Bab 13
Ini sudah dua hari berlalu dan Aisyah memang belum masuk kembali sekolah untuk mengajar dan selama dua hari ini pun Raihan tak ada menghubunginya ataupun menemuinya. Sebenarnya apa yang terjadi dengan Raihan dan kenapa sikapnya seakan menjauhi dirinya. Dan apa yang telah Raihan bicarakan dengan Abi.
Selama dua hari ini Aisyah semakin tersiksa dan hatinya seakan sesak karena menahan rasa rindu ini. Sebenarnya apa yang terjadi?
Haruskah ia bersikap seperti Khadijah yang berani melamar Rosululloh terlebih dahulu ataukah seperti Fatimah yang memilih menyimpan perasaannya dalam hati dan hanya bisa menyebutkan namanya dalam setiap doanya. Tetapi sesungguhnya semua ini membuatnya tersiksa. Ia merasa sesak dan tersiksa sendiri karena perasaannya dan juga rasa rindu nya.
"Ya Allah, kenapa harus seperti ini," gumam Aisyah tanpa sadar menitikkan air matanya. "Bahkan untuk pertama kalinya aku menangisi seorang pria lain yang tidak memiliki hubungan apapun denganku karena rasa rindu."
"Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa dia menghindariku? Apa itu berarti dia telah menemukan calon istri yang sesuai untuk dirinya. Bukankah kami di jodohkan?" gerutu Aisyah merasa sangat kesal.
Ia menatap nanar kakinya yang masih di balut perban, kakinya masih belum sembuh dan besok ia harus kontrol ke rumah sakit.
"Ais, ini Umi bawakan kamu cemilan buah," seru Amierra yang masuk ke dalam kamar Aisyah.
Dengan bergegas Aisyah mengusap air matanya, supaya Amierra tidak sadar kalau dia menangis. Tetapi terlambat karena Amierra sudah melihatnya.
"Ada apa?" tanya Amierra yang kini duduk di sisi ranjangnya. "Apa yang membuat kamu menangis?"
"Itu..." Aisyah mendadak kelu ingin mengatakan apa, ia measa seperti orang bodoh.
"Ada apa Ais? Ceritakan pada Umi?" tanya Amierra terlihat sangat khawatir.
"Umi, dulu Umi dan Abi kan menikah karena di jodohkan. Lalu bagaimana?" tanya Aisyah yang bukannya menjawab pertanyaan Amierra malah berbalik bertanya.
"Bagaimana apanya?" tanya Amierra.
"Awalnya bukankah Umi tidak ingin menikah dengan Abi, lalu kenapa akhirnya Umi bisa begitu mencintai Abi?" tanya Aisyah membuat Amierra terkekeh mendengarnya.
"Karena kuasa Allah, dan cinta tumbuh karena terbiasa. Umi terbiasa di manja oleh Abi, di perhatikan, Abi yang begitu pengertian dan penuh kehangatan. Semua yang ada pada Abi perlahan meruntuhkan keegoisan Umi dan jatuh cinta padanya," seru Amierra.
"Apa benar seperti itu?" tanya Aisyah.
"Ya itu benar, apalagi kalau sudah menjadi suami kita. Mau tidak mau kita harus menerimanya dan belajar mencintainya. Karena dia adalah imam kita dan jodoh yang Allah berikan untuk kita," seru Amierra. "Dan ngomong-ngomong kenapa kamu tidak jawab pertanyaan Umi tadi, kenapa kamu menangis? Dan sekarang kamu bertanya seperti ini, ada apa?" tanya Amierra sangat penasaran.
"Umi, aku sebenarnya tidak paham dengan perasaanku sekarang. Sebenarnya aku merasa begitu tak yakin, dan sangat takut." Aisyah menerawang ke depan, mengingat setiap kejadian saat dirinya bersama Raihan.
"Jantung ini selalu berdebar-debar setiap aku bersama dengan Raihan. Tetapi dari sisi lain hatiku menolaknya, aku merasa tidak pantas untuk memiliki perasaan padanya," seru Aisyah.
"Kenapa?"
"Aku sangat takut, Raihan seorang pria yang begitu tampan, fasionable, pria idaman hampir setiap wanita dan masih sangat muda. Berbeda denganku, aku hanya gadis sederhana dengan usia yang sudah kepala tiga dan aku juga tidak cantik, aku..."
"Cukup Aisyah!" seru Amierra menghentikan ucapan Aisyah. "Allah memberikanmu kesempurnaan dan kamu malah merendahkan dirimu sendiri? Istigfar sayang, dan percayalah cinta tidak memandang semua itu. Cinta itu hanya tertuju pada hati, itulah cinta yang tulus," seru Amierra.
Aisyah terdiam mendengarnya.
"Jangan pesimis Nak, kalau Raihan memang jodoh yang telah Allah tuliskan, maka tidak akan ada yang menghalanginya bahkan sisi lain dari dirimu pun tidak bisa menolaknya," seru Amierra.
"Kalau begitu aku harus bagaimana? Bahkan sekarang Raihan menjauhiku," seru Aisyah dan terlihat matanya kembali berkaca-kaca.
Amierra barulah paham apa yang membuat putrinya itu menangis.
"Berdoalah, mintalah pada Allah sebuah kepastian. Jikalau Raihan yang terbaik untukmu yang telah Allah pilihkan maka mintalah untuk di dekatkan jalan menuju jenjang yang lebih baik dan jikalau bukan yang terbaik untukmu, maka mintalah untuk melapangkan hatimu, untuk bisa ikhlas menerimanya," ucap Amierra.
"Iya Umi benar," ucap Aisyah mengusap air mata di pipinya.
Ia tidak seharusnya terus meratapi seperti gadis ABG begini, semua itu tak akan menghasilkan apapun dan hanya akan sia-sia saja.
"Terima kasih Umi," ucap Aisyah.
"Sama-sama," ucap Amierra tersenyum dan mengusap kepala Aisyah.
***
Di sisi lain Raihan tampak duduk termenung di meja kerjanya, beberapa berkas pekerjaan tampak di abaikannya di atas meja. Pikirannya melayang memikirkan ucapan Djavier beberapa hari lalu.
"Apa aku harus mencobanya?" gumamnya.
Bayangan wajah Aisyah seakan mengusik pikirannya dan merenggut seluruh konsentrasinya.
Tadi malam ia sudah berdiskusi dengan kedua orangtuanya mengenai apa yang di katakan Djavier dan langkah apa yang akan dia ambil. Dan syukurlah kedua orangtuanya mendukung dirinya sepenuh hati.
Yang menjadi masalah untuk Raihan kini adalah Aisyah. Wanita itu terlalu jutek dan susah di pahami membuat Raihan sedikit pesimis untuk melangkah maju. Di tambah lagi Aisyah masih memendam perasaan pada Agung. Raihan belum siap mendengar jawaban yang mungkin akan sangat menyakiti hatinya itu.
Keesokan harinya Aisyah baru saja keluar gerbang sekolah dengan menggunakan satu tongkat untuk membantunya berjalan karena kakinya masih belum sembuh.
Langkahnya terhenti saat tatapannya menangkap sosok yang begitu ia rindukan selama ini.
Terlihat Raihan baru saja menuruni mobilnya dan berjalan santai dengan senyuman khasnya mendekati Aisyah. Aisyah mendadak salting dan gugup sendiri, Ia merasa penampilannya sangat kacau dan ia belum siap bertemu dengan Raihan.
"Assalamu'alaikum bu Guru," sapa Raihan dengan santai seakan tak terjadi apapun.
"Khem wa'alaikumsalam," jawab Aisyah berusaha menyembunyikan kegugupannya.
"Ayo aku antar pulang," seru Raihan.
"Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri. Aku sudah memesan taxi online," jawab Aisyah.
"Benarkah? Kalau begitu dimana taxi online nya?" tanya Raihan.
"Itu..." Aisyah mengutuk dirinya sendiri yang telah berbohong. "Duluan saja, sebentar lagi juga akan sampai."
"Aku akan menemanimu sampai taxi online nya datang," seru Raihan.
"Tidak perlu, aku bisa menunggu sendiri," ucap Aisyah.
"Tidak bisa begitu, aku ini seorang pria sejati yang tidak akan meninggalkan seorang wanita sendirian, apalagi dalam keadaan sakit seperti ini," ucap Raihan panjang lebar.
"Tidak perlu, aku..."
"Tidak ada penolakan bu Guru, ini hakku untuk tetap berada di sini bersamamu," ucap Raihan tetap keukeuh dengan pendiriannya.
Aisyah menghela nafasnya dan akhirnya mengalah. Percuma saja berdebat dengan seorang Raihan yang terkadang begitu dewasa dan terkadang seperti anak kecil.
15 menit berlalu....
"Lama sekali taxi online nya, batalkan saja, aku antar kamu pulang," ucap Raihan.
"Itu..."
"Itu apa? Kamu belum memesan taxi online nya kan?" tanya Raihan yang tepat sasaran.
"Ayo aku antar kamu pulang," ucap Raihan.
Aisyah kembali mengalah dan akhirnya ia menurut dan menaiki mobil Raihan.
"Tau begini sudah dari tadi kita pergi tanpa perlu berpanas-panasan," keluh Raihan terlihat berkeringat karena kegerahan.
Aisyah tersenyum melihat tingkah Raihan yang kegerahan dengan wajahnya yang memerah.
"Apa yang lucu?" tanya Raihan.
"Wajahmu, mirip badut," tawanya.
"Apa?" seru Raihan merasa kesal.
"Aku serius lho," kekeh Aisyah dan entah kenapa rasa kesal Raihan hilang begitu saja melihat tawa Aisyah yang menurutnya begitu anggun dan sangat cantik.
'Ya Allah... Takdirkanlah wanita di depanku ini untuk menjadi istriku, pendamping hidupku dan menjadi Ibu untuk anak-anakku kelak... Amin Alohumma Amin...'
***
