Tumbal Dosa
Seluruh hadirin dalam perjamuan darah bagi pendosa tertawa serentak. Aneh, tak satu pun wajah memancarkan kebahagiaan—yang tampak hanyalah kehampaan yang mencekam, meremangkan bulu kuduk Arthur.
Mata Arthur menyapu kerumunan. Namun semua wajah kosong, tanpa ekspresi, seakan bukan manusia. Gelap, tak terjangkau, penuh misteri.
Ia bergegas mendekati Helena, mencoba mencari cara memecahkan pasung di tangannya. Tapi percuma—terlalu gelap, tak ada alat, tak ada cahaya, kecuali lentera merah yang menusuk pandangan dan jiwa.
Tiba-tiba semuanya kabur. Sebuah hantaman keras mendarat di belakang kepala Arthur. Ia ambruk, pingsan, jatuh tepat di sisi wanita yang ia cintai—yang kini hanya bisa menangis dalam pasung penderitaan.
---
Pelan-pelan Arthur membuka mata. Dunia masih gelap. Aroma darah begitu kuat hingga membuatnya mual. Ia bangkit perlahan dari lantai batu yang dingin dan berdebu.
"Arthur..." Suara lirih nan akrab memanggilnya, mengalun seperti doa dari jiwa yang tersiksa.
Dengan tubuh limbung, Arthur meraba dinding penjara. Jemarinya menyentuh besi karat yang lengket oleh darah. Ia berjalan tertatih hingga menemukan sosok yang memanggilnya: Helena.
Wanita yang selama ini hidup dalam mimpi buruk dan kenangan penuh luka.
Dalam kegelapan ruangan yang sempit dan pengap, Arthur mengenali Helena. Tanpa pikir panjang, ia memeluk tubuhnya yang dingin, basah, dan lembek. Aroma darah dan ketelanjangan menyatu dalam pelukannya, mengaburkan logika dengan kerinduan yang membuncah.
Ia melepas jaket, memakaikannya pada tubuh Helena—wanita yang tak pernah benar-benar pergi dari hidupnya.
Sel penjara yang beku menjadi saksi bisu pertemuan dua jiwa terkutuk, korban dari cinta yang melawan tatanan, ditolak dunia, dan dicap hina oleh mereka yang merasa paling suci.
"Arthur, bagaimana bisa kau berada di sini?" suara Helena lirih, seperti desah napas terakhir.
"Aku pulang untukmu, Helena. Mana mungkin aku melupakanmu, setelah kau hadir di setiap mimpi burukku?"
Helena hanya menangis. Air matanya menggores luka lama di dada Arthur.
"Seharusnya kau tak pernah kembali," lirihnya, "kecuali jika ingin mengulang dosa yang sama."
Kilat menyambar. Dalam sekejap, wajah Helena tampak pucat pasi, seperti mayat yang tak seharusnya hidup kembali.
Ia menyeringai. Perlahan membuka jubah hitamnya, tubuhnya mendekat, bibirnya mencium dengan lembut, tangannya menjamah seperti dulu, saat cinta mereka adalah bara api di tengah badai.
Arthur, terjebak antara kerinduan dan rasa bersalah, tak mampu menolak. Ia menyerah pada kenikmatan terlarang yang pernah jadi candu dan luka paling dalam dalam hidupnya.
"Helena, aku mencintaimu."
Napas memburu, peluh bercampur rindu, dan tubuh bersatu dalam tarian penuh dosa. Namun semakin dalam ia terhanyut, semakin ia merasa asing. Tak ada kehangatan. Tak ada cinta.
Tubuh Helena seperti boneka. Hampa.
Arthur menghentikan segalanya.
Kilatan kilat kembali menyambar. Kini wajah Helena terlihat jelas: kosong, tanpa bola mata, darah mengalir dari pelupuknya.
"Tidak!"
Teriakannya menggema, disambut tawa riuh dari suara-suara tak dikenal.
---
Arthur tersadar.
Ia kembali berada di altar penghakiman. Tangan dan kakinya terpasung. Di sampingnya, Helena terduduk pasrah, matanya menyimpan rintihan yang belum habis.
Dari atas mimbar, suara menggelegar menyapa:
"Akhirnya kau sadar, anak muda. Kami sempat mendengar eranganmu. Nikmat, bukan, bercumbu dengan wanita pendosa ini?"
Tawa sinis mengalun dari seluruh hadirin.
Arthur tercekat. Semua yang terjadi di sel penjara hanyalah ilusi. Kenikmatan semu dari sebuah ritual pemujaan iblis berkedok penebusan.
"Malam segera tiba!" teriak pendeta. "Saatnya kita menyaksikan dua jiwa menebus dosa dengan kematian yang indah."
Hati Arthur mencelos. Di ujung kematian, kenangan tentang ibu dan adiknya berkelebat—orang-orang yang ia tinggalkan demi cinta yang tak direstui.
Tuhan, apakah ini akhir segalanya?
Tiba-tiba, derap langkah tergesa mendekat. Seorang lelaki berbisik di telinga sang pendeta.
"Sepertinya kalian beruntung," ucap pendeta. "Ada satu jiwa yang bersedia menggantikan hukuman kalian."
Arthur terperangah. Matanya membelalak saat pendeta menunjuk sosok yang berdiri di barisan depan.
"Lepaskan jubahmu!" titah pendeta.
Lelaki itu melepaskan penutup kepalanya.
"Ayah!" jerit Arthur, tak percaya.
Lelaki yang selama ini dibencinya karena menolak restu cinta justru kini berdiri untuk menggantikannya—mengorbankan diri demi sang anak yang durhaka.
Pria itu tersenyum. Matanya berkaca-kaca. Kilat kembali menyambar, menerangi wajahnya yang kini terlihat pasrah.
Algojo datang. Pasungan di tangan Arthur dan Helena dilepas. Sang ayah mendekati mereka dan memeluk Arthur sejenak.
"Jagalah mereka yang mencintaimu, sebelum semuanya terlambat..." bisiknya pelan.
Detik berikutnya, pedang tajam mengayun. Kepala sang ayah terpenggal, menggelinding hingga berhenti tepat di kaki Arthur. Mata terbuka, masih menatap anaknya dengan kasih yang tak sempat terucap.
Arthur menggigit bibir. Air mata bercampur darah. Tak ada lagi waktu untuk menyesal.
Ia memeluk Helena erat, mengenakan jubah hitam pada tubuh kekasihnya. Dengan tenaga sisa, ia menggendongnya, melangkah keluar dari gereja tua yang kini berubah jadi neraka ritual iblis.
Tapi langkah itu sia-sia.
Pintu depan yang seharusnya terbuka tak pernah bisa mereka lewati. Mereka terus berjalan, tapi tetap berada di tempat yang sama. Tertawa mengejek menggema dari segala arah. Sorot mata penuh penghakiman menatap mereka tajam.
Mampukah Arthur membebaskan diri dari gereja yang membelenggu jiwanya?
---
Arthur hampir putus asa. Langkahnya mulai melambat. Aneh, pintu gereja tampak dekat, namun tak terjangkau. Seolah-olah ruang dan waktu membelok, mempermainkannya.
"Arthur..." Suara Helena yang melemah menguatkan langkahnya. Dengan sisa tenaga, Arthur berhasil melewati ambang pintu gereja. Begitu mereka keluar, pintu itu tertutup rapat kembali.
Helena masih berada dalam gendongannya, tubuhnya memberi kekuatan yang tersisa. Kabut malam semakin tebal, mengaburkan pandangan. Samar-samar, tampak sebuah taksi kuning terparkir di pinggir jalan, seperti menanti mereka.
Tanpa pikir panjang, Arthur membopong Helena masuk ke dalam. Ia merebahkannya dengan lembut di bangku belakang.
Taksi mulai melaju pelan, menembus jalanan kosong yang diselimuti kabut.
"Kita akan ke mana, Tuan?" tanya sopir dengan suara datar namun menggetarkan. Jantung Arthur berdegup tak karuan.
"Ke rumah sakit. Istriku lemah," jawab Arthur sambil merangkul Helena. Helena tersenyum tipis mendengar sebutan "istriku".
Taksi itu dipenuhi keheningan. Hanya alunan lagu Yesterday dari The Beatles yang mengisi ruang. Aroma mawar samar menguar. Arthur mengingat, taksi itu mirip dengan yang dulu mengantarnya pulang ke kota. Kebetulankah?
"Helena, maafkan aku. Aku meninggalkanmu tepat saat kau kehilangan anak kita."
Helena tetap dalam pelukannya. Keduanya memejamkan mata, larut dalam kenangan yang menyakitkan.
Sepuluh tahun lalu...
Arthur panik melihat Helena yang kesakitan. Darah mengalir di pahanya. Mereka tinggal di apartemen kecil yang menyimpan kisah terlarang antara guru dan murid.
"Bu, kita harus ke rumah sakit," desaknya, walau dia tak jujur soal apartemennya yang disita bank.
Sayangnya, bayi itu tak bisa diselamatkan. Helena terpukul. Arthur, yang lolos seleksi akademi kepolisian, terjebak antara cinta dan ambisi. Ia memilih pergi.
Beberapa waktu kemudian, malam kelulusannya, Arthur berniat mengunjungi Helena. Tapi dari jendela, ia melihat Helena masih bersama suaminya. Bayangan mereka bercumbu menghancurkan hatinya. Arthur membuang bunga dan cokelat, pergi dengan kemarahan dan luka yang dalam.
Sejak saat itu, ia tak pernah membuka hatinya. Namun malam itu, saat Helena kembali dalam pelukannya di taksi, ia tak bisa menyangkal bahwa cintanya tak pernah padam.
"Arthur..." Helena kembali membangunkannya dari lamunan.
Wajah Helena pucat, tubuhnya dingin.
"Kau kenapa? Katakan padaku!"
"Aku minta maaf. Harusnya aku menolak cintamu. Aku pendidik, tapi aku melampaui batas," ucap Helena dengan suara bergetar.
Arthur memeluknya erat.
"Kau adalah cinta pertamaku. Status sosial tak berarti jika hatiku penuh olehmu."
Perlahan, taksi berhenti di depan rumah sakit tua. Lampunya redup, seolah terperangkap di masa lalu. Arthur menggendong Helena masuk.
Resepsionis hanya suster bermasker dengan tatapan kosong. Perawat datang tanpa suara, langkah mereka tak terdengar.
Arthur menyerahkan kartu debit, namun ditolak. Ia membayar dengan uang tunai. Anehnya, kembalian yang diberikan adalah uang dari era 80-an. Tanpa curiga, ia memasukkan uang itu ke sakunya.
Arthur berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang panjang dan melelahkan. Ia berhenti di depan ruang bayi. Suara tangis membuat hatinya nyeri. Ia masuk.
Cahaya rembulan menyusup dari jendela. Bayi-bayi mungil terlelap, kecuali satu yang menangis nyaring. Arthur menggendongnya.
Hangat. Nyaman.
Tiba-tiba, angin dingin berhembus. Aroma dupa menguar. Semua bayi membuka mata. Mereka duduk, menatap Arthur.
"Ayah, kenapa kau membunuhku? Apa salahku?" ujar mereka bersamaan, seperti kaset rusak.
Bayi dalam dekapannya terasa berat. Arthur meletakkannya. Bayi itu melayang, berdiri tanpa menapak. Wajahnya tanpa mata, mulutnya berlumuran darah.
"Pembunuh! Pembunuh!"
Arthur panik, berlari. Namun ke mana pun ia pergi, pintu ruang bayi selalu muncul di depannya. Seolah tak ada jalan keluar dari mimpi buruk itu.
