BAB. 6 Menghabiskan Waktu Bersama
Arnold memutar tubuhnya menghadap Marsha.
“Itu aku?”
Marsha hanya mengangguk kecil, pipinya masih bersemu merah.
Untuk beberapa saat, mereka hanya saling menatap, dan dalam diam itu, ada sesuatu yang tak terucap tapi sangat terasa, yaitu benih cinta yang perlahan tumbuh, disirami kenangan masa lalu dan kehangatan saat ini.
“Aku ingin mengenal kamu lebih dalam, Marsha,” ucap Arnold mantap.
“Bukan cuma karena orang tua kita berharap begitu, tapi karena aku sendiri ingin.”
Marsha mengangguk dengan mata berkaca-kaca.
“Aku juga, Arnold. Aku mau kita mulai dari awal pelan-pelan, tapi pasti.”
Arnold tersenyum, lalu berdiri dan mengulurkan tangan. “Kalau begitu, mau temani aku minum kopi di rooftop cafe? Sambil lihat sunset?”
Marsha menggenggam tangan Arnold, berdiri dan tersenyum cerah.
“Dengan senang hati.”
Mereka pun berjalan bersama, meninggalkan taman itu menuju rooftop cafe. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, memberi semburat jingga keemasan di langit Jakarta.
Sementara itu, dari dalam salon, Mami Dina dan Mami Bertha yang sudah selesai perawatan kembali duduk santai di lounge, melihat ke arah luar dengan wajah sumringah.
“Sepertinya, semuanya berjalan lebih baik dari yang kita harapkan,” ucap Mami Dina dengan puas.
“Kita tinggal tunggu tanggal yang tepat saja nanti,” timpal Mami Bertha.
“He-he-he.”
Keduanya tertawa pelan, bahagia melihat anak-anak mereka menemukan sesuatu yang bahkan lebih dari sekadar rencana, yaitu sebuah awal dari cinta yang tulus.
Pada suatu siang,
Langit Jakarta tampak cerah meski udara sedikit gerah. Di lantai dua belas sebuah gedung perkantoran megah di kawasan Sudirman, Marsha Livia sedang duduk di ruang kerjanya yang elegan. Meja kayu dengan sentuhan minimalis dipenuhi katalog desain dan layar komputer yang masih menyala. Jam di dinding menunjukkan pukul lima sore.
Tiba-tiba ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.
Arnold :“Hai Marsha, udah mau pulang? Aku jemput ya. Aku mau traktir es krim, nonton, dan makan malam. Siap-siap, ya!”
Marsha tersenyum tipis, jantungnya berdegup lebih cepat. Dia pun mengetik balasan.
Marsha :“Beneran mau jemput aku? Wah, aku jadi deg-degan nih. Okay, give me ten minutes!”
Sepuluh menit kemudian, Marsha keluar dari lift dengan balutan blouse putih dan rok midi krem. Dia mengenakan tas selempang mungil dan sepatu kitten heels. Di lobi, Arnold sudah menunggu dengan kemeja biru dongker dan celana chino abu-abu, terlihat santai tapi tetap rapi.
“Wah, beneran CEO yang jemput aku langsung,” sapa Marsha sambil tersenyum manis.
Arnold membalas dengan senyum hangat.
“Hari ini aku cuti meeting khusus buat kamu. Siap-siap aku manjain, ya.”
Marsha tertawa pelan.
“He-he-he. Wah, aku jadi deg-degan beneran, nih.”
Mereka pun tiba di Mall Pondok Indah sekitar pukul lima sore. Tempat parkir masih cukup lengang, suasana mall belum terlalu ramai. Arnold menggandeng tangan Marsha santai menuju lantai dua, ke sebuah gerai es krim yang terkenal.
“Pilih rasa favorit kamu,” ucap Arnold sambil memandang deretan rasa yang ditawarkan.
“Hmm ... cookies and cream,” jawab Marsha mantap.
“Sama dong! Kita cocok banget, ya,” ujar Arnold sambil tersenyum.
Akhirnya mereka duduk di bangku dekat jendela kaca yang menghadap ke taman air kecil di dalam mall. Cahaya sore menyinari wajah Marsha, membuat pipinya tampak lebih bersinar.
“Kamu selalu sesibuk ini di kantor?” tanya Arnold sambil menyendok es krim.
Marsha mengangguk.
“Yap. Banyak proyek interior yang harus dipantau. Tapi aku suka. Tiap klien yang beda, tiap ruang punya cerita.”
“Kayak kamu ya, tiap sisi punya daya tarik tersendiri,” gumam Arnold setengah bercanda.
Marsha mengangkat alis.
“Itu rayuan, ya?”
“Kalau berhasil, iya,” jawab Arnold cepat.
“Ha-ha-ha!”
Keduanya pun tertawa bersama. Suasana di antara mereka sangat alami, seperti sepasang teman lama yang baru saja menemukan kembali kenyamanan yang hilang.
Setelah menikmati es krim, Arnold menggandeng Marsha ke bioskop XXI di lantai atas. Dia sudah membeli tiket lewat aplikasi.
“Filmnya genre romantis-komedi, ya?” tanya Marsha sambil membaca judul di layar tiket digital.
“Iya. Biar kita bisa ketawa bareng. Tapi kalo kamu nangis, tenang aja, aku bawa tisu,” jawab Arnold.
“Ha-ha-ha, siap, Pak CEO.”
Mereka lalu duduk di bangku couple seat, dan sepanjang film, keduanya tertawa lepas. Sesekali Marsha menyandarkan kepala di bahu Arnold saat adegan lucu atau mengharukan. Arnold membiarkannya, bahkan menggenggam tangan Marsha diam-diam.
Saat lampu studio menyala kembali, Marsha menoleh padanya.
“Kamu tahu nggak, aku udah lama nggak nonton film di bioskop. Biasanya sibuk terus.”
“Berarti hari ini spesial dong?” tanya Arnold.
Marsha mengangguk.
“Iya. Karena ada kamu.”
Arnold hanya tersenyum, namun sorot matanya menunjukkan perasaan yang lebih dalam dari sekadar senang.
Waktu menunjukkan pukul setengah delapan malam saat mereka duduk di sebuah restoran fine dining berdesain elegan di rooftop mall. Lilin kecil menyala di atas meja, dan di kejauhan, lampu-lampu Kota Jakarta berkelap-kelip seperti bintang.
Pelayan datang dan mencatat pesanan keduanya dengan sopan. Setelah itu, hanya ada keheningan yang manis di antara mereka.
“Aku senang bisa mengenal kamu lebih dalam, Marsha,” ucap Arnold setelah menyesap jus buah pilihannya.
Marsha menatap mata Arnold. “Aku juga, Nold. Aku nggak nyangka kita bisa sedekat ini dalam waktu singkat.”
“Karena mungkin hati kita udah lama nyambung, tapi baru ketemu lagi sekarang.”
Marsha tersenyum tipis.
“Tadinya aku pikir kamu nggak bakal ingat aku.”
“Awalnya memang nggak, tapi pas Mami ngomong soal kamu, tiba-tiba semua kenangan saat TK dulu muncul,” jawab Arnold pelan.
“Dan sejak pertemuan itu, aku jadi sering mikirin kamu.”
Marsha menunduk sedikit, pipinya kembali merona.
“Aku juga dulu sempat naksir kamu. Tapi aku simpan sendiri.”
Arnold mendekatkan tubuhnya sedikit.
“Sekarang nggak perlu disimpan sendiri lagi.”
Mereka saling menatap, dan di momen itu, tak perlu banyak kata. Perasaan yang dipendam sejak kecil kini mengalir perlahan, mewarnai malam itu dengan kehangatan yang berbeda.
Makanan mereka datang, dan obrolan pun berlanjut, tentang mimpi, keluarga, dan masa depan.
“Kamu punya rencana besar ke depan untuk AZ Corp?” tanya Marsha sambil memotong steak-nya.
“Aku mau bikin unit sosial baru di perusahaan. Fokus ke edukasi buat anak-anak di pelosok,” jawab Arnold mantap.
“Karena aku percaya, kesempatan itu mahal. Aku sudah dapat banyak, sekarang saatnya berbagi.”
Marsha mengangguk kagum. “Kamu bukan cuma pintar, tapi juga punya jiwa sosial yang tinggi. Aku semakin kagum.”
Arnold tersenyum,
“Aku juga kagum sama kamu. Kamu tahu apa yang kamu mau, kamu berdiri di atas kaki sendiri, bahkan di perusahaan keluarga. Itu nggak mudah.”
Malam pun semakin larut. Angin rooftop berhembus lembut. Mereka kini berjalan berdampingan ke area balkon restoran, melihat-lihat lampu kota.
Arnold lalu berkata,
“Marsha …”
“Iya?”
“Kalau suatu hari nanti aku ingin lebih serius. Apakah kamu mau?”
Marsha memandangnya, matanya lembut.
“Kalau itu kamu, aku pasti mau.”
Arnold tersenyum.
“Saat ini adalah malam paling indah buatku.”
Marsha membalas senyumnya. “Dan buatku juga.”
Di bawah cahaya temaram Kota Jakarta, dua hati yang pernah berpapasan di masa kecil kini kembali bertaut. Bukan karena perjodohan semata, tapi karena cinta yang tumbuh alami, dan mungkin. sudah ditakdirkan sejak dulu.
