BAB. 4 Perbincangan Serius Keluarga Marsha
Senin sore itu, langit di Kawasan Gading Serpong mulai meredup, menyisakan rona jingga yang lembut menyinari pepohonan di halaman rumah mewah milik Keluarga Eben. Sebuah mobil SUV putih berhenti perlahan di depan gerbang rumah, dan dari dalamnya keluar seorang wanita muda dengan penampilan elegan namun terlihat lelah.
“Akhirnya, aku sampai juga di rumah. Duh, capeknya!” keluhnya.
Marsha Livia, gadis cantik yang berusia dua puluh lima tahun, sedang mengenakan blazer abu muda dengan celana bahan warna krem. Wajahnya cantik meski sedikit lelah, namun gadis itu maklum, hari Senin memang selalu padat, apalagi di dunia desain interior yang penuh revisi mendadak dan klien perfeksionis.
Begitu langkah kakinya menyentuh teras, pintu rumah langsung terbuka.
“Marsha Sayang, akhirnya kamu pulang juga, Nak,” sambut Nyonya Bertha, Sang ibu dengan senyum hangat di wajahnya.
Wanita cantik itu mengenakan daster batik lembut dan sandal rumah, terlihat nyaman dan keibuan.
“Maaf Mami, tadi sempat ada rapat tambahan di site project yang di Senayan,” jawab Marsha sambil mencium pipi ibunya dengan lembut.
Dari dalam ruang keluarga, terdengar suara TV yang menyala. Tuan Eben, ayah Marsha, duduk santai di sofa besar dengan tangan memegang remote.
“Pulang juga akhirnya gadis pekerja keras kita,” ucap Tuan Eben sambil tersenyum.
“Lancar kerjaannya, Sha?”
“Lancar, Pi. Cuma ya itu ... klien nggak bisa tenang kalau belum gonta-ganti layout lima kali,” jawab Marsha sambil tersenyum tipis.
Nyonya Bertha menggamit tangan putrinya.
“Sha, kamu mandi dulu, ya. Bersihin badan. Setelah itu Mami sama Papi mau ngobrol sedikit denganmu.”
Marsha mengerutkan dahi, sedikit heran dengan nada serius ibunya.
“Ngobrol seriuskah?” tanya lagi.
“Yap, serius banget!” Kali ini Papi Eben yang angkat bicara.
Tentang apa sih, Mi?” Marsha ternyata sangat penasaran.
“Nanti saja deh, setelah kamu selesai mandi dan lebih segar. Pasti kamu capek, kan?” jawab ibunya, masih dengan senyum yang penuh arti.
“Hmm ... baiklah. Pi, Mi, aku mandi dulu,” sahut Marsha dengan nada penasaran.
Gadis cantik itu pun lalu naik ke lantai atas menuju kamarnya yang luas dan modern, dominan warna krem dan putih, dengan sentuhan dekorasi elegan hasil desainnya sendiri.
Begitu memasuki kamar, Marsha menjatuhkan tas kerja ke sofa kecil di sudut ruangan, melepas sepatu high heels-nya, lalu merebahkan diri di atas tempat tidur empuk dengan selimut putih bersih.
“Huh! Capeknya aku hari ini! Tapi apa ya, yang mau Papi dan Mami omongin ke aku?” gumamnya sambil menatap langit-langit kamarnya.
“Nggak biasanya Mami dan Papi kelihatan setegas dan seserius itu.”
Marsha menghela napas panjang. Lalu bangkit perlahan dan berjalan menuju kamar mandi pribadinya. Bathtub berbentuk oval di pojok ruangan itu tampak mengundangnya untuk segera masuk. Dia membuka kran air hangat, lalu menuangkan sedikit sabun mandi cair aroma rosemary favoritnya. Busa perlahan memenuhi bathtub.
Setelah melepas pakaian kerja dan mengenakan handuk, Marsha pun masuk dan berendam. Air hangat segera melingkupi tubuhnya, memberi sensasi relaksasi yang sangat dibutuhkan setelah hari panjang.
“Apakah Mami dan Papi mau ngomongin soal perusahaan?” pikirnya.
“Tapi kayaknya nggak, deh. Nada suara Mami tadi … lebih kayak, personal?”
Marsha memejamkan mata sejenak, menikmati harum rosemary dan kehangatan air yang menenangkan. Namun pikirannya terus bertanya-tanya.
“Masa ... soal jodoh?” gumamnya tiba-tiba, dan Marsha tertawa sendiri.
“Ha-ha-ha, nggak mungkin. Mereka tahu aku masih sibuk kerja. Lagian aku kan belum cerita siapa pun yang lagi dekat denganku. Eh, emang nggak ada sih.”
Setelah sekitar dua puluh menit berendam, Marsha pun bangkit dari bathtub dan mengeringkan tubuhnya. Gadis itu pun mengenakan piyama satin berwarna biru muda dan mengikat rambutnya dengan karet kecil. Saat dia keluar dari kamar mandi, aroma rosemary dari tubuhnya tercium samar. Marsha benar-benar merasa segar sekarang.
Tak lama kemudian, suara lembut ibunya terdengar dari lantai bawah.
“Sha, kalau kamu sudah siap, Mandi turun ya, Nak. Papi sudah nunggu di ruang keluarga dari tadi.”
“Iya, Mi!” sahut Marsha sambil mengambil ponselnya dari atas meja.
Dia pun melangkah pelan menuruni tangga, menyusuri koridor yang dihiasi foto-foto masa kecilnya. Di ruang keluarga, Tuan Eben duduk bersandar di kursi favoritnya sambil meneguk teh hangat, sementara Nyonya Bertha sudah duduk di sofa panjang, mempersilakan putrinya duduk di antara mereka.
Marsha duduk perlahan, memperhatikan wajah kedua orang tuanya yang tampak serius tapi penuh kasih.
“Jadi... ini tentang apa, Mi, Pi?” tanyanya lembut.
Nyonya Bertha saling pandang dengan suaminya, lalu mulai berbicara.
“Sha … Mami sama Papi tahu kamu lagi sibuk banget dengan pekerjaan. Kami bangga banget sama kamu, bisa memimpin tim desain interior di perusahaan keluarga dan punya klien besar. Tapi, ada hal lain yang juga penting.”
Marsha mengangguk pelan. “Aku ngerti, Mi … tapi maksudnya apa?”
Tuan Eben angkat bicara. “Kami cuma ingin kamu juga punya kehidupan pribadi yang bahagia, Nak. Sekarang Zera dan Mary, dua teman kamu itu sudah pada menikah, kan? Mami dan Papi cuma khawatir kamu terlalu fokus kerja sampai lupa membangun sebuah hubungan.”
Marsha tertawa pelan, meski agak canggung.
“He-he-he. Memangnya Mami sama Papi tahu aku jomlo?”
“Kami tahu banget,” jawab Nyonya Bertha sambil tersenyum.
“Makanya, Mami mau bicara soal sesuatu yang penting. Tapi tolong jangan salah sangka dulu, ya.”
Marsha menegakkan tubuhnya. “Apa itu, Mi?”
“Kemarin Mami ketemu sama sahabat Mami waktu kuliah dulu, Tante Dina. Putranya, Arnold Zafazel. Kamu mungkin pernah dengar namanya.”
“Arnold?” Marsha memutar ingatan.
“CEO AZ Corp?”
“Iya,” jawab Tuan Eben.
“Papi dan Mami kenal baik dengan keluarganya. Anaknya sopan, cerdas, dan sukses. Kedua orang tuanya juga bilang Arnold masih single. Nah, mereka ingin mengenalkan kalian berdua.”
Marsha membelalak kecil. “Tunggu, ini maksudnya, dijodohin?”
“Bukan langsung nikah, Sayang,” ucap Nyonya Bertha cepat-cepat.
“Cuma dikenalin dulu. Ketemu, ngobrol, lihat apakah cocok. Nggak ada paksaan. Tapi siapa tahu ini jalan yang Tuhan buka untuk kalian berdua.”
Marsha terdiam beberapa detik. Dia tidak menolak ide itu, hanya saja kaget karena tiba-tiba.
“Aku nggak keberatan dikenalin dengan siapapun, Mi, Pi, asalkan nggak buru-buru. Aku butuh waktu untuk mengenal seseorang.”
“Itu juga yang diminta Arnold,” ucap Tuan Eben.
“Dia juga maunya kenalan dulu, nggak langsung serius.”
Marsha mengangguk pelan. “Baiklah, kalau begitu aku setuju. Siapa tahu memang ini jalanku.”
Nyonya Bertha langsung memeluk putrinya dengan bahagia.
“Mami senang kamu mau coba, Sayang. Nanti kita atur pertemuannya, ya?”
Marsha tersenyum tipis.
“Okay, Mi. Tapi please ... jangan langsung pesenin gedung resepsi, ya!” candanya.
Tuan Eben tertawa.
“Ha-ha-ha. Tenang aja, Sayang. Kita orang tua, bukan agen wedding planner.”
“Ha-ha-ha!” Marsha dan ibunya ikut tertawa.
Malam itu, di rumah hangat yang penuh cinta, sebuah babak baru dalam hidup Marsha Livia mulai disiapkan, dengan langkah pelan, tapi pasti.
