Bab 7
Aisyah terus mencoba menghubungi Agung dan mengirimkan beberapa pesan pada media sosialnya. Tetapi sayangnya tak ada satupun yang di balas bahkan di bacapun tidak.
"Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa mas Agung tidak membalas semua pesanku bahkan sekarang nomornya sudah tidak aktif lagi." Aisyah merenung menatap handphonenya.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" gumamnya.
"Ais, kamu sudah tidur?" seruan Amierra menyadarkan Aisyah dari lamunannya.
"Belum Umi," jawab Aisyah beranjak dari duduknya dan berjalan membuka pintu kamarnya.
Di sana tampak Amierra tengah tersenyum penuh kelembutan kepadanya.
"Ada apa Umi?" tanya Aisyah.
Amierra menggiring Aisyah masuk ke dalam kamarnya dan mereka duduk bersama di sisi ranjang.
"Jadi bagaimana Raihan, menurutmu?" tanya Amierra to the point.
"Raihan?" Aisyah terdiam sesaat dan kenangan tadi siang terbayang dalam ingatannya.
"Dia baik dan cukup menyenangkan," seru Aisyah berkata apa adanya. Entah kenapa bayangan saat Raihan memasak dengan setelan koki nya tampak begitu gagah dan menawan sampai Aisyah tak bisa mengenyahkan bayangan itu dari benaknya.
"Hmmm sepertinya dia lebih dari itu yah," goda Amierra membuat Aisyah menoleh padanya.
"Maksud Umi apa?" tanya Aisyah mendadak salah tingkah hingga wajahnya memerah.
"Dengar sayang, usia kalian kan sudah tidak muda lagi. Kalau kamu memang nyaman dengan Raihan, bagaimana kalau kita resmikan saja hubungan kalian?" seru Amierra terlihat jelas sekali begitu bersemangat.
"Kenapa harus secepat ini, Umi? Aku masih membutuhkan waktu," seru Aisyah. "Lagipula usia kami berbeda jauh, Umi. Jalan pikiran kami berbeda, dan jelas sekali Raihan begitu banyak fansnya. Dia pasti akan menolak Ais yang sudah tua juga seperti Ibu Ibu ini," seru Aisyah.
"Jangan pesimis dong Sayang, cinta itu tidak memandang apapun. Umi sama Abi saja usianya terpaut jauh," seru Amierra.
"Berbeda lah Umi, Antara Umi dan Abi, Abi yang lebih tua dan dewasa. Sedangkan Ais dan Raihan? Dia lebih muda dari Ais, Mi." Tampak sekali Aisyah masih tidak menerima Raihan dan perjodohan ini.
"Baiklah baiklah, Umi tidak akan memaksa lagi. Kamu masih bisa pendekatan dengannya, tetapi ingat ya Sayang. Kalau sudah merasa cocok dan klop dengannya langsung beritahu kami. Tidak baik lho berdekatan lama-lama sebelum menikah," seru Amierra.
"Iya Umi," jawab Aisyah yang tidak yakin akan menerima Raihan.
***
Aisyah baru saja keluar dari gerbang sekolah, saat itu security menghampirinya dan menyerahkan sebuah amplop coklat padanya katanya tadi ada kurir pos yang menitipkannya ke security.
"Terima kasih Pak," seru Aisyah menerimanya dan Security tersebut berlalu pergi meninggalkan Aisyah sendiri. Suasana sekolah tampak sudah begitu sepi, Aisyah memang terbiasa pulang terlambat setelah para siswa dan siswi pulang.
Aisyah membuka amplop itu dan ternyata isinya sebuah undangan cantik.
"Undangan dari siapa," gumamnya seraya membuka bungkusnya.
Deg
Dari kejauhan Raihan memperhatikan Aisyah. "Apa yang sedang dia baca?" gumam Raihan saat melihat perubahan ekspresi dari Aisyah.
Ia semakin kaget saat melihat air mata jatuh dari pelupuk mata Aisyah. Dengan bergegas Raihan menuruni mobilnya dan berjalan dengan langkah lebar mendekati Aisyah.
"Rahayu Anita Marwani dan Agung Budiman," seru Raihan membaca nama yang tertera di dalam undangan.
Mendengar seruan Raihan, Aisyah mengangkat kepalanya dan menatap ke arah Raihan dengan sendu. Terlihat jelas tatapan terluka.
"Apa pria ini?" tanya Raihan menggantung di udara.
"Hari ini aku akan pulang sendiri," gumam Aisyah menghapus air matanya dan berjalan meninggalkan Raihan yang mematung sendiri di tempatnya melihat punggung Aisyah yang berjalan menjauh menghentikan taxi.
----
Raihan duduk termenung di dalam mobilnya, ini sudah satu jam ia duduk di sana memperhatikan Aisyah yang duduk di kursi taman seorang diri tengah menangis.
Raihan merasa ini sudah cukup, ia kini menuruni mobilnya dan berjalan mendekati Aisyah. Aisyah terlihat menatap nanar undangan di tangannya dengan tubuh gemetar dan air mata yang terus mengalir membasahi pipinya.
"Sudah cukup kamu menangisinya, Ay. Pria itu tidak pantas untuk kamu tangisi," seru Raihan yang berdiri di samping kursi taman.
Aisyah mengangkat kepalanya dan menoleh ke arah Raihan dengan tatapan nanar. "Kamu tau aku di sini?" tanya Aisyah.
"Ya, aku membuntutimu dan memperhatikanmu dari jauh. Aku khawatir kamu meloncat dari atas jembatan," seru Raihan dengan santai membuat Aisyah mengerucutkan bibirnya.
"Aku masih memiliki akal sehat!" jawab Aisyah.
"Ya kalau masih memiliki akal sehat, kenapa masih menangisinya? Tidak ada kerjaan sama sekali," seru Raihan.
"Kamu gak akan paham bagaimana sakitnya di khianati. Apalagi tanpa ada kata apapun, tau-tau undangan ini datang. Aku merasa begitu terguncang," seru Aisyah.
"Selama dua tahun aku menunggunya, aku menjaga hati ini karena dia berjanji akan meminangku setelah tugasnya di Aceh selesai, tetapi-"
"Tetapi yang datang malah sebuah undangan? Dan bukan namamu yang terukir indah di dalam undangan itu," ucap Raihan.
"Kamu mengejekku?" seru Aisyah merasa kesal dengan ekspresi yang di tunjukkan Raihan.
"Tidak, untuk apa aku mengejekmu. Hanya lucu saja, wanita memang selalu mengutamakan perasaan di bandingkan logika nya," ucap Raihan.
Aisyah hanya diam.
"Kenapa kamu begitu polos atau mungkin bego. Mau saja menuruti dia untuk menunggunya. Apa dia sudah melamarmu ke orangtuamu? Atau menyimpan ucapan pada orangtuamu?" tanya Raihan.
"Aku tidak bego, aku hanya terlalu polos," bela Aisyah.
"Polos dan bego itu berbeda tipis," seru Raihan.
"Kamu datang kesini untuk menghiburku atau ingin menambah kesedihanku?" tanya Aisyah.
"Aku hanya ingin kamu melihat dunia nyata bukan ucapan yang hanya bisa menyenangkan hati tetapi hanya sesaat."
"Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan, yang di sebut jodoh hingga jannah pastilah yang terbaik untuk kita menurut Allah bukan menurut kita. Seharusnya kamu bersyukur dan berterima kasih pada Allah, karena Allah telah menunjukkan bagaimana keburukan pria yang kamu cintai itu sebelum kalian menikah. Pria itu tidak bisa bertanggung jawab dan menepati janjinya, apa kamu masih mau berumah tangga dan memiliki suami seperti dia?" tanya Raihan kini dengan tampang serius.
Aisyah terdiam dan menundukkan kepalanya.
"Dua minggu terakhir kami masih saling berkomunikasi, tetapi setelah itu dia menghilang dan sekarang tiba-tiba datang sebuah undangan. Aku merasa sangat di bohongi dan di khianati. Memang kami tidak memiliki hubungan seperti sepasang kekasih. Aku hanya berusaha menjaga hatiku dan melantunkan doa untuk perasaan ini padanya. Aku mencoba mempercayainya yang akan meminangku setelah dia selesai bertugas."
"Aku memang bodoh, dulu aku terlalu kagum padanya dan keinginanku yang berharap memiliki seorang suami seperti Abi ku, maka dari itu aku menaruh harapan besar padanya," ucap Aisyah.
"Karena mereka sama-sama seorang TNI, bukan berarti sikap dan karakter mereka sama," ucap Raihan.
"Aku terlalu naif dalam hal itu," ucap Aisyah.
"Kalau begitu sudah cukup bersedihnya, sebaiknya sekarang kita pergi makan. Tidak baik bersedih terlalu lama atas luka yang kamu ciptakan dengan sendirinya. Hatimu berhak bahagia. Jadi berhentilah meratapinya, pria bukan hanya dia saja. Akan ada jodoh terbaik yang sudah Allah siapkan untukmu."
Aisyah beristigfar, ucapan Raihan benar adanya. Ia mengusap air matanya dan meremas undangan itu, kemudian membuangnya ke dalam tong sampah.
"Ayo pergi," seru Aisyah berjalan terlebih dahulu diikuti Raihan.
***
