Bab 2: Penjaga dari Dunia Asing
Api unggun itu berkedip pelan, seolah menari di tengah sunyi. Aroma kayu terbakar samar memenuhi udara, menenangkan, tapi juga menyisakan tanya.
Meiran memeluk lututnya, duduk bersandar pada dinding batu yang dingin. Suasana di dalam gua ini memang lebih tenang dari luar, tapi pikirannya sama sekali tak tenang. Matanya beberapa kali mencuri pandang ke arah pria bernama Yuhuan, yang kini duduk di seberang api.
Ia masih tampak tenang, dengan mata menatap api. Namun, dari cara dia menggenggam gagang pedangnya yang bersandar di samping, Meiran tahu, dia tidak sepenuhnya rileks.
Di sela perhatiannya, Meiran tiba-tiba menyadari sesuatu yang membuat napasnya tercekat.
Di antara rambut perak Yuhuan yang panjang, ia melihatnya dengan jelas sepasang telinga berbulu, runcing, dan bergerak halus mengikuti suara. Itu bukan telinga manusia.
Meiran menahan napas sejenak, jantungnya berdebar.
"Itu..." Meiran akhirnya memberanikan diri bertanya, menunjuk dengan ragu. "Telingamu...?"
Yuhuan meliriknya sekilas, lalu mengalihkan pandangan kembali ke nyala api. Seolah ia sudah lama terbiasa dengan tatapan semacam itu.
"Aku bilang, aku bukan manusia biasa," jawabnya tenang.
Meiran bergeser sedikit, rasa ingin tahunya mengalahkan rasa takut. "Kalau begitu... kamu sebenarnya apa?"
Untuk sesaat, Yuhuan hanya diam, seperti mempertimbangkan jawabannya. Lalu ia berkata pelan, suaranya berat.
"Aku berasal dari Klan Serigala Langit. Klan yang sudah ada jauh sebelum manusia menguasai dunia ini."
Meiran mengerjap. "Serigala Langit?"
"Benar." Yuhuan mengangguk. "Klan kami hidup di antara manusia, melindungi batas dunia dari kekuatan yang tidak seharusnya dibangkitkan. Seperti Lingya Crystal."
Meiran menelan ludah, merasa semakin kecil di hadapan pria ini. "Jadi... kamu memang bukan manusia?"
Yuhuan berbicara perlahan, seakan mengenang masa lalu yang jauh.
"Dulu, sebelum manusia memenuhi dunia ini, klan kami sudah ada... Sebagai penjaga kuno, kami menjaga keseimbangan alam."
Ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan,
"Namun dunia berubah. Beberapa dari kami memilih berjalan berdampingan dengan manusia. Dari pertemuan itu, lahirlah generasi baru sepertiku. Aku bukan sepenuhnya manusia, tapi juga bukan siluman murni."
"Aku masih punya darah manusia," kata Yuhuan sambil tersenyum tipis. "Tapi aku juga mewarisi kekuatan para penjaga kuno."
Meiran menunduk, mencoba mencerna semuanya. Dunia ini benar-benar jauh dari segala logika yang ia kenal.
Sejenak ia memejamkan mata, menarik napas panjang.
Bayangan kota besar tempat ia tinggal, apartemen mungil yang sepi, jalanan sibuk yang ramai oleh suara kendaraan, semua itu terasa seperti mimpi yang perlahan memudar.
Meiran menatap Yuhuan dengan mata melebar, napasnya memburu. Rasa takut dan kepanikan yang selama ini ia tahan perlahan menyeruak keluar.
"Aku bisa balik, kan?" suaranya bergetar. "Kamu tau caranya, kan?"
Yuhuan tetap diam, seolah ragu bagaimana harus menjawab.
Meiran melangkah mendekat, matanya memohon namun nadanya mendesak. "Kamu penjaga kristal ini, kan? Kamu pasti tau! Bilang sama aku! Gimana caranya aku balik ke dunia asalku?!"
Yuhuan menatap Meiran dalam-dalam, ekspresinya tetap tenang, tapi ada ketegangan samar di rahangnya. "Aku tidak tahu," jawabnya datar.
Meiran menggeleng keras, suaranya semakin meninggi karena rasa panik yang tak terbendung. "Kamu bohong! Kamu pasti tahu sesuatu! Aku tidak seharusnya di sini! Aku harus pulang! Kumohon... katakan!"
Yuhuan menghela napas panjang. Ketika ia berbicara lagi, suaranya terdengar lebih tegas, dingin, dan tidak terbantahkan.
"Aku sungguh tidak tahu. Lingya Crystal memilihmu. Aku hanya penjaganya, bukan penguasanya. Kalau ada jalan pulang, itu bukan sesuatu yang bisa aku tentukan."
Meiran berdiri membeku. Ucapan Yuhuan terasa seperti palu godam yang menghantam keras harapannya. Perlahan, ia merosot duduk di tanah, memeluk lututnya erat-erat.
"Aku... aku harus pulang..." bisiknya lirih, seolah berbicara pada dirinya sendiri.
"Semester baru..." Kuliah... teman-temanku... masa depanku... bagaimana sekarang?"
Matanya mulai memanas, rasa frustasi dan ketakutan menumpuk jadi satu. Ia menunduk dalam-dalam, menggigit bibir bawahnya agar tidak menangis.
Yuhuan menatapnya dalam diam. Meski wajahnya tetap keras, ada sorot iba samar di matanya. Ia mengerti betapa berat beban yang ditanggung gadis itu. Namun ada hal-hal di dunia ini yang bahkan dirinya pun tidak bisa ubah.
Suara Yuhuan akhirnya terdengar lagi, lebih lembut, tapi tetap tegas, seperti batu karang di tengah ombak.
"Selama ini kamu selamat karena pilihan kristal itu sendiri. Yang perlu kamu lakukan sekarang... bertahan."
Meiran mengangkat wajahnya perlahan. Matanya merah, tapi ada sedikit cahaya baru di dalamnya. Ia belum menyerah.
Hening sejenak.
Meiran kemudian bergumam, "Aku berharap ini cuma mimpi..." Suaranya hampir tak terdengar, tapi cukup untuk membuat Yuhuan menoleh.
"Kau masih berpikir ini mimpi?" tanyanya.
Meiran menghela napas panjang. "Aku berharap begitu. Tapi aku bisa merasakan rasa sakit... aku bisa mencium bau tanah, dan... iblis itu tadi, mereka terlalu nyata."
Yuhuan mengangguk kecil.
Meiran mengangkat wajahnya, memberanikan diri bertanya lagi. "Tadi... kamu bilang soal kristal? Lingya Crystal?"
Yuhuan menatapnya cukup lama sebelum menjawab, "Kristal itu sekarang berada dalam tubuhmu."
Meiran terperangah. "Apa maksudmu berada di dalam tubuhku?"
"Aku tidak tahu bagaimana kau dipilih. Tapi ketika kristal itu bereaksi, aku tahu... kau telah terhubung dengannya."
Meiran memegang dadanya, seolah berharap bisa merasakan sesuatu. Tapi jantungnya tetap berdetak seperti biasa. Namun ia tidak bisa menyangkal perasaan asing yang mengalir di dalam dirinya sejak ia terbangun di hutan itu.
"Kristal itu... apa sebenarnya?" tanyanya pelan.
"Itu adalah pecahan dari kekuatan langit. Diberikan oleh para Dewa untuk menjaga keseimbangan dunia ini," ujar Yuhuan. "Kristal itu dulu disimpan dalam segel kuat, dijaga oleh klan kami."
Meiran mengerutkan kening. "Tapi kenapa bisa masuk ke tubuhku?"
"Itu yang ingin aku ketahui juga." Yuhuan menatap api, sorot matanya dalam. "Lingya Crystal tidak sembarangan memilih tuan barunya."
Meiran terdiam.
Ia mengusap lututnya perlahan. "Jadi... kamu akan tetap melindungiku... meski aku cuma orang asing?"
Yuhuan menoleh ke arahnya, suaranya tenang. "Kau bukan orang asing bagi kristal itu. Dan karena itu... kau juga bukan orang asing bagiku."
"Aku memang dikirim untuk menemukan Lingya Crystal," lanjutnya. "Saat aku merasakan reaksi energinya tadi, aku tahu... dia sudah terbangun. Dan aku datang."
Meiran menunduk, pikirannya penuh pertanyaan dan kekhawatiran yang tidak bisa ia bagi kepada siapa pun.
"Kalau begitu..." gumamnya, "kita sekarang ada di mana? Tempat ini... dunia ini?"
Yuhuan menghela napas. "Kita berada di Wilayah Tianlu. Ini salah satu wilayah kuno yang masih mempertahankan bentuk aslinya, tanpa banyak tercampur tangan manusia."
Meiran mencatat nama itu dalam pikirannya. Tianlu. Dunia asing yang terasa begitu jauh dari segalanya.
Hening kembali menyelimuti gua.
Tapi baru saat matanya hampir terpejam, ia berbisik, "Yuhuan... kalau kau berasal dari klan siluman, apa kau bisa merasakan bahaya sebelum datang?"
Yuhuan mengangkat wajahnya. "Ya. Kenapa?"
Meiran menelan ludah. "Aku tidak tahu kenapa... tapi aku merasa gelisah. Seperti ada sesuatu yang mendekat."
Yuhuan langsung berdiri, tubuhnya tegang. Ia melangkah ke mulut gua, telinganya bergerak halus, mendengarkan.
Beberapa detik hening... lalu ia berbisik, hampir tak terdengar.
"Ada yang mendekat."
Meiran membeku. "I-iblis lagi?"
"Bukan," jawab Yuhuan. "Langkahnya ringan... sangat cepat... dan baunya..."
Ia menggenggam pedangnya.
"...bukan iblis. Tapi bukan manusia juga."
Cahaya api unggun meredup. Udara di dalam gua mendadak berat.
Tiba-tiba, dinding batu di sisi gua bergetar pelan.
Meiran menahan napas, tubuhnya membeku.
Lalu, sebuah suara terdengar dari luar. Suara perempuan datar, dingin, namun indah, seperti sebuah bisikan yang menembus udara yang sunyi.
"Penjaga... kau sudah menemukannya rupanya."
Yuhuan menggeram pelan, matanya tajam menatap kegelapan di luar gua. "Dia datang lebih cepat dari perkiraan."
Meiran menelan ludah, berusaha menguasai dirinya. "Siapa dia?"
Yuhuan tidak menjawab. Namun, cengkeramannya pada pedang semakin kuat, tubuhnya siap untuk bergerak. "Bersiaplah," katanya, suaranya rendah dan penuh peringatan. "Ini akan segera jadi lebih rumit."
