Bab 4: Gairah Yang Tak Terbendung
Keesokan harinya, Arga baru pulang dari kuliah, ia membuka pintu rumah. Hawa sepi langsung menyambutnya.
"Aku pulang," ucapnya.
suaranya menggema di ruang tamu yang lengang. Namun, tidak ada jawaban. Arga mengerutkan dahi, merasa heran.
"Tante, apa Tante di rumah?" ucapnya pelan, berharap mendapat sahutan, tapi hanya keheningan yang membalas.
Saat Arga melangkah menuju kamarnya, ia mendengar suara aneh dari balik pintu kamar Fiona. Suara itu berirama, lembut, namun terdengar sangat intim. Ada desah napas tertahan yang samar yang hanya bisa didengar dengan telinga yang peka.
"Suara apa itu? Terdengar tidak asing," ucapnya dalam hati, langkahnya melambat. Rasa penasaran menguasainya, sebuah dorongan tak terjelaskan yang menariknya mendekat.
Dengan perlahan, Arga mendekat ke kamar Fiona. Jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul dadanya. Tangannya meraih kenop pintu dan memutarnya perlahan.
"Tante, apa Tante sak—" ucapannya terhenti seketika, matanya melebar tak percaya dengan apa yang ia lihat. Pemandangan di depannya seperti mimpi yang tak pernah ia bayangkan.
Fiona yang sedang menikmati momen intimnya, terkejut melihat Arga di ambang pintu. Sebuah getaran kuat menyelimuti dirinya, bukan dari vibrator, melainkan dari rasa kaget yang luar biasa.
"A-Arga!" ucapnya dengan nada tinggi, kikuk dan panik.
Ia segera berusaha menyembunyikan vibrator yang ia pegang. Wajahnya memerah, ia segera menarik daster tipisnya yang tersingkap hingga ke atas paha, menutupi tubuhnya secepat kilat.
"Tante," ucap Arga, suaranya tercekat oleh pemandangan di depannya. Ia melangkah perlahan, mendekat ke arah ranjang Fiona, matanya terpaku pada sosok Fiona.
Jantungnya berdebar semakin cepat, bukan karena terkejut, melainkan karena gejolak lain yang mulai merayap naik.
"Arga, ini..." ucapnya tergagap, berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan situasi yang tak terjelaskan.
"Ini bukan seperti yang kamu lihat." Fiona menunduk, tidak berani menatap mata Arga. Wajahnya memerah padam, merasakan panas dari rasa malu yang membanjiri dirinya.
"Aku tahu Tante," ucap Arga, suaranya serak, penuh makna yang dalam. Ia kini sudah naik ke ranjang Fiona, duduk di hadapannya.
"A-apa maksudmu dengan kamu tahu?" ucap Fiona lirih, bingung dengan respons Arga. Ia mengira Arga akan marah atau lari, tapi responsnya justru membuat situasi semakin tidak terkendali.
"Aku bukan anak kecil lagi, Tante," ucap Arga, suaranya pelan namun penuh makna. Tangannya terulur, perlahan tapi pasti mengelus paha Fiona, membuatnya menggeliat tak nyaman.
"Ar-Arga, tidak, tunggu..." ucapnya serak, napasnya memburu. Perasaan malu dan gairah kini beradu di dalam dirinya.
Tangan Arga sudah mengelus paha Fiona. Elusannya mulai naik, perlahan namun pasti, menuju area yang lebih sensitif.
"Mmmhh...." Desahan lirih itu keluar begitu saja, tanpa bisa ia tahan.
"Tante," ucap Arga lagi, suaranya semakin serak. Tangannya kini mencengkeram paha Fiona.
"Nngghh..." Sentuhan itu terasa seperti api, membakar seluruh tubuh Fiona dan memicu gelombang sensasi yang tak terkendali.
"Jika dia terus bergerak, ajan jadi masalah besar," ucap Fiona dalam hati.
Ia menggigit bibir bawahnya, mukanya sudah memerah. Ia ingin menghentikan Arga, tapi tubuhnya justru mengkhianatinya, menginginkan sentuhan itu lebih dalam.
Ketika tangan Arga hampir menyentuh area intim Fiona, tiba-tiba ponselnya berdering.
"Kring kring!" Suara dering itu memecah keheningan, seolah menyadarkan Arga dari lamunannya.
"Ma-maafkan aku, Tante," ucap Arga gagap. Ia segera bangkit dan buru-buru keluar dari kamar Fiona, seolah melarikan diri dari sebuah dosa.
Fiona mematung di ranjangnya, napasnya masih terengah-engah. Ia menatap pintu yang tertutup rapat, merasakan hawa dingin yang tiba-tiba menyelimuti.
"Ini sudah terlambat, Arga sudah melihatku," ucapnya lirih. Rasa malu dan gairah bercampur aduk, menciptakan sensasi yang membingungkan.
-
Arga kini berbaring di kamarnya. Dia hanya menggunakan celana kolor. Ia tak bisa tidur, pikirannya terus berputar, mengingat kembali apa yang ia lihat. Gambaran Fiona, desahannya, dan sentuhan yang hampir ia rasakan, terus berputar di kepalanya.
Tiba-tiba Suara ketukan pintu terdengar.
"Arga, apa kamu sudah tidur?" ucap Fiona pelan. Tanpa menunggu jawaban, ia membuka pintu kamar Arga.
"Ahh, tidak Tante, aku belum tidur," ucap Arga kikuk, langsung duduk di ranjangnya. Ia berusaha menyembunyikan kegelisahannya.
Fiona masuk. Ia membeku sejenak, terpesona oleh tubuh atletis Arga. Otot-ototnya terlihat begitu sempurna. Ia melangkah perlahan dan duduk di pinggir ranjang Arga, menciptakan ketegangan yang begitu kentara.
"Arga, tentang kejadian tadi, ketika kamu masuk kamar, Tante merasa kram ringan jadi hanya sedang memijat saja," ucapnya berbohong, mencoba menutupi rasa malunya dengan alasan yang rapuh.
"Kalau begitu biar Arga bantu Tante," Tanpa membuang waktu, Arga dengan cepat menarik tubuh Fiona dari belakang. Punggungnya menyentuh dada Arga.
tangannyanya bergerak meremas payudara Fiona dengan intens. gerakan lambat namun penuh makna. Kain daster tipis yang dikenakan Fiona seolah tidak ada artinya. Sensasi hangat dan lembut dari payudara Fiona terasa begitu nyata di telapak tangannya.
Arga menekan sedikit lebih dalam, merasakan gundukan padat yang berisi, lalu mengelusnya memutar, dari sisi samping ke tengah, dari atas ke bawah. Setiap sentuhan yang diberikan Arga seolah memiliki kekuatan magis, membangkitkan gelombang sensasi yang menjalar ke seluruh tubuh Fiona.
Jari-jemarinya memijat lembut, kadang menggeser daster untuk mendapatkan sentuhan yang lebih intim. Fiona hanya bisa menahan napas, berusaha keras menyembunyikan erangan kenikmatan yang mendesak keluar dari bibirnya.
Ia memejamkan mata, membiarkan tubuhnya sepenuhnya dikuasai oleh sensasi yang ditimbulkan oleh sentuhan Arga. Jempol Arga mengusap-usap putingnya yang sudah menegang di balik kain, menciptakan percikan gairah yang semakin tak terkendali.
Sambil terus meremas payudara Fiona, Arga mendekatkan wajahnya ke leher Fiona. Bibirnya yang basah menelusuri kulit leher Fiona yang halus, dari belakang telinga hingga ke bahu.
Ciuman-ciuman ringan itu bagai tetesan air yang jatuh ke gurun, membuat seluruh tubuh Fiona haus akan lebih banyak lagi. Arga memberikan kecupan yang lebih dalam, menggigit kecil, dan menjilatnya perlahan. Ia bisa merasakan napas Fiona yang semakin memburu, dan erangan lirih yang keluar dari bibirnya.
"Mmmmhhhh" Suara desahan Fiona yang tertahan dan samar itu bagai melodi terindah bagi Arga. Lidah Arga kini menelusuri sisi leher Fiona, memberikan sensasi yang membuat bulu kuduknya berdiri.
Fiona memiringkan kepalanya, memberikan akses penuh bagi Arga untuk mengeksplorasi lehernya. Tangannya meremas payudara Fiona dengan lebih intens, sementara bibirnya terus menciptakan jejak-jejak hangat di lehernya, membakar hasrat yang tak lagi bisa disembunyikan.
Tangan Arga yang sebelumnya meremas payudara Fiona kini mulai merayap turun, perlahan namun pasti, hingga berhenti di pangkal paha.
"A-Arga" Sentuhan itu membakar kulit Fiona dan memicu gelombang gairah yang tak terbendung. Jemari Arga menelusup masuk ke dalam celah paha Fiona, perlahan menyingkap daster tipisnya.
Jantung Fiona berdebar kencang, Ia menggigit bibir bawahnya, menahan erangan yang ingin keluar dari tenggorokannya.
"Nnghh..." suara lirih itu tetap lolos, sebuah desahan samar yang terdengar seperti rintihan tertahan.
Arga seolah mendengar isyarat, jarinya kini menyentuh area intim Fiona. Fiona menggeliat, tubuhnya merespon sentuhan itu dengan cepat.
Jari-jari Arga bermain di sana, mengusap dan menggerakkan perlahan, menciptakan sensasi yang belum pernah Fiona rasakan sebelumnya.
Ia memejamkan mata, kepalanya bersandar ke bahu Arga, tubuhnya merespon sentuhan Arga yang begitu intim.
"Sshhh... Mmhhh.." desahan itu kembali terdengar, kali ini lebih jelas dan penuh kenikmatan. Fiona tahu ini salah, tapi tubuhnya justru mengkhianatinya, sepenuhnya menyerah pada gelombang sensasi yang diciptakan oleh Arga.
Gelombang sensasi yang tak tertahankan akhirnya memuncak. Fiona memejamkan mata, menggigit bibirnya berusaha mati-matian menahan erangan yang bergejolak di dalam tenggorokannya.
Hanya suara desahan yang teredam yang terdengar, "Nngggmmmhh..." sebuah melodi kenikmatan yang tersembunyi.
Tubuhnya menegang, punggungnya melengkung, "Nngg Aaaahhhh" dan ia merasakan ledakan sensasi Orgasme yang membanjiri dirinya. Fiona terengah-engah, tubuhnya bergetar pelan.
Arga merasakan perubahan itu. Tanpa kata, ia bangkit dari ranjang, membuka celana pendeknya, dan menunjukkan ereksi yang penuh gairah.
"Tante, tolong aku," ucap Arga, suaranya serak dan mendesak.
Fiona menatapnya dengan pandangan campur aduk. Ada rasa malu, rasa bingung, tapi juga sedikit rasa pasrah. "Arga... ini..."
"Aku tidak bisa menahannya lagi, Tante," potong Arga, suaranya terdengar lebih menuntut. "Tolong aku."
Fiona terdiam, menunduk. Ia tahu ia tidak bisa melawan lagi. Dengan tangan bergetar, ia meraih penis Arga. Sentuhan itu terasa hangat, keras, dan penuh hasrat.
Fiona mulai menggerakkan tangannya, naik turun, dengan gerakan yang ragu-ragu.
"Nnghh... ahh... Tante." erangan pertama keluar dari mulut Arga, sebuah desahan kenikmatan yang tidak bisa ia tahan.
Gerakan tangan yang awalnya canggung, namun perlahan menemukan ritme yang pas. Ia mencengkeram erat pangkalnya, lalu menggerakkan tangannya ke atas dan ke bawah, mengikuti irama hasrat yang semakin membara. Gerakannya terasa halus dan mantap.
"Ssshh Uhhh nikmat sekali" desah arga.
Fiona menatap ekspresi wajah Arga, yang kini memejamkan mata, menikmati setiap sentuhan yang diberikan Fiona.
Gerakan tangan Fiona semakin cepat dan tak terduga, seolah ia sepenuhnya menyerahkan diri pada naluri. Ia mengocoknya dengan tekanan yang bervariasi.
Arga merasakan gelombang kenikmatan yang membanjiri dirinya. Suara erangannya menjadi lebih keras, "Nghhh... ahh... Tante"
Gerakan tangan Fiona semakin cepat, dan Arga mendesah semakin dalam, "Tante... lebih cepat... Tante... ya... ahh... Tante Fiona... Tante!"
Hingga akhirnya, Tubuhnya menegang, punggungnya sedikit melengkung, dan ia mendesah lebih keras.
"Nghhh... ahh... ohh... Tante..." Ia tidak lagi bisa menahan suara kenikmatan itu. Wajahnya memerah, otot di lehernya menegang, ia mengepalkan tangan di samping tubuhnya.
Setiap desahan yang keluar, ia menyebut nama Fiona, seolah ingin memastikan bahwa Fiona sadar betapa nikmat sentuhan yang diberikannya.
Dengan tarikan napas terakhir yang panjang dan desahan yang begitu dalam, Arga mencapai puncaknya. "Tante... AAAHHHH"
Ia roboh ke ranjang, terengah-engah, dengan mata terpejam. Fiona menatapnya, dengan perasaan yang campur aduk. Ia telah melewati batas yang tidak pernah ia bayangkan.
