Part 2. Perintah Cinta
Maharani duduk di tepi balkon hotel keluarga Hansen, menikmati senja yang memancarkan cahaya oranye lembut di atas lautan Bali. Di kejauhan, ombak berderu, menyentuh bibir pantai dengan irama yang menenangkan. Namun, perasaan di dalam hatinya tidak se-tenang pemandangan itu. Ada ketegangan yang mengendap, dan semakin lama, semakin tak bisa ia hindari. Sebuah rahasia yang semakin sulit disembunyikan.
Setelah makan malam tadi, segala sesuatunya berubah. Perhatian Jeremy terhadapnya semakin jelas terasa. Senyumnya yang hangat, sapaan lembutnya, semuanya terasa begitu berbeda dari sikap Jeremy yang selama ini ia kenal. Meskipun lebih tua dari Lawrence, Jeremy selalu tampak santai dan ramah, tetapi kali ini ada ketulusan yang mendalam di balik mata cokelatnya yang tajam.
Saat Maharani hendak melangkah masuk ke dalam ruangan, langkahnya terhenti ketika Lawrence tiba-tiba muncul di hadapannya, dengan ekspresi yang tak biasa—penuh kekhawatiran dan kecemasan.
"Nani, aku harus bicara denganmu," ujar Lawrence dengan nada yang serius, meskipun ada keheningan yang tegang di antara mereka. "Tentang Jeremy."
Maharani menatap Lawrence dengan bingung. "Apa yang terjadi, Lawrence? Kenapa tiba-tiba begitu serius?"
Lawrence menundukkan kepala, seolah berat untuk mengungkapkan apa yang ada di pikirannya. "Nani, aku tahu ini mungkin akan membuatmu bingung, tapi aku harus memberitahumu. Jeremy… dia jatuh cinta padamu."
Maharani terkejut. “Jeremy... mencintaiku?” Suaranya hampir tidak terdengar, kaget dengan pengakuan itu. "Tapi, Lawrence, kita baru saja bertemu, bagaimana bisa—"
"Tolong, Nani," potong Lawrence dengan suara penuh harap, "jangan tolak dia. Dia benar-benar mencintaimu. Dan aku tahu kamu mungkin merasa canggung, tapi aku ingin kamu memberi dia kesempatan."
Maharani diam, berusaha menyusun kata-kata. Ia tidak tahu bagaimana harus merespon. Di satu sisi, ia merasa tersentuh oleh perhatian Jeremy, namun di sisi lain, ia tahu bahwa segala sesuatu yang melibatkan keluarga Hansen—terutama Lawrence—tak pernah semudah itu.
Namun, Lawrence melanjutkan dengan tatapan yang penuh kesedihan. "Ada sesuatu yang harus kamu ketahui tentang Jeremy, Nani. Sesuatu yang tidak bisa aku katakan sebelumnya. Dia… dia tidak akan lama lagi. Penyakit yang dia derita sudah mulai merenggutnya. Dokter sudah memberi tahu kami bahwa waktu yang dia miliki sangat terbatas."
Maharani terkejut dan hampir tidak percaya mendengar kalimat itu. "Apa? Kamu serius, Lawrence? Kenapa kamu baru memberitahuku sekarang?"
Lawrence menatapnya dengan mata penuh penyesalan, seolah-olah beban hidupnya semakin berat. "Aku tahu ini bukan cara yang mudah untuk memberitahumu. Aku tidak ingin kamu merasa terbebani oleh rasa kasihan, tetapi aku ingin kamu tahu. Aku berharap dia bisa menemukan kebahagiaannya, bahkan jika hanya untuk sementara. Aku ingin dia merasakan cinta yang sesungguhnya."
Maharani merasa perasaannya campur aduk. Hatinya terasa hancur mengetahui bahwa Jeremy, yang selama ini tampak penuh hidup, ternyata memiliki waktu yang terbatas. Ia merasa terperangkap di antara dua perasaan: cinta dan belas kasihan.
Lawrence melanjutkan, kali ini suaranya hampir tak terdengar, penuh dengan harapan yang memohon. "Aku tahu ini berat, Nani, tapi aku mohon padamu. Terimalah cinta Jeremy. Berikan dia kebahagiaan yang selama ini dia cari. Aku tidak bisa memberikan itu, tapi kamu—kamu bisa. Aku ingin dia tahu bahwa dia berarti bagi seseorang. Aku ingin dia tahu bahwa aku, sebagai adiknya, selalu menganggapnya sebagai kakak yang sangat berharga. Aku ingin dia pergi dengan perasaan bahagia."
Maharani merasa tak mampu berkata apa-apa. Ia tahu bahwa Lawrence bukan hanya meminta untuk kebahagiaan Jeremy, tetapi juga untuk dirinya sendiri. Ada keinginan yang dalam agar adiknya, yang selama ini selalu patuh dan berbakti, merasakan sedikit kebahagiaan sebelum semuanya berakhir.
"Lawrence…" suara Maharani terhenti, mencoba menahan air matanya yang sudah menggenang. "Ini terlalu berat untukku."
Lawrence mendekat, menatapnya dengan penuh harapan. "Aku tahu ini sulit, Nani. Tetapi tolong, lakukan ini untukku, untuk Jeremy, dan untuk kebahagiaan kita semua. Jangan biarkan dia pergi dengan perasaan kosong. Tolong beri dia cinta yang dia butuhkan. Aku janji, setelah ini, apapun yang terjadi, aku akan mendukungmu."
Maharani menundukkan kepala, berusaha meresapi segala yang baru saja Lawrence katakan. Hatinya terasa sangat berat, namun ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya tidak bisa menolak permintaan itu. Ia tahu, meskipun ia tidak bisa sepenuhnya membuka hatinya untuk Jeremy, ia harus memberikan kesempatan itu. Tidak hanya untuk Jeremy, tetapi juga untuk Lawrence, yang selalu ada untuk keluarganya, selalu berkorban demi orang lain.
"Aku akan mencoba, Lawrence," jawabnya pelan, suara penuh ketegaran yang tak sepenuhnya ia rasakan. "Aku akan memberi kesempatan pada Jeremy."
Lawrence menghela napas lega, sebuah senyuman tipis menghiasi wajahnya, meski ada kesedihan di matanya. "Terima kasih, Nani. Aku tahu kamu adalah orang yang baik."
Namun, di dalam hati Maharani, sesuatu mulai berubah. Cinta dan kebahagiaan bukanlah sesuatu yang bisa ia pilih dengan mudah. Dengan setiap langkah yang ia ambil, ia semakin terjerat dalam hubungan yang rumit, yang tak hanya melibatkan perasaan hati, tetapi juga takdir yang tak bisa ia hindari.
@@@
Maharani berjalan pelan menuju ruang kerja ayahnya, berusaha menenangkan pikirannya yang bergejolak. Suasana malam di vila keluarga Hansen terasa sepi, hanya ada suara angin yang berhembus lembut di luar. Namun, di dalam hatinya, ada kegelisahan yang semakin memuncak. Ia tak tahu lagi harus berbuat apa. Hatinya masih terbelah, antara rasa kasih sayang yang tulus pada Lawrence dan rasa kasihan yang tak bisa dihindari untuk Jeremy. Tapi, sekarang, ada satu lagi suara yang memanggilnya—suara yang lebih kuat dari yang lainnya. Suara ayahnya.
Ia mengetuk pintu ruang kerja sang ayah. "Masuk," terdengar suara ayahnya dari dalam.
Maharani membuka pintu dan melangkah masuk. Sang ayah, seorang pengusaha hotel yang dikenal tegas dan memiliki jaringan luas, sedang duduk di belakang meja kerjanya, menatap beberapa dokumen penting. Maharani bisa melihat betapa serius ayahnya dalam pekerjaannya, tetapi kali ini, suasana di dalam ruangan itu berbeda. Ada sesuatu yang menggantung di udara, sesuatu yang menuntut perhatian.
"Ayah, ada apa?" tanya Maharani, meskipun ia sudah bisa menebak apa yang akan terjadi.
Ayahnya menatapnya dengan tatapan penuh arti, meletakkan pena di meja dan melipat tangannya di atas dokumen-dokumen yang berserakan. "Nani," suara ayahnya terdengar lebih lembut dari biasanya, tetapi tetap penuh kekuatan. "Aku tahu kamu sedang menghadapi situasi yang rumit, dan aku bisa melihat bagaimana perasaanmu."
Maharani berdiri di depan meja, menundukkan kepala. "Ayah, aku tidak tahu harus bagaimana. Jeremy… Jeremy jatuh cinta padaku. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku merasa terjebak dalam situasi yang membingungkan aku."
Ayahnya menghela napas panjang. "Nani, aku mengerti itu semua. Tetapi ada yang lebih besar yang harus kamu pikirkan—keluarga kita, masa depan bisnis ini. Hansen adalah investasi yang sangat penting bagi kita, dan keluarganya memiliki pengaruh besar dalam dunia bisnis."
Maharani terdiam, merasakan berat kata-kata ayahnya yang mengalir begitu lancar. Ia tahu bahwa ayahnya selalu memprioritaskan bisnis dan ambisi keluarga di atas segalanya, namun ia tidak pernah menduga ayahnya akan memintanya untuk mengorbankan perasaannya demi kemajuan tersebut.
"Jeremy, meskipun ada masalah pribadinya, adalah bagian dari keluarga Hansen yang sangat berpengaruh," lanjut ayahnya. "Jika kamu bisa menerima cintanya dan menikah dengannya, itu akan membuka pintu yang sangat besar bagi kita, Nani. Jaringan bisnis yang mereka miliki, pengaruh di pasar internasional—semuanya akan terbuka lebar untuk kita."
Maharani merasa hatinya semakin berat mendengarnya. Ia tahu ayahnya berbicara dengan alasan yang masuk akal dari sudut pandang bisnis, namun di sisi lain, hatinya tidak bisa mengabaikan perasaan pribadi yang semakin membingungkan. Ia mencintai Lawrence, tetapi perasaan itu tidak dapat menghalangi kenyataan bahwa ia kini dihadapkan pada pilihan yang sulit.
"Ayah, aku tahu betul apa yang kamu harapkan. Tetapi, bagaimana jika aku tidak bisa menerima perasaan Jeremy? Bagaimana jika aku tidak bisa mengasihinya seperti yang dia inginkan?" tanya Maharani dengan suara pelan, berusaha jujur pada dirinya sendiri.
Ayahnya mendekat, menatapnya dengan mata tajam penuh pengertian. "Kamu harus bisa, Nani. Terkadang, dalam hidup ini, kita harus melakukan hal-hal yang tidak kita inginkan demi kepentingan yang lebih besar. Aku tidak ingin kamu merasa tertekan, tetapi kamu harus memahami bahwa ini adalah kesempatan langka untuk keluarga kita. Semua yang kita perjuangkan selama ini bisa terwujud jika kamu menerima tawaran ini."
Maharani menundukkan kepala, memikirkan kata-kata ayahnya. Sejenak, ia merasa cemas dan bingung. Apakah benar keputusan ini akan membawa kebaikan bagi keluarganya? Apakah ia benar-benar bisa mengorbankan perasaannya demi bisnis dan masa depan yang lebih cerah?
"Tapi, Ayah, bagaimana dengan hatiku? Bagaimana dengan perasaan Lawreny?" Maharani bertanya, mencoba mencari celah untuk memahami lebih dalam.
Ayahnya menghela napas, berusaha meyakinkannya. "Jeremy adalah pria yang baik, Nani. Dia akan membuatmu bahagia. Mungkin awalnya kamu merasa canggung, tapi seiring waktu, kamu akan memahami kenapa aku meminta ini darimu. Cinta itu bisa tumbuh, jika kamu memberi kesempatan."
Maharani merasa dadanya semakin sesak. Ada banyak pertanyaan yang menggelayut di benaknya, namun satu hal yang pasti—apapun keputusan yang ia ambil, itu akan mengubah hidupnya selamanya. Menerima lamaran Jeremy berarti membuka pintu menuju dunia yang baru, yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Sebuah dunia yang tidak hanya berisi cinta, tetapi juga harapan dan ambisi besar yang terikat pada nama keluarga Hansen.
"Ayah… aku akan mencoba. Aku akan berbicara dengan Jeremy," akhirnya Maharani mengalah, meskipun hatinya masih penuh dengan kebimbangan.
Ayahnya tersenyum puas, meskipun senyum itu tampak tidak sepenuhnya tulus. "Terima kasih, Nani. Aku tahu kamu akan melakukan yang terbaik untuk keluarga kita."
Maharani merasa jantungnya berdebar keras. Dalam perasaan yang bercampur aduk, ia tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
