

“Kalau aku cuma iseng, ngapain aku bela-belain nunggu kamu dua jam waktu kamu meeting kemarin?” Elan menaikkan alis. “Atau kamu pikir aku terlalu pengangguran sampai rela duduk di mobil sambil dengerin podcast relationship yang kamu rekomendasiin minggu lalu?”

Celine mengerjap. Ia lupa pernah menyebutkan podcast itu.

“Dan lagi,” Elan mencondongkan tubuh ke depan, suaranya menurun menjadi lebih dalam, lebih serius, “kamu bukan ‘tante-tante’ sembarangan. Kamu Celine. Wanita yang tahu kapan harus bicara, tahu kapan harus diam. Yang nggak gampang terpancing, tapi juga nggak suka basa-basi. Kamu beda.”

Celine terdiam. Satu sisi dalam dirinya ingin tertawa, menertawakan seberapa gombalnya Elan. Tapi sisi lainnya—sisi yang lebih jujur—terasa seperti baru saja diketuk.

“Cukup, Elan,” ucapnya pelan. “Aku nggak butuh cowok kayak kamu di hidupku.”

Elan menatapnya, lama. Bibirnya terangkat setengah. “Sayangnya aku nggak peduli kamu butuh atau nggak. Yang penting aku mau.”

“Ck.” Celine berdiri, mengambil tasnya. “Kamu masih bocah. Belum tahu apa-apa soal cinta.”

“Kalau aku bocah, kenapa kamu gugup tiap aku deket?”

Langkah Celine terhenti. Ia membalikkan badan, matanya menyipit menatap Elan. “Aku nggak gugup.”

Elan berdiri juga, mendekat, cukup dekat hingga Celine bisa mencium wangi parfum citrus yang selalu dipakainya.

“Kamu gugup, Ce. Tanganmu dingin, suaramu jadi cepat. Dan kamu selalu nyari alasan buat ngusir aku.”

“Karena kamu ganggu!”

“Karena kamu suka aku, tapi kamu takut.”

Celine memejamkan mata sejenak. Dalam hidupnya yang rapi dan terkendali, Elan datang seperti badai. Dan meski ia ingin menyangkal, sebagian dari dirinya memang menikmati kekacauan itu.

“Elan…” suara Celine melembut. “Aku nggak bisa.”

Elan menunduk, tangannya menyentuh ringan lengan wanita itu. “Oke. Tapi kalau suatu hari kamu berubah pikiran, kamu tahu di mana nyari aku.”

Ia mundur satu langkah, memberi ruang. Celine berdiri kaku, tidak membalas sentuhannya. Tapi sorot matanya tak lagi sekeras tadi.

Dan ketika Elan berbalik, melangkah pergi, Celine hanya bisa menatap punggungnya—dengan perasaan yang tak ingin ia akui mulai tumbuh pelan-pelan.

Celine menyandarkan punggung di kursi mobil, menatap lurus ke depan. Setengah jam berlalu sejak Elan pergi dari kafe, tapi degup jantungnya belum juga tenang. Tangannya masih sedikit gemetar saat menyentuh kemudi.

“Kenapa sih, cowok itu bisa segila itu?” gumamnya, separuh kesal, separuh bingung.

Ia menyalakan mesin mobil, namun tak segera melaju. Otaknya dipenuhi ulang semua perkataan Elan barusan. Dari caranya menatap, menyentuh lengannya sebentar, sampai suara rendahnya yang terasa… terlalu dewasa untuk anak umur dua puluh dua tahun.

Celine menghela napas. “Dia cuma cari pengalaman. Lihat aja nanti, seminggu juga bosan.”

Tapi bahkan ia sendiri tak yakin dengan kata-katanya.

---

Dua hari berlalu. Celine sibuk dengan pekerjaannya di kantor, meeting dengan klien, memeriksa laporan keuangan, dan mengecek progres proyek. Namun sesibuk apapun, nama Elan selalu muncul di sela pikirannya. Apalagi ketika ponselnya berbunyi sore itu, menampilkan pesan baru.

Elan:

> Lagi sibuk banget ya? Aku titip brownies di resepsionis kantor kamu. Buat nemenin lembur. Jangan bilang nggak suka cokelat, ya.

Celine mengetuk-ngetukkan jari di meja. Ia melirik pintu, lalu bangkit dan berjalan ke resepsionis.

“Maaf, Mbak. Tadi ada titipan dari seseorang?” tanyanya setengah ragu.

“Ah iya, Mbak Celine, tadi ada anak muda ganteng banget bawa ini.” Resepsionis menunjuk kotak kue berbungkus pita merah. “Dia bilang jangan buang, harus dimakan sampai habis.”

Celine mencibir kecil. “Cerewet.”

Tapi tetap saja ia membawa kotak itu ke ruangannya. Saat dibuka, aroma manis cokelat langsung memenuhi udara. Di dalamnya, ada kartu kecil bertuliskan tangan:

> “Buat tante cantik yang terlalu keras kepala. Semoga manisnya bisa ngeluluhin kamu, walau sedikit.” — Elan.

Celine mendesah. “Berondong satu ini, nggak tahu diri.”

Ia memotong sepotong kecil brownies dan mencicipinya. Hangat. Lembut. Manis. Sama seperti caranya mendekat—perlahan tapi meninggalkan jejak.

Ponselnya bergetar lagi.

Elan:

> Kamu makan kan? Atau perlu aku suapin langsung?

Celine:

> Kamu ini keterlaluan, tahu nggak?

Elan:

> Keterlaluan karena suka kamu?

Celine tak langsung membalas. Tangannya menggenggam ponsel, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia menatap layar lama, sebelum akhirnya mengetik pelan.

Celine:

> Kamu nggak takut ditolak mentah-mentah?

Elan:

> Takut. Tapi lebih takut kamu diambil orang duluan.

Celine tersenyum tipis. Ia benci mengakuinya, tapi senyum itu… membuat harinya terasa lebih ringan.

Dan untuk pertama kalinya, ia tidak langsung memblokir perasaannya sendiri.

Celine melangkah keluar dari lift lantai dua belas, heels-nya berdetak di koridor kantor yang mulai sepi. Waktu menunjukkan pukul 20.17. Sebagian besar karyawan sudah pulang. Namun, ia belum bisa memutuskan untuk berhenti bekerja—atau berhenti memikirkan Elan.

Ponselnya kembali bergetar.

Elan:

> Aku di bawah. Nggak usah cari alasan, keluar aja sebentar.

Celine mengerjap. Ia menatap layar itu seolah bisa mengintip wajah Elan dari balik teks.

Celine:

> Kamu ngapain lagi malam-malam ke sini?

Elan:

> Mau lihat tante yang selalu bilang nggak butuh aku, tapi brownies-nya dimakan habis.

Celine menggeleng pelan, ingin kesal, tapi senyum di bibirnya terlanjur terbit. Ia ragu sejenak, lalu mengambil blazer dan tas.

Ketika ia keluar dari lobi gedung, angin malam langsung menyapa lembut. Elan bersandar di motor besarnya yang terparkir miring, helm di tangan, wajah santai seperti biasa. Jaket kulit dan jeans membuatnya tampak jauh lebih dewasa dibanding usia aslinya.

“Lihat tuh, mukanya cerah banget,” celetuk Elan begitu melihat Celine melangkah mendekat. “Efek brownies buatan sendiri, ya?”

Celine menyilangkan tangan di dada. “Jangan GR. Itu cuma karena hari ini laporan selesai lebih cepat.”

Elan tersenyum. “Ya udah, aku traktir kamu makan malam. Anggap aja ucapan selamat.”

“Kamu pikir aku cewek SMA yang bisa kamu rayu cuma dengan makanan gratis?”

Elan mendekat, menatapnya tanpa gentar. “Aku tahu kamu bukan cewek SMA. Makanya aku suka kamu.”

Celine menarik napas dalam. “Lan, kamu itu—”

“—nggak cocok buat kamu, terlalu muda, terlalu nekat, terlalu sok tahu?” potong Elan, menyeringai. “Udah, Ce. Aku hafal isi pikiran kamu kayak skrip drama yang diulang-ulang.”

Ia menyodorkan helm ke arah Celine.

“Coba sekali aja keluar dari aturan kamu sendiri. Nggak usah mikir. Naik motor ini, ikut aku malam ini. Makan, ngobrol, ketawa—apa pun. Kalau kamu nggak nyaman, aku antar pulang, sumpah. Nggak akan maksa. Tapi kasih aku satu malam aja buat buktiin kalau semua ini bukan sekadar main-main.”

Celine menatap helm itu. Lama. Logika dan egonya berteriak, mengingatkan akan batas usia, reputasi, dan segala konsekuensi. Tapi bagian kecil di dalam dirinya—bagian yang selama ini ia tutup rapat—ingin tahu. Ingin merasa muda lagi. Ingin merasa hidup.

“Kalau kamu ngebut, aku turun di tengah jalan,” gumamnya pelan sambil mengambil helm itu dari tangan Elan.

Elan tersenyum lebar. “Aku ngebut cuma buat nyuri hati kamu, bukan buat bikin kamu celaka.”

Celine mendesah. “Gombalnya keterlaluan.”

“Tapi berhasil kan?”

Tak ada jawaban. Tapi ketika Celine melingkarkan tangannya di pinggang Elan beberapa detik kemudian, tak seorang pun dari mereka bicara—karena senyum yang sama sedang mengembang di wajah mereka. Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Celine memutuskan untuk menyerah… pada kebodohan manis yang bernama cinta.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel