Kesempatan Kedua
Arthur menghela napas panjang. Kepalanya berat, langkahnya lunglai. Tak peduli sejauh apa ia berjalan, suara puluhan bayi yang memanggilnya "Ayah" terus membuntutinya.
Jantungnya nyaris copot saat seseorang menepuk bahunya yang basah oleh peluh.
"Tuan, apa yang Anda lakukan di depan ruang perawatan bayi?" sapa seorang suster bermata biru. Meski wajahnya tertutup masker, sorot matanya menyiratkan sesuatu yang tak terucap.
"Suster... bayi-bayi itu mengerikan. Mereka memanggilku ayah."
Suster itu mengernyit, lalu membuka pintu ruangan yang terkunci dari luar. Perlahan, pintu terbuka memperlihatkan ruangan gelap dan kosong, nyaris seperti gudang terbengkalai.
"Anda bisa lihat sendiri, ini hanya ruangan kosong. Tak ada kelahiran di sini selama bertahun-tahun. Pasangan muda lebih sibuk mengejar cinta tanpa mencipta kehidupan baru."
Arthur melongo. Ruangan itu memang kosong dan berdebu, suara cuitan tikus menyelusup seakan menertawakan kegilaannya.
Saat hendak bertanya lebih lanjut, suster itu telah lenyap. Tak ada jejak, seolah tak pernah muncul di hadapannya.
Gelisah namun masih dipandu cintanya pada Helena, Arthur melangkah menyusuri koridor rumah sakit. Hawa dingin menyusup kulit, kabut tebal menggantung seperti selimut kematian. Suasana sunyi membungkam, seperti tersesat dalam ruang hampa.
Sayup, suara tangis menggema. Arthur mengenali nada rintihan itu. Ia berlari menuju suara itu dan menemukan Helena.
Saat ia masuk, suhu ruangan langsung berubah, hangat dan menentramkan. Tangis Helena masih mengalun, menyesakkan dada.
"Dokter, apa yang terjadi pada istriku?" tanyanya panik.
"Istri Anda baru saja keguguran. Berikan dia semangat, dia butuh kekuatan untuk menyembuhkan luka batinnya."
Arthur menghampiri Helena, memeluknya erat. Tak ada yang lebih penting dari wanita yang pernah mengisi hatinya sepenuh jiwa.
"Arthur... bayi kita... dia pergi. Padahal tadi aku masih bisa mendengar tangisnya..."
Helena merintih lirih. Air matanya tak henti mengalir. Luka kehilangan anak yang lama dinantikannya, dipadu perpisahan dari suami, menjadikannya jiwa rapuh.
Arthur menatap cermin di sudut ruangan. Bayangan yang terpantul membuatnya terperanjat. Wajahnya muda, seperti saat SMA. Kalender di dinding menunjukkan Mei 2011.
Ia tercengang. Ini tak masuk akal. Apakah ia kembali ke masa lalu? Ke masa ketika ia masih punya kesempatan untuk memilih—cinta atau karier?
Notifikasi ponsel berbunyi. Arthur melihat pesan: ia lolos seleksi kepolisian dan harus hadir ke asrama dalam tiga hari.
"Arthur... suamiku menggugat cerai. Anakku sudah tiada. Akankah kau juga meninggalkanku?"
Helena menatapnya penuh harap. Arthur memeluknya erat, mencoba mengabaikan badai yang bergemuruh di dalam dadanya.
"Aku mencintaimu, Helena."
Sejenak ia teringat taksi kuning jadul yang mengantarnya. Kendaraan itu tak hanya memberi jalan keselamatan, tapi juga kesempatan untuk mengulang tragedi.
Keduanya keluar dari kamar. Rumah sakit kini ramai oleh lalu-lalang manusia, berbeda dari sunyinya malam tadi. Namun, tak ada tawa, tak ada sapa. Semua orang berjalan seperti robot.
Helena masih pucat, menunduk, memegangi perutnya yang kosong. Matahari mulai menyingsing. Arthur kembali menunggu taksi yang muncul begitu saja—teman setianya dalam pelarian.
Taksi kuning itu datang. Kali ini terasa hangat dan menenangkan. Helena bersandar padanya, meski masih dalam kemurungan.
"Arthur, kemarin ibumu mengusirku... Haruskah kita kembali ke rumahmu? Aku takut dia akan membunuhku."
"Kita tak bisa kembali ke rumah itu. Aku akan mencari pekerjaan," jawab Arthur lalu mengecup bibir Helena. Rasanya tetap manis seperti dulu.
"Sepertinya Anda sangat bahagia, Tuan. Aku bahkan bisa merasakan kehangatan yang sudah lama tak kurasakan," sapa sang sopir, masih enggan menampakkan wajahnya.
"Aku hanya tak ingin melukai wanita yang paling aku cintai."
"Tapi tahukah Anda? Setiap pilihan selalu membawa pengorbanan."
Kata-katanya tajam, menembus ketenangan yang baru terbangun.
Taksi berhenti di depan rumah lama Arthur. Rumah tempat segala luka dan kenangan tersimpan.
"Maaf, aku tidak ingin kembali. Pergilah ke tempat lain," tolak Arthur.
"Hadapilah pilihanmu, Tuan. Bukankah setiap pilihan memiliki konsekuensi?"
Dengan berat hati, Arthur dan Helena turun. Angin kencang menyapu masa lalu. Rumah itu kini tampak seperti satu dekade silam—indah, bersih.
Seorang wanita tua duduk di teras.
"Arthur!" sapa neneknya, dengan suara penuh kasih. Nenek yang seharusnya sudah meninggal bertahun-tahun lalu.
Arthur membeku. Di ambang mimpi dan realita, ia melihat neneknya tersenyum.
"Siapa wanita cantik ini?" tanya sang nenek sambil menatap Helena dengan wajah pucat, seolah tahu Helena tak seharusnya ada di dunia ini.
Arthur hanya bisa terpaku. Dunia telah terbalik. Masa lalu dan masa kini bercampur menjadi satu.
Dan kini, waktunya memilih: apakah ia akan kembali menempuh jalan yang dulu, atau menciptakan takdir baru bersama cinta terlarangnya?
----
Arthur tak mampu menjawab pertanyaan sang nenek. Lidahnya kelu, sorot matanya memancarkan kesedihan. Masih terbayang jelas dalam ingatannya, hari kepergian sang nenek bertepatan dengan hari ia meninggalkan rumah demi mengejar impian. Ia tak sempat berpamitan, apalagi menghadiri pemakaman.
Batin Arthur berteriak lirih, "Ya Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi? Apakah ini hanya mimpi atau dunia paralel di mana nenekku masih hidup? Aku bisa merasakan tatapan cinta di matanya...."
Tangan hangat sang nenek menggamit jemarinya, mengajaknya masuk ke dalam rumah yang penuh kenangan dari masa kecil hingga remajanya.
Ingatan Arthur perlahan kembali ke masa lalu, ke masa remaja ketika ia baru mengenal cinta dari teman sebayanya. Kala itu, ia begitu dingin. Ia bahkan membuang pemberian seorang gadis manis yang terpikat oleh sikap misteriusnya. Sang nenek, yang menyaksikan tindakan cucunya, hanya tersenyum dan menasihatinya dengan lembut.
"Nak, gadis itu hanya ingin menunjukkan rasa sukanya. Terima saja hadiahnya," ujarnya sambil memungut kotak cokelat dari tempat sampah.
"Aku benci dia yang selalu mengikutiku! Nenek makan saja!" balas Arthur kecil dengan nada ketus sebelum mengunci diri di kamarnya.
Kini, tangan keriput yang dulu selalu memberinya kasih sayang masih terasa hangat meski waktu telah berlalu.
"Nek, kami lelah... bolehkah kami beristirahat sebentar saja?" pinta Arthur, tak ingin banyak bicara.
Sang nenek hanya mengangguk sambil tersenyum. Ia mempersilakan Arthur dan wanita asing yang dibawanya masuk ke kamar. Meski ragu, Arthur mempersilakan Helena beristirahat di ranjang masa kecilnya, tempat langit-langitnya kini tampak memudar, nyaris ambruk dimakan waktu.
Arthur memandang Helena dengan penuh harap. Pertemuan ini seakan awal dari kebahagiaan sejati. Namun pandangannya tertumbuk pada sesuatu yang aneh—sebuah salib terbalik tergantung di dinding. Ia yakin, benda itu tak pernah ada di kamarnya.
"Helena, mandilah dulu," katanya pelan sambil memejamkan mata, mencoba meredakan pikiran yang kalut. Ke mana ibunya? Di mana adik perempuannya? Mengapa sang nenek masih hidup?
Lamunannya buyar saat aroma mawar memenuhi ruangan. Helena tampak memesona, seperti pertama kali mereka bertemu. Ia mendekat, mengelus pipi Arthur, lalu mencium bibirnya dengan lembut. Hasrat bercampur kebingungan merasuk ke dalam tubuh pria muda itu.
Namun di tengah gairah, Arthur menyadari perubahan. Wajah Helena sesekali tampak seperti wanita tua yang menyeramkan. Ciumannya berubah menjadi mimpi buruk. Kulitnya pucat, matanya kosong, dan tubuh telanjangnya berlumur darah. Salib terbalik jatuh ke lantai, mengeluarkan bau besi karat.
Arthur menjerit. Ia mendorong Helena, berlari keluar kamar hanya untuk menemukan dirinya dikepung sosok berjubah hitam dengan senyum menyeringai.
"Bagaimana, anak muda? Menyenangkan bercinta dengan gurumu sendiri?" tawa mereka membahana, mencabik kewarasannya. Arthur ambruk. Pingsan.
---
"Arthur..."
Suara yang familiar membangunkannya. Ia kini duduk di meja makan, diapit sang nenek dan Helena. Semuanya terasa ganjil.
"Arthur, makanlah ayam ini," ajak Helena lembut. Namun aroma busuk tercium dari semangkuk sup hitam pekat. Arthur menolak, tubuhnya gemetar saat sendok itu hendak menyentuh bibirnya.
Tiba-tiba, waktu kembali terdistorsi. Ia kini duduk di sofa ruang tamu, pelipisnya berkeringat, jantung berdegup tak karuan. Di luar jendela, kabut menyelimuti kota.
"Arthur, siapa wanita ini?" tanya sang nenek, duduk di sofa dengan tatapan tajam.
Dengan tangan gemetar, Arthur menggenggam tangan Helena. Ia tak ingin melepaskannya.
"Nenek, dia calon istriku. Aku akan menikahinya," jawabnya tegas.
Sang nenek tertawa keras. Tawa itu dingin, penuh ancaman, lalu berubah menjadi diam mencekam. Tatapannya menusuk.
"Arthur, apakah kau lupa siapa wanita iblis ini? Kau akan menukar hidupmu hanya untuknya?" suaranya berat, menggema dalam jiwa Arthur.
Mata sang nenek memutih. Darah mengalir dari dahinya, merembes seperti air hujan dari dinding retak. Arthur menjerit, tak sanggup menatap neneknya lagi.
Ia menarik tangan Helena, lari ke luar rumah. Di hadapan mereka, taksi kuning telah terparkir, seperti penjemput yang selalu muncul di saat paling genting.
"Bagaimana Tuan, apakah kunjungan masa lalu anda menyenangkan?" sapa sopir taksi, suaranya datar namun menusuk hingga ke tulang.
"Cepat antar aku keluar dari kota ini! Mereka semua... bukan manusia!" teriak Arthur panik.
Taksi melaju, meninggalkan rumah yang kini tampak jauh dari nyata. Sepanjang jalan, puluhan sosok berjubah hitam berdiri diam, mengantar kepergiannya.
"Ya Tuhan... siapa mereka? Kenapa tak berujung?" gumam Arthur sambil memandangi jendela.
Tiba-tiba, lagu "Top of the World" dari The Carpenters mengalun lembut. Aneh, namun menenangkan. Sosok-sosok mengerikan itu menghilang satu per satu, seiring kecepatan taksi yang makin kencang, membelah keheningan malam yang menyimpan ribuan rahasia.
