Malam Kelam
"Tuan, apakah Anda tidak pulang?" sapa seorang pedagang nasi goreng pada seorang polisi yang tengah melamun di bawah dinginnya malam.
"Pulang?" Polisi itu tersenyum kecut. "Aku bahkan sudah lupa rasanya pulang sejak sepuluh tahun lalu. Pekerjaan ini membuatku terlalu sibuk."
"Maksud saya, pulang ke kontrakan atau kosan. Anda terlihat masih sendiri," ujar si pedagang sambil menahan tawa. Dalam benaknya: Polisi ini pasti sedang galau.
"Oh, maaf." Ia menunduk, menarik napas. "Mungkin aku hanya sedang merindukan kampung halaman. Aku lembur hari ini." Tangannya merogoh saku, menyerahkan uang pembayaran.
Pria itu melangkah menuju pos jaga. Jam menunjukkan hampir tengah malam. Rekan-rekannya sedang patroli, dan ia ditugaskan menjaga pos—berdua saja bersama sepi.
Nasi goreng yang terbungkus rapi diletakkan begitu saja di sudut meja. Tak menggugah selera. Ia membuka laci perlahan, mengambil selembar foto—yang selama ini disembunyikan dari siapa pun.
Foto seorang guru muda, Helena.
Cintanya dulu.
Cinta yang kandas karena karier. Cinta yang harus direlakan demi lencana. Kini, yang tersisa hanya sepi dan penyesalan yang menua bersama waktu.
"Helena, aku merindukanmu," gumamnya pelan. "Ternyata, karier yang kupilih ini... justru membuatku hampa. Mereka tak ada yang sepertimu—cantik, pintar, dan... terlalu seksi untuk dilupakan."
Ia memeluk foto itu. Menutup matanya sejenak, membiarkan kenangan menghantam seperti gelombang.
Malam itu terasa dingin, lebih sunyi dari biasanya. Tak ada kendaraan. Tak ada langkah. Hanya lolongan anjing dari kejauhan dan hembusan angin yang menusuk.
Ponselnya berdering. Nama "Rose" muncul di layar—adik perempuannya yang masih SMA.
"Halo, Kak! Tolong cepat pulang! Ibu sakit!"
"Sakit apa?"
"Jatuh di kamar mandi. Sekarang kami ke rumah sakit. Cepat pulang!" Sambungan terputus.
Deg!
Jantung Arthur berdegup kencang. Ingatannya menampilkan ulang momen saat ibunya mengusir Helena dengan kata-kata keji. Menolak restu hanya karena Helena... gurunya.
Itulah alasan Arthur pergi. Bergabung jadi polisi. Membuktikan dirinya bukan anak manja. Dan menjauh dari semua yang menyakitkan.
Ia bergegas. Nasi goreng dibiarkan tak tersentuh. Ia pacu motornya menuju kosan. Tapi sesampainya di sana, ia malah memesan taksi online.
Tepat tengah malam, taksi kuno berwarna kuning berhenti di depannya.
"Arthur?" sapa sopir itu. Pria tua dengan suara yang terlalu tenang.
Arthur mengangguk dan masuk ke dalam.
Interior taksi itu… aneh. Klasik. Nyaman. Seolah bukan kendaraan biasa. Musik tahun 80-an mulai mengalun lembut. Arthur bersandar. Kantuk menyerang.
"Sesuai pesanan, kita menuju Grimvale, Tuan?" tanya sopir itu.
"Benar. Dua jam lebih sedikit kalau naik motor."
"Saya akan usahakan sampai dalam satu jam."
Arthur mengernyit. Mustahil. Tapi ia tak peduli. Ia terlalu lelah untuk debat. Ia menutup mata.
Tiba-tiba, aroma mawar menyeruak ke dalam ruang sempit taksi. Wangi yang sangat dikenalnya.
"Helena..." bisiknya.
Dan di sampingnya—Helena duduk. Cantik seperti dulu. Tak menua sedikit pun. Ia menyentuhnya. Hangat. Lembut.
Arthur menahan napas.
Lalu pelukannya mengalir. Sentuhan. Hasrat yang pernah dipendam selama bertahun-tahun meledak dalam sempitnya kursi penumpang.
Helena tersenyum. Ia membalas dengan rindu. Mereka melupakan dunia. Melupakan bahwa itu taksi. Melupakan bahwa mereka... tak lagi bersama.
Hanya ada suara napas dan musik klasik yang tak kunjung berhenti.
Setelah semuanya selesai, Arthur masih memeluk tubuh Helena. Matanya basah. “Aku menyesal telah meninggalkanmu. Aku ingin kita menikah.”
Helena tersenyum.
Tapi senyuman itu... menyeringai. Bibirnya mulai berdarah. Matanya memutih. Wajahnya membusuk.
"Tidak!" Arthur berteriak.
Ia menoleh ke depan.
Sang sopir tak lagi memiliki kepala.
Arthur terbangun.
Napasnya memburu. Keringat mengucur. Ia masih di taksi. Masih di kursi yang sama.
Sopir itu menoleh, tersenyum samar. “Apakah Anda mimpi buruk, Tuan?”
Arthur mengangguk lemah. Tangannya meraih tisu. Mengelap wajah. Ia memalingkan pandangan ke luar jendela.
Ratusan orang berjubah hitam berdiri di sisi jalan. Tak bergerak. Menatap. Seolah mengiringi mobil ini.
“Kita hampir sampai,” ujar sang sopir.
Arthur mendongak. Jalanan ini… asing. Bukan rute biasa menuju kampung halamannya. Ia memeriksa jam. Pukul 01.00 dini hari.
Benarkah hanya satu jam?
Dan kini—tak ada lagi kerumunan berjubah hitam. Yang ada hanya kota kecil gelap, tanpa satu pun lampu jalan yang menyala. Hanya cahaya dari taksi kuning itu yang menerangi.
“Kenapa aku merasa ini bukan kampung halamanku? Aku yang lupa... atau aku sedang tersesat?” batinnya mulai bergemuruh.
---
Malam di kota kecil itu terasa ganjil. Sunyi. Dingin. Seorang pria berdiri sendiri, masih tertegun memandangi jalan yang gelap gulita. Taksi kuning yang membawanya tiba-tiba menghilang begitu saja, seolah tak pernah ada. Arthur menatap jam tangannya: pukul 01.07 dini hari. Terlalu singkat untuk perjalanan sejauh itu, terlalu lama untuk sekadar mimpi buruk.
Di hadapannya, sebuah rumah tua berdiri bisu. Rumah peninggalan neneknya. Rumah masa kecilnya. Tempat yang dulu penuh tawa dan aroma kue buatan tangan. Tapi malam ini, rumah itu tampak seperti monumen kesepian yang menua dan dibiarkan lapuk.
Cat tembok telah memudar, retakan menjalar seperti urat-urat luka. Daun kering berserakan, rumput liar tumbuh liar tak terurus. Seolah rumah ini telah ditinggal bukan lima tahun, tapi lima dekade.
Arthur berdiri diam, menelan pahitnya kenyataan. Ia pernah punya segalanya—keluarga terpandang, kekayaan, dan cinta. Lalu semuanya runtuh: ibunya terseret skandal seks dan kehancuran bisnis keluarga. Helena, satu-satunya cahaya hidupnya, pergi meninggalkan luka yang tak pernah benar-benar sembuh.
Ia menarik napas dalam-dalam. Sudah cukup. Lamunan takkan mengubah apapun. Ia melangkah ke teras, menatap pintu rumah yang terasa asing. Tangannya mengetuk tiga kali.
Pintu itu terbuka perlahan.
“Kakak… akhirnya pulang juga.” suara Rose menyambut, senyum gadis itu terlalu cerah untuk malam yang terlalu sunyi.
Arthur menatapnya lekat-lekat. Rose masih terlihat seperti adik kecilnya—tapi… ada yang janggal. Tatapannya kosong, dan senyum itu... terlalu kaku.
“Ibu, Kakak sudah tiba. Saatnya kita makan malam,” ujarnya sambil mendorong kursi roda ke ruang makan.
Arthur tercekat. Ibunya terlihat jauh lebih tua dari yang ia ingat. Wajah keriput, kulit pucat, dan mata yang memerah. Seakan waktu menghisap semua kehidupannya dalam sekali teguk.
“Ayo makanlah, Nak. Ibu merindukanmu,” ucap Elizabeth lembut, mengulurkan tangan yang gemetar.
Arthur menyambut pelukan itu. Aroma melati menusuk hidungnya. Aroma parfum yang biasa dipakai ibunya—aroma kenangan.
Mereka makan malam bersama. Hangat. Aneh, tapi hangat. Seolah waktu memutar kembali kebersamaan yang pernah hancur. Namun, di balik tawa dan obrolan ringan, Arthur merasakan sesuatu yang ganjil. Seperti panggung sandiwara yang terlalu rapi.
“Bagaimana hidupmu di kota? Sudah punya pacar?” tanya sang ibu.
“Tidak… aku tak punya waktu untuk itu,” sahut Arthur cepat.
Lalu ia teringat.
Telepon dari Rose. Katanya ibu jatuh di kamar mandi. Dilarikan ke rumah sakit.
“Ibu, kondisimu... Kau baik-baik saja? Bukankah tadi Rose bilang—?”
“Ibu baik-baik saja. Mungkin Rose hanya ingin kau pulang.” sahut Elizabeth, kali ini senyumnya terasa seperti pisau. Tipis dan dingin.
Arthur tercekat. Hatinya mulai tak tenang.
---
Pukul 2 dini hari, Arthur masuk ke kamarnya. Kamar masa kecil yang tak berubah sedikit pun. Bahkan poster lama dan buku-buku pelajaran masih tertata rapi di rak. Debunya pun nyaris tak ada.
Ia terduduk di ranjang, kepalanya dipenuhi kenangan. Ranjang ini saksi bisu atas cinta terlarang yang dulu menyulut api dalam hidupnya.
“Bu, aku nggak ngerti soal ini… bisa dijelaskan lagi?” tanya Arthur, saat itu masih siswa kelas tiga, menjulurkan selembar kertas ujian pada Helena—gurunya.
Helena menghela napas, lalu bangkit dan merebahkan diri di ranjang. “Sudah kujelaskan berkali-kali. Kenapa kamu masih belum paham juga, sih?”
Arthur mendekat, menggoyang-goyang bahunya. “Jangan tidur dulu dong, aku serius, Bu.”
Wanita itu mendudukkan diri. Wajahnya cantik, suaranya tenang, tetapi mata Arthur hanya terpaku pada bibir merah yang terlalu dekat untuk diabaikan.
Kecupan lembut terjadi begitu saja. Canggung. Spontan. Helena tak membalas… tapi tak juga menolak. Arthur merasa bodoh. Tapi saat ia hendak menjauh, Helena malah menahan dan menarik tubuhnya mendekat.
Guru itu mendominasi—mengajari dengan lembut namun tegas. Jemarinya menari, menelusuri tubuh perjaka yang belum mengenal batas.
Malam itu, di kamar kecil beralas tikar, Arthur kehilangan sesuatu yang tak bisa dikembalikan. Bukan hanya keperjakaannya—tapi juga batas antara benar dan salah, antara cinta dan dosa.
“Jangan pernah tinggalkan aku, Bu. Aku mencintaimu.” ucapnya lirih sambil memeluk tubuh wanita bersuami itu.
---
Angin malam tiba-tiba menyusup masuk lewat jendela. Membuyarkan lamunan. Arthur terbangun. Ia menutup jendela dengan cepat, tapi pandangannya tertumbuk pada sosok di luar rumah.
Seseorang berdiri di bawah pohon mangga. Sosok wanita, tubuh ramping, rambut sebahu, wajah… yang sangat ia kenal.
“Helena!”
Arthur bergegas keluar rumah, berlari menembus halaman yang dipenuhi rumput liar. Matanya tak berkedip, mengejar sosok yang selama ini hanya hadir dalam mimpi-mimpinya.
Sosok yang membuatnya hidup… sekaligus menghancurkan!
