Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB. 3 Janji Temu Dengan ARJOFA

Setelah perawatan selesai, kedua ibu itu pun keluar dari salon dengan langkah ringan dan hati penuh antusiasme.

“Ber, minggu depan aku ada jadwal arisan di rumah. Bagaimana kalau malam harinya sekalian kita ajak mereka makan malam?” tanya Nyonya Dina saat keduanya sedang menunggu sopir masing-masing.

“Itu ide bagus. Aku akan pastikan Marsha luang malam itu,” jawab Nyonya Bertha sambil mengangguk.

Keduanya pun berpisah dengan pelukan hangat dan senyum lebar. Langit Jakarta masih cerah saat itu, seakan-akan turut menyambut awal kisah baru yang mungkin akan segera berkembang menjadi cerita cinta antara Arnold Zafazel dan Marsha Livia, dua insan yang belum pernah bertemu, tapi kini tengah dipersatukan oleh harapan tulus dari dua ibu yang saling percaya.

Pagi Sabtu yang cerah menyinari langit Jakarta Selatan. Udara terasa segar dengan angin lembut yang mengusap dedaunan. Di kediaman Zafazel yang megah, Arnold baru saja menghabiskan sarapan paginya, diantaranya omelet keju, roti panggang, dan secangkir espresso hangat.

Saat ini Arnold mengenakan polo shirt biru dongker dan celana khaki, tampak santai namun tetap elegan. Sepasang sepatu golf putih telah menunggu di dekat pintu.

“Tuan Muda Arnold, mobilnya sudah siap,” ujar salah satu staf rumah dengan sopan.

“Terima kasih,” jawab Arnold singkat sambil mengenakan jam tangan dan mengambil stik golfnya.

Hari ini sang CEO punya janji main golf dengan dua sahabat sekaligus kolega bisnisnya yaitu Joseph dan Farez. Sejak SMA mereka terkenal dengan julukan ARJOFA. Kedua pria itu sudah seperti saudara sendiri. Mereka sama-sama CEO muda yang meniti karier dari bawah, kini memimpin perusahaan masing-masing dengan sukses. Lapangan golf tempat ketiganya bertemu pun bukan sembarangan yaitu sebuah club eksklusif di kawasan elit Jakarta Selatan.

Setibanya di lapangan, Arnold disambut hangat oleh Joseph dan Farez.

“Bro! Akhirnya Lo muncul juga!” seru Farez sambil menjabat tangan Arnold erat.

“He-he-he. Gue kira Lo lupa janji, Nold,” tambah Joseph sambil tertawa pelan.

Arnold membalas tawa mereka.

“Gue bukan tipe yang suka kabur dari pertandingan, apalagi kalau lawannya dua bapak-bapak muda seperti kalian.”

“Makanya Lo buruan menikah biar tahu rasanya menjadi bapak-bapak muda!” timpal Farez.

“Ha-ha-ha!”

Mereka pun tertawa bersama, lalu bersiap memulai permainan. Satu per satu, ketiganya mengayunkan stik dengan penuh percaya diri. Bola putih meluncur mulus menembus angin, mendarat sempurna di atas rumput hijau yang terawat. Arnold, seperti biasa, tampil presisi. Joseph menunjukkan teknik yang stabil, sementara Farez tampil agresif namun akurat.

“Lo masih jago aja, Nold,” komentar Joseph sambil mengangguk kagum setelah melihat Arnold berhasil memasukkan bola dalam satu pukulan dari jarak jauh.

“Ha-ha-ha. Kebanyakan latihan karena nggak ada pacar, ya?” celetuk Farez sambil tertawa.

Arnold hanya mengangkat alis dan tersenyum tipis.

Setelah sekitar dua jam bermain, mereka pun duduk santai di kursi kayu rotan yang menghadap ke danau kecil di tengah lapangan. Pelayan datang menyuguhkan air kelapa dingin dan sandwich sebagai camilan ringan.

“Jadi gimana, Nold, Lo sekarang lagi ngurusin proyek ekspansi ke Singapura, ya?” tanya Joseph sambil menyeruput minumannya.

“Iya, masih tahap survei lahan dan negosiasi vendor. Targetnya kuartal ketiga tahun ini udah mulai operasional,” jawab Arnold serius.

“Keren. Lo satu-satunya dari kita yang berani buka cabang di luar negeri duluan,” tambah Farez bangga.

“Gue sama Joseph masih fokus di dalam negeri dulu.”

“Peluang di sana cukup terbuka sih,” balas Arnold.

“Tapi tantangannya juga nggak main-main.”

Obrolan tentang bisnis mengalir lancar selama beberapa menit, sebelum Joseph menatap Arnold dengan senyum menggoda.

“Tapi Nold, ngomong-ngomong soal tantangan, kapan Lo mau menantang diri lo buat nikah?”

Farez langsung tertawa.

“Ha-ha-ha. Nah! Ini pertanyaan yang dari tadi gue tahan-tahan!”

Arnold menghela napas dan menyandarkan punggung.

“Dari kalian berdua, nggak mungkin pertanyaan itu nggak keluar.”

“Bagaimana nggak? Gue udah sah jadi suami Mary, yang udah gue pacarin sejak SMA,” ucap Joseph bangga.

“Farez juga udah nikah sama Zera, gadis idamannya dari masa sekolah.”

Arnold tersenyum tipis.

“Gue tahu, kalian berdua udah menang start. Dan gue senang lihat pernikahan kalian bahagia. Tapi gue ….”

“Lo kenapa?” Farez mencondongkan tubuh.

“Jangan bilang Lo belum ada calon?”

“Bener. Belum ada. Tapi minggu ini, nyokap sama bokap gue mengucapkan ide brilian mereka,” seru Arnold sambil menekankan nada sinis di kata brilian.

Joseph tertawa.

“Let me guess, perjodohan?”

Arnold mengangguk.

“Tepat. Gue akan dikenalin sama anak sahabat nyokap, namanya Marsha Livia.”

Farez mengangkat alis.

“Nama yang bagus. Lo udah pernah ketemu?”

“Belum. Gue cuma dengar katanya dia kerja di dunia korporat juga. Sama-sama sibuk, sama-sama jomlo,” jawab Arnold sambil memutar gelas air kelapanya.

“Lo okay dengan ide itu?” tanya Joseph hati-hati.

Arnold mengangguk pelan.

“Awalnya gue agak risih, jujur. Tapi pas gue pikir-pikir lagi … ya mungkin nggak ada salahnya nyoba. Toh, kenalan doang dulu. Bukan langsung dijodohin ke altar.”

“Setuju,” sahut Farez.

“Gue juga kenal beberapa pasangan yang awalnya dari perjodohan. Malah lebih harmonis daripada yang pacaran bertahun-tahun.”

“Lagipula, Lo juga bukan tipe cowok yang bisa kenalan sembarangan. Waktu Lo habis buat kerja dan keluarga,” tambah Joseph.

“Kadang orang tua itu tahu kita, lebih dari yang kita kira.”

Arnold terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis.

“Iya, mungkin Lo bener. Bisa saja ini waktunya gue buka sedikit pintu buat hal yang baru.”

Farez menepuk bahu Arnold.

“That’s the spirit! Siapa tahu Marsha itu soulmate Lo yang udah ditungguin dari dulu.”

“Minggu depan gue bakal diajak makan malam bareng dia dan orang tuanya. Nyokap gue yang atur semuanya,” ujar Arnold.

“Wah… semangat ya, Bro. Jangan lupa pake parfum terbaik Lo,” celetuk Joseph sambil tertawa.

“Dan jangan kaku. Tetap jadi diri Lo sendiri,” tambah Farez.

Arnold mengangguk sambil tersenyum lega. Obrolan mereka perlahan berubah menjadi candaan-candaan ringan dan nostalgia masa kuliah. Namun, di dalam hati Arnold, terselip secercah harapan. Mungkin, hanya mungkin, pertemuan dengan Marsha Livia bisa menjadi babak baru dalam hidupnya, yang tak hanya dipenuhi target dan laporan, tapi juga cerita cinta yang selama ini belum dimulai.

“Marsha Livia, bagaimanakah sosokmu sekarang? Apakah kamu masih ingat denganku?” seru Arnold dalam hatinya.

Ternyata oh ternyata, Arnold telah menyelidiki Marsha secara diam-diam untuk memastikan sesuatu hal. Dan ternyata, ya benar. Gadis itu memang temannya saat di taman kanak-kanak dulu. Gadis cilik yang pernah bertahta di hati Arnold kecil yang selama ini dicari-cari olehnya.

Pria itu benar-benar tak menyangka jika sang ibu malah berpikir untuk menjodohkannya dengan cinta masa kecilnya, yang sejak dulu masih tertinggal dalam hatinya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel