Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Jejak Dalam Kabut

Arthur kini berdiri di luar rumah. Hujan baru saja reda, meninggalkan tanah yang becek dan jejak kaki di lumpur. Anehnya, hanya ada satu jejak kaki—miliknya sendiri. Tak ada tanda-tanda bahwa seseorang pernah berdiri di sana. Tapi Arthur yakin, ia tidak berhalusinasi. Helena benar-benar ada tadi!

Saat ia hendak membalikkan badan, sosok Rose tiba-tiba muncul di depannya.

"Kakak mencari apa?" sapa Rose dengan senyum terlalu lebar, hingga gigi-giginya terlihat rapi seperti tak wajar.

Arthur bergidik. Benarkah itu Rose, atau sesuatu yang menyerupainya? Ia menggeleng cepat, mencoba membuang pikiran buruk itu. Rose masih menatapnya dengan pandangan bingung.

"Aku hanya... mencari angin," sahut Arthur singkat. Ia buru-buru masuk ke dalam rumah.

Di kamar, tubuhnya direbahkan di atas ranjang. Tatapannya kosong, pikirannya berkelana. Tentang sang ibu yang tiba-tiba menua, tentang Rose yang terasa aneh, dan tentang Helena yang muncul dan menghilang begitu cepat.

"Mungkin aku hanya kelelahan," gumamnya. Tak lama kemudian, ia tertidur.

---

Masa Lalu yang Kembali

“Arthur! Hentikan kebodohan ini!” teriak Elizabeth, ibunya, dengan amarah yang membuncah. “Kau baru lulus SMA, sementara aku harus menanggung skandal yang kau buat! Saham perusahaan kita anjlok. Kita terancam bangkrut!”

Arthur yang waktu itu baru 18 tahun mencoba menjawab dengan tegas, “Ibu, izinkan aku menyelesaikan semuanya. Helena mengandung anakku. Aku tak ingin anak ini menderita karena perpisahan.”

PLAK!

Tamparan keras mendarat di pipi Arthur. Elizabeth menggigil karena amarah.

“Kau perempuan murahan!” teriak Elizabeth kepada Helena. “Berani-beraninya kau menjebak anakku!”

Ia menarik tangan Helena dan mendorongnya hingga tersungkur. Helena menangis, wajahnya memucat, dan perutnya terasa sakit.

“Ibu! Kau bisa membunuh anakku!” Arthur segera memapah Helena.

“Kau bukan ibu yang kupunya... dasar iblis!” geram Arthur sambil membawa Helena pergi.

Elizabeth hanya terdiam. Tangisnya pecah. Ia tak pernah bermaksud menyakiti anaknya. Tapi hubungan Arthur dan Helena terasa begitu salah.

---

Di dalam taksi menuju rumah sakit, Arthur panik. Darah terus mengalir dari rahim Helena.

"Arthur... sakit..." rintih Helena lemah.

“Sopir, cepat!” Arthur berteriak.

Tapi sopir itu malah menyahut datar, “Kenapa harus buru-buru, Tuan? Bukankah dia sudah mati?”

Arthur terdiam. Ia menatap ke samping—Helena kini mencekiknya, wajahnya pucat, matanya hitam, dan darah mengalir dari mulutnya.

“Mati! Mati!” teriak Helena sambil terus mencekik.

“Tidak!!!”

Arthur terbangun. Ia duduk terguncang di atas ranjang, napas tersengal dan keringat dingin membasahi tubuhnya. Itu hanya mimpi. Tapi terasa sangat nyata.

---

Sarapan Hambar

“Kakak, ayo makan!” teriak Rose dari luar kamar.

Arthur bangkit dan mencuci wajahnya. Di ruang makan, sang ibu dan Rose sudah menyantap sarapan. Nasi goreng lengkap dengan lauknya.

Arthur duduk dan mulai menyuap. Tapi... rasanya hambar. Seperti makan pasir. Ia menatap ibu dan adiknya yang tampak menikmati makanan itu dengan lahap.

“Kakak, nanti antar aku ke sekolah ya?” pinta Rose lembut.

Arthur hanya mengangguk. Ia menatap ibunya. “Bu, apakah tidak apa-apa kalau aku pergi?”

“Pergilah. Gunakan motor di gudang,” jawab sang ibu datar, bahkan tanpa menoleh.

Arthur tersentak saat melihat ponselnya. Baterai habis dan tidak bisa diisi. Listrik padam.

“Listrik mati, Kak. Ayo, nanti aku terlambat,” ujar Rose.

Dengan motor butut warisan nenek, mereka berangkat ke sekolah. Kabut tebal menyelimuti jalan, menciptakan suasana mencekam. Di sepanjang perjalanan, Arthur memperhatikan para siswa yang berjalan ke sekolah. Tak ada ekspresi di wajah mereka. Seolah robot, berjalan dalam diam.

---

Taksi Kuning

Di depan sekolah, Arthur melihat taksi kuning yang mirip dengan yang ia tumpangi malam sebelumnya.

“Pagi. Apakah Anda sopir yang mengantar saya kemarin malam?” tanyanya.

Sopir itu tersenyum menyeringai. “Maaf, apakah Tuan pendatang?”

Arthur mengangguk.

Sopir itu tertawa pelan. “Lihatlah ke jalan. Taksi seperti ini ada ribuan.”

Arthur menatap jalanan. Taksi-taksi kuning kuno melintas. Tidak ada mobil lain. Hanya taksi.

Ia merinding, segera berbalik, dan pulang.

---

Kembali ke Rumah

Sesampainya di rumah, ia dikejutkan oleh perubahan drastis. Rumah yang semalam terlihat terbengkalai kini tampak bersih dan normal. Di teras, sang ibu duduk melamun, tatapannya kosong dan putus asa.

“Ibu, apa yang terjadi selama sepuluh tahun ini? Maafkan aku yang telah menghindar,” ucap Arthur pelan.

“Kau hanya anak yang terluka. Aku... bukan ibu yang baik.”

“Ibu, aku sudah melupakan masa lalu. Mari kita mulai dari awal.”

Tatapan ibu berubah. “Tidak! Dia akan datang... menjemputku. Membalas luka... menjadikannya iblis.”

Mata sang ibu melirik ke jalan. Kabut tebal membuat pandangan Arthur terbatas. Di tengah kabut, sosok berjubah hitam berdiri, menatap mereka.

Arthur mengejarnya. Namun, sekuat apapun ia berlari, jarak tak pernah terpangkas. Sosok itu terus menjauh, hingga akhirnya menghilang.

Saat Arthur berbalik, sosok itu justru sudah berdiri di hadapannya. Ia kaget, mengusap matanya, berharap itu hanya ilusi. Tapi sosok itu tetap berdiri, samar-samar karena kabut.

Arthur menarik tudung yang menutupi wajahnya.

“Helena...?”

Matanya membelalak. Cinta lamanya berdiri di hadapannya.

Tanpa ragu, ia memeluknya erat.

“Helena, aku mencintaimu. Aku janji tak akan menyakitimu lagi.”

Namun, Helena hanya diam. Wajahnya pucat, matanya kosong. Tak ada balasan. Hanya hening yang menyelimuti mereka.

“Helena...?” bisik Arthur, mulai merasa ada yang tidak beres.

---

Arthur yang masih memeluk Helena mulai merasakan hawa dingin merambat di sekujur tubuhnya. Rasa rindu yang semula membuncah kini berubah jadi kegelisahan. Netra Helena tampak kosong, kulitnya pucat seperti mayat hidup. Hatinya berontak, pelukan itu terasa sepihak.

Perlahan ia melepaskan pelukannya. Ditatapnya kembali sosok yang dulu ia cintai. Kini, hanya bayangan masa lalu yang menyisa. Tiba-tiba, sebuah tepukan di pundak membuatnya menoleh.

Rose.

Adiknya berdiri di sana, wajah pucat dengan senyum terlalu lebar, tak wajar, seperti boneka porselen yang menyeramkan. Aroma daging busuk tertiup bersama angin, menimbulkan rasa mual yang samar.

"Kakak sedang apa berdiri di pinggir jalan seperti ini?" tanya Rose.

"Aku... aku baru saja bertemu Helena. Dia tadi di—"

Namun belum sempat Arthur menyelesaikan ucapannya, sosok berjubah hitam itu telah menghilang. Hanya aroma mawar samar yang tertinggal di pakaiannya.

"Helena siapa? Dari tadi aku melihat Kakak berdiri sendiri. Melamun seperti orang bingung," jawab Rose santai, lalu berjalan meninggalkannya.

Arthur terdiam. Ia yakin barusan memeluk Helena. Tapi mengapa saat Rose datang, wujudnya lenyap? Hanya halusinasi? Atau kerinduan yang terlalu dalam?

Ia mengedarkan pandang. Kampung halaman terasa semakin ganjil. Sunyi. Mencekam. Tak ada suara kendaraan, tak ada kehidupan. Waktu juga terasa melompat—baru saja mengantar Rose ke sekolah, kini sudah pukul lima sore. Langit menghitam lebih cepat dari biasanya, dan kabut mulai merayap dari segala arah.

Sampai di rumah, ibunya masih duduk diam di teras. Wajah renta itu tak berubah posisi sejak pagi. Dunia seperti membeku dalam keterasingan.

Arthur mendorong kursi roda sang Ibu ke dalam rumah. Meja makan tampak seperti biasa—sop ayam buatan Rose tersaji rapi. Namun, saat sendok masuk ke mulutnya, Arthur tidak merasakan apapun. Hambar. Tidak ada rasa, seolah makanan itu tak benar-benar ada.

"Kakak kenapa tidak makan? Apa masakanku tidak enak?" tanya Rose, masih dengan ekspresi senyum aneh yang menakutkan.

Arthur hanya menggeleng. “Mungkin aku sudah kenyang,” sahutnya singkat. “Tolong jaga Ibu. Aku mau cari pos polisi, ponselku mati, teman-temanku pasti mencariku.”

Sebenarnya, bukan pos polisi yang ia cari. Tapi Helena. Sosok yang muncul bagai mimpi dan pergi bagai asap. Ia butuh jawaban.

Dengan langkah cepat, Arthur membawa senter dan rokok, menyelipkan ponsel mati ke saku. Ia keluar rumah. Sepanjang jalan, kabut putih terus menggumpal, suara lolongan anjing menggema dari kejauhan. Suasana mencekam. Seolah kota kecil itu telah mati.

Tiba-tiba, derap kaki terdengar. Pelan tapi teratur. Ia cepat bersembunyi di balik pohon besar. Sosok-sosok berjubah hitam melintas di jalan, berjalan serempak tanpa suara. Tak tampak wajah, hanya langkah-langkah senyap menuju suatu tempat.

Arthur mengikuti mereka.

Perlahan, mereka tiba di sebuah gereja tua. Di pintunya, tergantung sebuah salib terbalik, menjulang seperti peringatan akan sesuatu yang terkutuk. Di sana, beberapa sosok berjubah hitam berjaga, memegang pedang panjang.

Arthur bergidik, namun yakin: Helena ada di dalam sana.

Ia berlari pulang. Di gudang belakang rumah neneknya, ia membongkar karung-karung pakaian lama. Tak butuh waktu lama, ia menemukan apa yang dicari: jubah hitam lengkap dengan tudung. Yang menggelisahkan, jumlahnya banyak. Satu karung penuh.

Apa maksudnya ini?

Tak sempat berpikir panjang, rombongan sosok hitam kembali lewat. Arthur segera menyusup di antara mereka. Tak ada yang menyadari kehadirannya. Mereka hanya berjalan, senyap, tanpa suara napas. Seolah... bukan manusia.

Gereja itu kini terang oleh cahaya lilin kecil. Aroma karat besi menusuk hidung. Arthur berdiri di antara jemaat, mencoba menahan napas.

Seseorang naik ke mimbar. Sosoknya menyerupai pendeta—tapi dengan salib terbalik tergantung di lehernya.

"Mari kita sambut wanita yang akan membawa kita menuju keselamatan. Ia akan memberikan darahnya untuk Sang Pelindung. Ameen!" serunya.

Seketika, semua lilin padam. Kegelapan menyelimuti ruangan.

Dari balik tirai, muncul seorang wanita tanpa busana. Tangan dan kakinya dirantai. Ia berjalan tertatih ke tengah ruangan, lalu berlutut. Tangisnya lirih, memohon belas kasih.

Sebuah lentera merah menyala, menerangi wajahnya.

Arthur membelalak. Helena!

"Tolong bebaskan aku, Tuan. Aku sudah lelah menderita seperti ini," rintihnya lirih.

Sang pemimpin sekte mengangkat pedang tinggi-tinggi. "Dosamu besar! Kau melacurkan dirimu kepada muridmu sendiri! Kematian akan menyelamatkan jiwamu!"

"HENTIKAN!" teriak Arthur, menerobos ke tengah altar.

Semua mata kini tertuju padanya. Ia berdiri di hadapan Helena, menatap kejam sang pemimpin sekte.

"Dia bukan pelacur! Aku muridnya. Aku mencintainya! Cinta kami bukan dosa!"

Tawa bergemuruh dari segala penjuru. Jemaat itu menertawakan Arthur, tawa mereka melengking tak manusiawi, menyayat udara seperti jeritan neraka.

Tapi Arthur tidak gentar. Ia menatap Helena, lalu menggenggam tangannya.

"Aku di sini. Aku datang menepati janjiku."

Helena menatapnya, untuk pertama kalinya sejak kemunculannya. Tatapannya basah, penuh luka dan rindu.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel