Part 3. Petaka Pernikahan
Pernikahan Maharani dan Jeremy Hansen digelar dengan kemegahan yang tak terbantahkan, sesuai dengan status keluarga mereka yang terpandang. Semua persiapan dilakukan dengan cermat, detail, dan penuh perhitungan. Lokasi yang dipilih adalah salah satu hotel bintang lima yang paling eksklusif di Bali, tempat yang sering menjadi tujuan bagi pasangan kaya raya untuk merayakan momen-momen penting dalam hidup mereka.
Maharani berdiri di depan cermin besar di ruang rias, mengenakan gaun pengantin berwarna putih mutiara yang indah, dengan detail renda dan kristal yang berkilauan. Gaun itu dirancang oleh perancang terkenal, sesuai dengan permintaan keluarga Hansen. Maharani memandangi dirinya dengan tatapan kosong, seolah ingin menyerap kenyataan yang tengah terjadi. Hatinya bukan milik Jeremy. Hatinya masih terikat pada Lawrence, meskipun ia tak bisa mengabaikan rasa kasihan dan kewajiban yang menekan dirinya.
Sementara itu, di luar ruangan, para tamu mulai berdatangan, mengenakan pakaian formal dengan senyum-senyum yang penuh dengan harapan dan kesan megah. Keluarga Hansen, dengan segala kemewahan yang mereka miliki, menjadi pusat perhatian. Mereka tidak hanya dikenal sebagai pemilik sejumlah properti mewah, tetapi juga sebagai salah satu keluarga paling berpengaruh di Bali dan dunia bisnis.
Jeremy, pengantin pria, sudah siap dengan jas hitamnya yang tampak sempurna. Wajahnya cerah, meskipun matahari terik di luar jendela ruangan itu, ia tampak penuh semangat. Namun, ada sesuatu yang berbeda pada dirinya. Di balik senyum itu, ada kekhawatiran yang jelas terlihat. Mungkin, dia tahu betul bahwa pernikahan ini adalah hasil dari sebuah pengorbanan—bukan hanya bagi Maharani, tetapi juga untuk dirinya sendiri. Dia tahu bahwa cintanya terhadap Maharani adalah sesuatu yang tak bisa dipaksakan, dan dia juga tahu bahwa hatinya takkan pernah sepenuhnya dimiliki oleh wanita yang kini berdiri di hadapannya.
"Semuanya sudah siap, Nani. Waktunya sudah tiba," kata ibunya, yang datang mendekat sambil memegang tangan putrinya dengan penuh kebanggaan.
Maharani menatap ibunya, mencoba tersenyum, tetapi senyum itu terasa dipaksakan. "Aku tahu, Bu," jawabnya perlahan.
Di luar, suara musik mulai terdengar, diiringi dengan sorakan para tamu yang sudah mulai berbaris menuju tempat upacara pernikahan. Semua mata tertuju pada mereka, menyaksikan Maharani dan Jeremy sebagai pasangan yang sempurna, yang akan menjalani hidup bersama dengan segala keuntungan yang ditawarkan oleh dunia mereka.
Upacara pernikahan dimulai dengan penuh kemegahan, ditandai dengan tepukan meriah dari para tamu undangan yang datang dari berbagai penjuru dunia. Para anggota keluarga besar Hansen tampil anggun dan formal, sementara Maharani melangkah menuju altar, menggandeng tangan ayahnya yang penuh dengan kebanggaan dan harapan. Setiap langkah yang ia ambil terasa begitu berat, seolah mengingatkan dirinya sendiri bahwa ia tengah mengorbankan dirinya untuk sebuah janji yang tak sepenuhnya ia inginkan.
Jeremy menunggu di altar dengan senyum lebar, meskipun ada ketegangan yang tampak jelas di wajahnya. Ketika Maharani mendekat, matanya tak bisa lepas dari wajah wanita yang akan menjadi istrinya, meskipun perasaan itu tak lagi begitu tulus. Ia tahu bahwa cintanya akan selalu menjadi satu arah—untuknya, Maharani adalah segala-galanya, namun bagi Maharani, ia hanyalah pilihan yang terpaksa.
Pernikahan itu berlangsung dengan penuh kemewahan, namun di dalam hati Maharani, ada perasaan kosong yang tak bisa ia ungkapkan. Semua itu terasa palsu, namun ia tak bisa menghentikan jalannya takdir yang sudah ditulis untuknya. Ia melihat Lawrence di barisan tamu, duduk di antara orang-orang yang tampaknya tak terlalu peduli dengan perasaan yang sesungguhnya. Lawrence, dengan tatapan penuh makna, hanya bisa tersenyum pahit, tahu bahwa segala yang terjadi adalah akibat dari keputusan yang diambil dengan penuh rasa tanggung jawab.
Setelah upacara pernikahan selesai, para tamu dipersilakan untuk menikmati resepsi yang digelar di ballroom hotel. Musik dansa mengalun, makanan lezat disajikan, dan suasana meriah membuat segalanya tampak sempurna. Namun, bagi Maharani, itu semua hanyalah sebuah penampilan. Semua mata yang tertuju padanya hanya mengingatkan betapa besar pengorbanan yang ia lakukan untuk keluarga, untuk bisnis, dan untuk sebuah harapan yang tak pernah ia pilih.
"Sekarang kita memulai hidup baru, Nani," kata Jeremy dengan lembut saat mereka berdansa bersama. "Aku berjanji, aku akan membuatmu bahagia."
Maharani tersenyum, mencoba menahan air mata yang sudah hampir tumpah. "Aku berharap begitu, Jeremy," jawabnya, meskipun kata-kata itu terasa kosong.
Di malam itu, di bawah kilauan lampu-lampu megah di ballroom, Maharani tahu bahwa ia harus menjalani hidup ini, terperangkap dalam peran yang diberikan padanya. Semua itu untuk keluarga, untuk bisnis, dan untuk orang-orang yang percaya bahwa pernikahan ini adalah yang terbaik. Tapi di dalam hatinya, perasaan yang ia simpan begitu dalam, tak akan pernah benar-benar menghilang.
Sementara di sudut lain ada Lawrence yang tertunduk lesu.
@@
Malam pertama sebagai pasangan suami istri, sebuah momen yang seharusnya penuh dengan kebahagiaan dan harapan, ternyata menjadi sebuah kenyataan yang jauh berbeda bagi Maharani. Resepsi pernikahan yang mewah telah berakhir, dan para tamu undangan perlahan mulai meninggalkan ballroom, meninggalkan Maharani dan Jeremy dalam keheningan kamar pengantin mereka yang mewah. Lampu kristal yang tergantung di atas menambah kemegahan ruangan itu, namun tidak mengurangi perasaan hampa yang mengisi hati Maharani.
Jeremy sudah bersiap, mengenakan jas tidur yang tampak elegan, dengan ekspresi wajah yang terlihat cemas namun tetap berusaha tersenyum. Dia duduk di sisi ranjang, menatap Maharani yang baru saja masuk ke dalam kamar setelah mandi. Wajahnya tampak lelah, dan matanya agak sembab, mungkin akibat terlalu banyak menghabiskan waktu dengan senyum palsu di resepsi. Maharani tidak menatap Jeremy. Ia merasa seperti boneka, menjalani malam yang seharusnya penuh dengan gairah, tetapi malah terasa hampa.
"Jeremy," suara Maharani terdengar serak, hampir seperti bisikan, "Aku tidak ingin ada yang terpaksa malam ini."
Jeremy memandangnya, mengerutkan kening. "Nani, ini adalah malam kita," katanya dengan lembut, berusaha meyakinkan dirinya sendiri dan Maharani. "Ini adalah waktu untuk kita berdua. Aku akan membuatmu bahagia."
Namun, apa yang terjadi selanjutnya justru semakin mengungkap kenyataan yang berbeda dari harapan. Tanpa berkata banyak, Maharani meneguk segelas anggur dari botol yang ada di meja samping tempat tidur. Ia merasa pusing, bukan karena alkohol itu saja, tetapi lebih karena tekanan yang terlalu berat di hatinya. Tak ada keinginan untuk berhubungan dengan Jeremy secara fisik, apalagi emosional.
"Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja," Jeremy berkata dengan suara yang agak terputus-putus, mencoba meredakan ketegangan yang mulai terasa di antara mereka.
Maharani menoleh, melihat sosok pria yang kini menjadi suaminya. Namun, di mata Jeremy, ia melihat ketidaksiapan, ketegangan yang sama yang mengganggunya. Jeremy terlihat sangat cemas, seakan terlalu banyak yang dipikirkan dalam kepala pria itu. Maharani merasa seakan ada jarak yang begitu besar antara mereka, meski mereka baru saja menikah.
Kemudian, ketika malam semakin larut dan mereka berdua terbaring di ranjang, terbungkus dalam selimut yang tebal, perasaan aneh mulai menyelimuti Maharani. Ia ingin tidur, namun rasa cemas dan gelisah menguasai dirinya. Alkohol yang ia minum sedikit banyak membuatnya merasa pusing dan agak terlelap, tetapi ia tidak bisa benar-benar tidur.
Setelah beberapa saat dalam keheningan yang mencekam, Jeremy akhirnya berbicara, suara yang lirih dan penuh beban. "Aku... aku rasa aku tidak bisa melakukannya, Nani," katanya, hampir tidak terdengar.
Maharani tertegun. Untuk beberapa detik, ia tidak yakin apakah ia mendengar dengan benar. "Apa maksudmu?" tanyanya, suaranya datar, tidak merasa marah, hanya bingung.
Jeremy menunduk, tidak bisa menatapnya langsung. "Aku tidak... tidak bisa memenuhi kewajiban sebagai suami," jawabnya pelan. "Aku... aku memiliki masalah, Nani. Aku tak seperti yang kau harapkan."
Maharani merasakan hatinya terhimpit. Semua harapan tentang malam pertama yang romantis, tentang kehangatan seorang suami, seketika runtuh. Bukannya cinta yang ia harapkan, ia malah dihadapkan pada kenyataan pahit—bahwa suaminya ternyata tidak mampu memberikan apa yang seharusnya menjadi bagian dari pernikahan mereka.
Dia tidak tahu harus berkata apa. Bahkan, seandainya ia ingin mencoba mendekat, perasaan kosong yang menggerogoti hatinya terlalu besar untuk diabaikan. Ia menoleh, dan menatap langit-langit kamar yang mewah, berharap bisa melupakan momen ini begitu saja.
Jeremy menarik napas panjang, suaranya pecah saat melanjutkan, "Aku ingin membuatmu bahagia, Nani, tapi... aku tak tahu caranya. Aku... tidak seperti pria lain."
Maharani menutup matanya, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. Malam pertama mereka bukanlah tentang cinta atau kebahagiaan, melainkan tentang rasa kecewa yang menyelimuti dirinya, yang datang begitu cepat dan tak terduga.
Dia tidak tahu berapa lama mereka terdiam, namun yang jelas, malam itu tidak membawa kedamaian. Tanpa ada hubungan fisik yang terjadi, mereka berdua terbaring dalam keheningan, dengan segala keraguan dan kebingungannya masing-masing.
Maharani berusaha untuk tidur, berharap bahwa tidur malam itu akan menghapuskan semua kekacauan yang ada dalam pikirannya, tetapi dia tahu, meskipun matanya terpejam, kenyataan itu tetap ada. Dia telah menikah dengan seorang pria yang tidak bisa memberikan apa yang ia butuhkan, dan itu adalah kenyataan yang sulit diterima.
Di malam pertama mereka sebagai pasangan suami istri, Maharani merasa lebih kesepian dari sebelumnya, dan perasaan itu semakin dalam saat menyadari bahwa ia tak hanya terjebak dalam sebuah pernikahan, tetapi juga dalam sebuah kehidupan yang penuh dengan pengorbanan tanpa kebahagiaan sejati.
