

BAB. 5 Pertemuan Pertama Marsha dan Arnold
Pertemuan yang telah lama dinanti,
Hari itu akhirnya tiba. Sebuah restoran mewah di dalam Mall Central Park, Jakarta Barat, menjadi saksi pertemuan dua keluarga yang telah lama bersahabat, terutama oleh para ibu yang bersahabat sejak di bangku perkuliahan. Yaitu Keluarga Arnold dan Keluarga Marsha. Di tengah suasana elegan restoran bergaya klasik Eropa dengan alunan musik instrumental lembut, Mami Dina duduk anggun bersama putranya, Arnold Zafazel, pria muda tampan nan kharismatik, berbalut jas semi formal abu gelap dengan rambut tersisir rapi.
“Jangan terlalu tegang, Nak,” bisik Mami Dina pelan sambil menyesap teh hangatnya,
“Mami dan Tante Bertha sudah sepakat, hari ini kita biarkan semuanya mengalir saja. Kamu tinggal jadi diri kamu sendiri.”
Arnold mengangguk sambil menghela napas.
“Iya, Mi. Tapi aku nggak nyangka, dijodohin gini. Kayak kencan buta saja,” ucapnya sambil tersenyum tipis.
Tak lama kemudian, muncullah Mami Bertha dengan langkah percaya diri, diiringi oleh putrinya, Marsha Livia. Gadis anggun berambut panjang yang mengenakan gaun midi berwarna peach pastel itu terlihat memesona. Senyumnya tulus, dan sorot matanya lembut. Sesaat, Arnold terpaku. Ada sesuatu yang terasa familiar dari wajah itu.
“Arnold?” sapa Marsha sambil tersenyum manis,
“Masih ingat aku?”
Arnold bangkit dari kursinya dan menjabat tangan Marsha dengan sopan.
“Marsha … kamu? Kita satu sekolah saat di taman kanak-kanak dulu, kan?”
Marsha tertawa pelan,
“He-he-he. Ya ampun, kamu ingat juga!”
Mami Dina dan Mami Bertha saling melirik dan tertawa senang.
“Kami tinggalkan kalian ngobrol, ya?” seru Mami Bertha sambil berdiri.
“Kita mau ke salon langganan kita dulu, Nak. Pasti kalian punya banyak hal buat diceritain,” tambah Mami Dina, memberi kedipan pada Arnold.
“Jangan kabur ya, Arnold,” goda Mami Bertha sebelum mereka pergi.
“Aku nggak akan kabur, Tante,” sahut Arnold sambil tersenyum.
Begitu kedua ibu itu berlalu, keheningan sempat terjadi di antara mereka. Namun hanya sebentar.
“Kamu berubah banget, Marsha,” ucap Arnold sambil duduk kembali.
“Dulu kamu kecil, cerewet, dan suka rebutan mainan.”
Marsha tertawa,
“Ha-ha-ha. Dan kamu suka nangis kalau kalah main puzzle.”
Arnold ikut tertawa,
“Ha-ha-ha. Ya ampun, jangan bongkar aib aku dong.”
Mereka pun tertawa bersama. Pelan-pelan, suasana menjadi mencair.
“Jadi, kamu sekarang kerja di mana?” tanya Arnold sambil menyesap lemon tea-nya.
“Aku kerja di perusahaan keluarga, sebagai desain interior. Lumayan, proyeknya macam-macam. Tapi lebih banyak handle klien-klien premium. Kadang bikin stres, tapi aku suka,” jawab Marsha sambil tersenyum.
“Kamu sendiri? CEO ya, sekarang?”
Arnold mengangguk.
“Iya, di AZ Corp. Fokus di bidang teknologi dan properti. Dulu aku ragu nerusin bisnis keluarga, tapi akhirnya aku nikmatin juga. Banyak tantangan, tapi itu yang bikin seru.”
Marsha memperhatikan Arnold dengan penuh kagum.
“Kamu kelihatan dewasa banget sekarang … dan sukses.”
Arnold sedikit tersipu.
“Ah, biasa aja kok. Kamu juga kelihatan elegan banget sekarang. Dulu aku nggak nyangka kamu bakal tumbuh secantik ini,” ujarnya jujur.
Marsha menunduk sebentar, menyembunyikan rona merah di pipinya.
“Terima kasih. Kamu tahu nggak, waktu SMA aku sempat lihat kamu di lomba debat antar sekolah.”
Arnold mengerutkan alis, penasaran.
“Serius? Kamu nonton?”
Marsha mengangguk,
“Iya. Dan sejak saat itu entah kenapa, kamu jadi kayak orang yang aku kagumi diam-diam. Tapi ya aku simpan aja sendiri. Gak nyangka sekarang malah kita dijodohin.”
Arnold terdiam sesaat. Perkataan Marsha barusan menggema di pikirannya. Dia merasa hatinya ikut menghangat.
“Kalau kamu ngerasa nggak nyaman dengan semua ini, Marsha, aku ngerti kok. Maksudku, dijodohin bukan sesuatu yang ringan.”
Marsha menatap matanya dan tersenyum lembut.
“Aku nggak keberatan, Arnold. Justru aku bersyukur kita bisa ketemu lagi dalam situasi seperti ini. Aku rasa mungkin ini waktu yang tepat.”
Arnold tersenyum.
“Aku juga mikir hal yang sama. Aku senang kita bisa ngobrol lagi. Dan kamu tahu nggak, waktu pertama kamu masuk tadi, aku sempat mikir, kayaknya aku kenal dia, tapi nggak yakin.”
“Kamu juga berubah, Arnold. Dulu kamu pemalu banget, sekarang bisa pimpin satu perusahaan. Keren.”
Arnold menahan senyum sambil mengusap belakang lehernya.
“Public speaking itu butuh latihan bertahun-tahun, Marsha. Tapi kamu juga luar biasa. Cara kamu bicara sopan, tenang. Aku suka banget sama caramu menyampaikan sesuatu.”
Marsha tersipu,
“Kamu tahu saja cara membuat orang merasa dihargai.”
Keduanya pun melanjutkan percakapan tentang masa kecil mereka, mengenang guru TK yang galak, mainan favorit yang mereka rebutkan, dan foto-foto lawas yang pernah mereka ambil dalam acara pentas seni.
Sambil tertawa mengenang masa lalu, Arnold memandangi Marsha dan berpikir dalam hati, Mungkin ini bukan sekadar perjodohan. Tapi awal dari sesuatu yang lebih indah.
Beberapa saat kemudian, pelayan datang membawa hidangan yang mereka pesan. Keduanya pun menikmati makanan sambil terus bertukar cerita dan tawa. Ada kenyamanan yang tumbuh perlahan, seperti dua orang sahabat lama yang akhirnya bertemu kembali di waktu yang tepat.
Saat mereka selesai makan, Arnold berkata,
“Marsha, boleh nggak kalau aku ngajak kamu jalan-jalan sebentar keliling mall? Ngobrol-ngobrol sambil cuci mata?”
Marsha tersenyum manis. “Tentu saja, dengan senang hati.”
Keduanya lalu berdiri dan berjalan berdampingan meninggalkan restoran. Sementara itu, dari kejauhan, dua ibu mereka yang sedang dalam perawatan kuku memandangi keduanya dari balik kaca salon dengan senyum puas.
“Mereka cocok banget, ya,” bisik Mami Bertha sambil menyesap jus detox-nya.
“Sudah kubilang dari dulu, Arnold itu calon menantu idaman,” sahut Mami Dina bangga.
Sementara itu, di antara langkah-langkah ringan mereka di mall, Arnold dan Marsha terus melanjutkan perbincangan, seolah-olah dunia sedang memberi mereka kesempatan kedua untuk lebih saling mengenal, mencintai, dan mungkin membangun masa depan bersama.
Arnold dan Marsha berjalan berdampingan di antara deretan butik dan coffee shop di Mall Central Park. Lampu-lampu hangat menghiasi langit-langit mall, menciptakan suasana nyaman di sore hari itu. Sesekali, mereka berhenti di depan etalase, berbincang ringan tentang gaya hidup, minat, dan hobi.
“Kamu masih suka baca komik, nggak?” tanya Marsha tiba-tiba sambil menunjuk sebuah toko buku.
Arnold tertawa.
“Ha-ha-ha. Waduh, ketahuan ya? Iya, kadang masih sih. Tapi sekarang lebih ke manga detektif, bukan super hero lagi.”
“Waktu kecil kamu ngefans banget sama Ultraman,” goda Marsha.
Ha-ha-ha!”
Arnold tertawa lebih keras.
“Aduh, jangan dibongkar lagi, dong. Kamu masih ingat banget, ya?”
“Tentu. Inget juga kamu pernah pakai kostum Ultraman ke pesta ulang tahun aku pas kita TK,” jawab Marsha sambil menutup mulut menahan tawa.
Arnold menggeleng-geleng malu.
“Serius, kamu masih inget itu?”
“Masa bisa lupa?” ucap Marsha pelan. Matanya menatap Arnold dalam-dalam, kali ini tanpa bercanda.
“Kamu salah satu bagian manis dari masa kecil aku.”
Arnold mendadak terdiam. Jantungnya berdegup pelan tapi mantap. Perasaan hangat mulai tumbuh di dadanya.
“Aku senang dengar kamu ngomong begitu. Aku juga ngerasa nyaman banget hari ini. Nggak tahu kenapa, kayaknya kita nyambung dari dulu.”
Marsha tersenyum lembut. “Mungkin karena kita memang punya akar yang sama.”
Mereka lalu melanjutkan langkah mereka ke area taman Tribeca Park yang ada di luar mall. Angin sore menghembus lembut, dan suara air dari kolam buatan menciptakan suasana tenang.
“Aku selalu berpikir perjodohan itu kaku, penuh tekanan,” ucap Arnold setelah beberapa saat duduk di bangku taman.
“Tapi denganmu, rasanya kayak ngobrol sama sahabat lama yang udah aku cari selama ini.”
Marsha menoleh, menatap wajah pria di sampingnya yang kini terasa semakin akrab.
“Aku juga sempat nggak percaya saat Mami bilang keluarga kita pengin jodohin kita. Awalnya aku takut ini akan terasa canggung. Tapi ternyata, aku malah merasa nyaman.”
Arnold tersenyum dan menunduk sedikit, lalu berkata pelan,
“Kamu tahu, dulu waktu kecil aku pernah bilang ke Mami kalau aku mau nikah sama temen TK-ku yang paling cantik.”
Marsha menatapnya sambil tersenyum geli.
“Serius? Siapa?”
Arnold menatap mata Marsha dan menjawab lirih,
“Namanya, Marsha Livia.”
Wajah Marsha langsung memerah. Dia menunduk, menyembunyikan senyum bahagianya.
“Arnold .…”
“Iya?”
“Aku juga pernah nulis di buku harianku waktu SMP,” ucap Marsha pelan.
“Kalau suatu hari nanti, aku ingin bertemu lagi sama cowok pintar dan baik hati yang aku suka sejak kecil.”
