Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5: Pulang di Waktu yang Tidak Tepat

Suara pintu depan berdecit, memecah keheningan malam yang pekat, diikuti oleh langkah kaki yang terhuyung dan seretan sepatu yang berat.

"Ma... Mama, aku pulang," ucap Bella, suaranya sedikit serak dan berat, bergema di ruang tamu yang gelap, seperti suara dari dasar sumur.

Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, mencoba mencari-cari keberadaan ibunya. Pandangannya menyapu seisi ruangan, matanya yang setengah terpejam mencoba menembus kegelapan yang pekat.

Di luar, suara jangkrik yang tadinya riuh seolah ikut berhenti sejenak, ikut merasakan ketegangan yang tiba-tiba menyelimuti rumah itu, digantikan oleh keheningan yang menyesakkan.

Di dalam kamar, Arga dan Fiona langsung tersentak kaget, seperti dua kelinci yang tertangkap basah di sarangnya. Mereka terperanjat dari kasur, jantung mereka berdebar kencang seolah ingin meloncat keluar dari dada.

"Be-Bella?" ucap mereka berdua bersamaan, suaranya tercekat di tenggorokan, terbungkus kepanikan yang luar biasa.

Kepanikan itu merayap di wajah mereka seperti kabut tebal yang tiba-tiba datang, menutupi akal sehat mereka. Dengan gerakan panik dan terburu-buru, tangan mereka saling beradu saat mencoba membenarkan kembali pakaian mereka yang berantakan, seolah-olah waktu sedang berlari kencang.

Jantung Arga berdegup kencang, suaranya terdengar seperti drum yang ditabuh cepat, sedangkan tangan Fiona gemetar hebat saat mencoba mengaitkan kancing bra nya, jari-jarinya terasa kaku dan mati rasa. Sebuah bencana seolah sudah di depan mata, sebuah bom waktu yang siap meledak.

"Ma, apakah Mama sudah tidur?" teriak Bella dengan suara yang lebih pelan, seolah takut mengganggu, meskipun ia sendiri sedang terhuyung-huyung.

"Putri cantikmu sudah kembali!" Suaranya terdengar ceria, namun mengandung sedikit nada lelah dan kesepian yang dalam. Ia berjalan perlahan, menyentuh dinding untuk menjaga keseimbangan.

Di kamar, Arga dan Fiona saling bertukar pandang penuh kekhawatiran. Mata Arga memancarkan ketakutan murni, sementara mata Fiona menunjukkan kebingungan dan keputusasaan.

"Gimana ini, Tante?" bisik Arga, suaranya hampir tidak terdengar, hanya hembusan napas.

"Dia udah di sini. Kita ketahuan." Wajahnya pucat pasi, seperti mayat hidup.

Fiona menggelengkan kepala, tangannya masih sibuk merapikan pakaian, berusaha keras terlihat tenang.

"Ssst! Jangan panik, Arga. Jangan sampai dia curiga. Kita harus bersikap normal," bisik Fiona, mencoba menenangkan diri, meskipun suaranya sendiri bergetar hebat, dan napasnya memburu tak beraturan. Dia berusaha keras mengendalikan ekspresi wajahnya agar tidak menunjukkan apa pun.

"Kenapa sepi sekali?" gumam Bella lirih pada dirinya sendiri. Ia berhenti sejenak di tengah ruang tamu, mencium aroma yang tidak biasa, aroma parfum ibunya bercampur dengan sesuatu yang lain, sesuatu yang asing.

Firasat aneh merayap di benaknya. Ia melangkah perlahan menuju kamar mamanya, namun perhatiannya teralihkan. Lampu-lampu di rumah mati total, namun ada sedikit cahaya yang berasal dari celah pintu kamar Arga.

Cahaya itu tampak begitu kontras dengan kegelapan di sekitarnya, seolah menjadi petunjuk bagi Bella, sebuah tanda tanya besar yang muncul di tengah kegelapan.

"Atau jangan-jangan..." Sebuah kecurigaan tiba-tiba muncul di benaknya, melahirkan sebuah skenario yang mengerikan, skenario yang paling ia takuti.

Bella mulai melangkah ke arah kamar Arga, setiap langkahnya terasa berat, seolah ia sedang berjalan di atas pecahan kaca yang siap melukai kakinya. Ia memaksa dirinya untuk berjalan lebih cepat, ingin segera membuktikan atau menyanggah kecurigaannya.

DUG DUG DUG!

Suara langkah kaki Bella yang semakin mendekat terdengar nyaring di lantai, mengikis sisa-sisa ketenangan yang coba dipertahankan oleh Arga dan Fiona. Suara itu seperti ketukan palu yang memicu kepanikan mereka. Kepanikan di wajah mereka semakin memuncak, bagai gelombang pasang yang siap menerjang.

Mereka masih berjuang membenarkan pakaian masing-masing. Arga dengan panik menarik kausnya, mencoba menutupi tubuhnya secepat mungkin, sementara Fiona mencoba menutupi lehernya yang mungkin terdapat bekas tanda, mengusapnya dengan terburu-buru.

Detik-detik itu terasa seperti jam, setiap detik terasa sangat lama. Mereka seperti dua penjahat yang tertangkap basah di lokasi kejadian, dengan bukti yang masih ada di sekitar mereka.

CKLEKK!

Pintu kamar terbuka dengan suara yang tajam, seperti suara pisau yang mengiris keheningan.

Bella berdiri di ambang pintu, matanya yang tajam menatap lurus ke arah Arga, seolah menusuk menembus kerongkongan, mengunci semua kata yang hendak diucapkannya.

Ada keheningan yang mencekam, hanya suara napas mereka yang terdengar, napas yang terengah-engah dan tidak teratur.

"Bella! Ya Tuhan, Bella, kamu sudah kembali? Kenapa tidak memberitahu Mama?" ucap Fiona, berusaha keras terlihat tenang dan tersenyum.

meski suaranya sedikit bergetar, terdengar sangat tidak meyakinkan. Ia mencoba menyembunyikan tangannya di belakang punggungnya, dan menghindari tatapan mata putrinya.

"Kak Bella, apa yang Kakak lakukan di sini? Kenapa kakak tidak mengetuk pintu dulu?" sahut Arga, mencoba mengalihkan perhatian dan terdengar santai, meski nada bicaranya sedikit terlalu cepat, menunjukkan kegugupan yang luar biasa. Ia menghindari tatapan mata Bella, menatap ke arah lantai.

"Apa aku perlu izin masuk ke kamarku sendiri, Arga?" balas Bella, tatapannya masih menusuk tajam ke arah Arga, seperti sebuah pertanyaan yang tak bisa dijawab.

Kemudian, pandangannya beralih ke Fiona, mengunci tatapan mereka, tatapan yang penuh dengan pertanyaan dan tuntutan.

"Ma, apa yang Mama lakukan di sini?" tanya Bella, nada suaranya menuntut penjelasan, nada yang tidak bisa dibantah.

Ia menunggu jawaban, tidak akan melepaskan mereka begitu saja. Udara di dalam ruangan terasa tegang, penuh dengan pertanyaan yang tak terucap.

Arga melihat kesempatan untuk bertindak, sebuah jalan keluar yang tiba-tiba muncul di benaknya.

"Ah... tadi Tante meminta aku untuk memijat telapak kakinya," Arga buru-buru menyela, tangannya tiba-tiba sudah memegang sebuah botol kecil. "Dia seharian di kedai Kak, kakinya sedikit agak pegal. Aku kasihan melihatnya."

Arga menunjukkan botol itu kepada Bella, isinya adalah minyak pijat oles. Dia berharap aksinya ini terlihat meyakinkan, seperti seorang pahlawan yang datang dengan solusi.

Mata Bella menyipit. "Apa kamu tidak bohong, Arga?" ucap Bella, suaranya rendah dan penuh selidik.

Ia melangkah masuk lebih dalam, membuat Arga mundur selangkah tanpa sadar, seperti seekor mangsa yang ketakutan.

"Be-benar, Kak! Ta-tanya saja sama Tante. Aku gak bohong," ucap Arga dengan sedikit gugup, tangannya yang memegang botol minyak pijat itu sedikit gemetar, menumpahkan sedikit isinya di lantai.

Bella menatap Arga lekat-lekat, menyelidiki setiap ekspresi di wajahnya. Lalu, senyum tipis mengembang di bibirnya.

"Baiklah, aku percaya. Kamu sudah tumbuh jadi lebih baik, tahu cara merawat orang tua sekarang," ucap Bella, nada bicaranya melembut, seolah ia telah menemukan jawaban yang memuaskan.

Bella mengulurkan tangannya dan menepuk punggung Arga cukup keras, sebuah tepukan yang mengandung kelegaan dan sedikit rasa terima kasih.

"Aww... Ah, siap, Kak! Terima kasih," jawab Arga, sedikit meringis.

Ia menghela napas lega, seolah baru saja lolos dari maut. Dadanya naik turun, berusaha menenangkan detak jantungnya yang masih kencang.

Bella kemudian mendekati Fiona. Tanpa banyak bicara, ia langsung memeluk ibunya erat-erat, seolah tidak peduli dengan apa yang terjadi sebelumnya.

"Kamu harus menjaga Mama saat aku pergi, Arga. Mama sering cerita betapa kesepiannya dia," ucap Bella, suaranya melembut, sambil mengusap punggung Fiona.

"Bukankah begitu, Ma? Mama sering merasa sepi, kan?" Bella menoleh ke arah Fiona, mencari konfirmasi.

Fiona mengangguk pelan, air mata haru bercampur lega tiba-tiba menetes dari matanya, membasahi pipinya. Ia membalas pelukan Bella dengan erat.

Saat Bella memeluknya, Fiona mencium bau alkohol yang pekat dari pakaian dan rambut Bella. Aroma itu menusuk hidungnya.

"Bella, apa kamu mabuk?" tanya Fiona, suaranya terdengar khawatir, menyembunyikan kelegaan di balik kekhawatiran itu.

Bella terkekeh pelan, tawa yang sedikit serak. "Iya, Ma, cuma sedikit Kok. Aku datang ke sini hanya untuk tidur dengan Mama." Pelukan Bella semakin erat, seolah tak ingin melepaskan, seperti seorang anak kecil yang mencari perlindungan. "Aku kangen tidur sambil dipeluk Mama. Sudah lama sekali kita tidak tidur bersama."

Fiona membalas pelukan Bella, hatinya dipenuhi perasaan campur aduk. Ia tahu ada hal lain yang terjadi di balik kedatangan Bella, namun kelegaan karena tidak ketahuan lebih dominan.

"Ayo kita ke kamar Mama, kita tidur," ucap Fiona. Ia menggandeng tangan Bella, menuntunnya keluar dari kamar Arga dan menuju kamar mereka. Mereka berjalan perlahan, meninggalkan Arga sendirian di kamar.

Setelah mereka pergi, Arga menghela napas panjang, napas yang terpendam sejak lama.

"Hhhh... untung gak ketahuan," ucapnya lega.

Ia menyeka keringat dingin di dahinya. Ia berjalan ke tempat tidur dan duduk di pinggirannya.

"Kak Bella ketika mabuk sedikit berbeda, sangat manis." Sebuah senyum tipis muncul di bibirnya saat mengingat bagaimana Bella bersikap, jauh dari kesan tegas yang biasa ia lihat.

Arga menoleh ke arah tempat tidur, pandangannya jatuh pada noda yang terlihat samar di seprai putih, sebuah noda yang tidak bisa dihilangkan dengan mudah.

Jantungnya kembali berdegup kencang, kali ini karena ketakutan yang berbeda. "Semoga Kak Bella tidak menyadarinya..." gumamnya, matanya menatap nanar pada noda sperma yang akan menjadi bukti jika seseorang lebih teliti.

Kecemasan baru itu melingkupi dirinya, memeluknya dengan erat. Malam itu masih jauh dari kata berakhir, dan Arga tahu, satu kesalahan kecil bisa menghancurkan segalanya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel