Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6: Birahi Yang Membakar

Langit mendung di atas kota, tapi di dalam studio, suasana terasa panas dan tegang. Kamera di tangan Raka, seorang fotografer kenamaan, sudah diletakkan begitu saja di lantai. Ia menatap asistennya, Bimo, dengan pandangan penuh kekesalan. "Di mana modelnya, Bim? Sudah dua jam! Klien akan marah besar kalau kita tidak mulai sekarang!"

Bimo mengusap keringat di dahinya. "Maaf, Mas Raka. Ponselnya tidak aktif. Saya sudah coba meneleponnya puluhan kali."

"Tidak ada maaf! Cari siapa saja! Siapa pun yang kamu temukan di jalan, kalau dia terlihat bagus, bawa ke sini!" perintah Raka dengan suara meninggi.

Bimo bergegas keluar, matanya menyisir setiap sudut jalanan yang ramai. Pandangannya jatuh pada seorang gadis yang berjalan santai, mengenakan pakaian sederhana. Wajahnya polos, namun memancarkan aura kecantikan alami yang tak bisa diabaikan.

Bimo mendekatinya dengan ragu. "Maaf, permisi," sapanya.

Ratna, menoleh dengan kaget. Ia segera menjaga jarak, merasa waspada terhadap orang asing. "Ya?"

"Saya Bimo, asisten fotografer. Kami butuh model sekarang. Apa kamu mau mencoba?" tanya Bimo tanpa basa-basi.

Ratna mengerutkan dahi. "Model? Saya tidak pernah menjadi model."

"Tidak apa-apa," jawab Bimo cepat. "Mas Raka, fotografernya, sangat berbakat. Kamu hanya perlu berpose saat difoto. Kami akan membayarnya."

Meskipun merasa cemas, ada sesuatu dalam tawaran Bimo yang membuat Ratna tertarik. Ini adalah kesempatan yang tidak datang dua kali. Setelah Bimo menjelaskan bahwa studio tidak jauh dari tempat mereka berdiri, Ratna akhirnya setuju.

Di dalam studio, Ratna merasa canggung. Gaun yang diberikan kepadanya terasa sangat terbuka. Namun, Raka langsung terkesima. "Pose sekarang! Angkat dagumu! Lihat ke arahku!"

Ratna mencoba mengikuti arahan Raka. Awalnya kaku, tapi perlahan ia mulai menemukan kenyamanan di depan kamera. Jepretan kamera terdengar tak henti-hentinya. Raka tersenyum puas.

"Ini bagus. Ini berjalan dengan baik," gumamnya. "Luar biasa. Ini sepuluh kali lebih baik dari model sebelumnya!"

Setelah pemotretan yang melelahkan, Raka mendekati Ratna.

"Kerja bagus. Kita akan istirahat tiga jam, lalu kita lanjut pemotretan selanjutnya. Apa kamu siap?"

Ratna terdiam. Ia teringat toko tempat ia bekerja. "Maaf, saya tidak bisa. Saya harus bekerja"

Raka menatapnya, lalu tersenyum. "Jangan khawatir soal itu. Kami akan membayarmu dengan sangat baik." Ia menyebutkan jumlah uang yang membuat Ratna terkejut. "Bagaimana? Setuju?"

Ratna tahu tawaran ini terlalu bagus untuk ditolak. Ia menatap Raka, mengambil napas dalam-dalam, dan mengangguk. "Saya setuju."

-

Arga baru pulang dari kampus, melangkah masuk ke dalam rumah. Keheningan yang biasa menyambutnya kini digantikan oleh suara gemericik air dari dapur. Ia melihat Tante Fiona sedang mencuci piring, punggungnya membelakangi pintu. Sebuah senyuman kecil terukir di bibir Arga. Ia melangkah perlahan, mendekat ke arah Fiona.

Tanpa berkata, Arga memeluknya dari belakang, melingkarkan tangannya di pinggang Fiona. Fiona terkejut, air yang mengalir dari keran seketika berhenti.

"Arga! Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu memeluk Tante?" ucapnya, suaranya sedikit meninggi.

"Aku hanya ingin membantumu, Tante," jawab Arga, suaranya lembut.

Namun, Fiona bisa merasakan sesuatu yang berbeda. Sebuah desakan yang mengeras di bokongnya, memberitahu Fiona bahwa niat Arga bukan hanya untuk membantu.

"Tidak usah, aku bisa sendiri," jawab Fiona, berusaha melepaskan pelukan Arga. Namun Arga tak bergeming, justru memeluknya semakin erat.

"Tante..." suara Arga terdengar pelan dan berat. "Tentang kemarin malam..."

Fiona segera memotong ucapannya. "Jangan pikirkan itu, Tante sudah melupakannya."

"Bukan itu, Tante," bisik Arga, mendekatkan bibirnya ke telinga Fiona. "Apa Tante juga menikmatinya? Sama sepertiku?"

Fiona membeku. Kata-kata itu menusuk langsung ke relung hatinya.

"Apa?" ucapnya, berusaha mengelak.

"Maaf, Tante," ucap Arga. "Aku hanya bertanya. Aku hanya penasaran."

Fiona melepaskan diri dari pelukan Arga dan berjalan ke meja makan. Ia mengambil lap dan mulai mengelap sudut meja yang bersih, berusaha menenangkan detak jantungnya yang bergemuruh.

"Kenapa kamu penasaran dengan hal itu?" Tanya Fiona.

"Emm... karena..." Arga tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat.

Fiona mendengus. "Apa yang terjadi kemarin lupakan saja. Anggap saja angin berlalu."

Pikirannya bergumul, ia tidak akan pernah mengakui bahwa ia menikmati sentuhan Arga, bahkan lebih dari yang bisa ia bayangkan.

Arga tidak menyerah. Ia memegang lengan Fiona, menghentikan gerakannya.

"Jangan bohong, Tante," ucapnya, matanya menatap dalam mata Fiona. "Aku yakin Tante menikmatinya. Kalau tidak, kenapa tubuh Tante merespons?"

Fiona menunduk. Ia bisa merasakan wajahnya memanas. "Emm... itu..."

"Aku akan datang ke kamar Tante malam ini," potong Arga, suaranya mantap. "Jika Tante tidak menginginkannya, Tante bisa menolakku."

-

Malam itu, jam sepuluh tepat. Arga berbaring di tempat tidurnya, gelisah. Pikirannya melayang pada percakapan sore hari dengan Fiona. Sebuah janji yang ia lontarkan, sebuah tantangan yang ia berikan, kini terasa begitu nyata.

Ia bangkit dari ranjang, mengenakan celana kolornya, dan melangkah keluar kamar. Setiap langkahnya terasa berat, diiringi debaran jantung yang semakin kencang. Tujuannya hanya satu: kamar Tante Fiona.

Di depan pintu kamar yang tertutup rapat, Arga menarik napas dalam-dalam.

"Jika Tante menolakku," bisiknya pelan, "aku akan menyerah, minta maaf, dan Tante tidak akan tertekan lagi dengan pertanyaanku."

Ia mengumpulkan semua keberaniannya dan memutar kenop pintu.

Namun, sebelum tangannya menyentuh kenop, pintu itu terbuka dari dalam. Fiona berdiri di ambang pintu, mengenakan daster tipis. Matanya menatap Arga dengan pandangan yang sulit diartikan, perpaduan antara keraguan dan sebuah keputusan yang telah dibuat.

"Arga... masuklah," ucapnya pelan, suaranya nyaris berbisik.

Arga melangkah masuk, dan tanpa ragu, ia memeluk Fiona erat.

"Tante, terima kasih," ucapnya, suaranya penuh kelegaan. "Jadi, apakah Tante menyetujui jika aku melakukannya lagi?"

Fiona melepaskan pelukan Arga, menatapnya lurus. "Tunggu, sebentar. Tante punya syarat."

Arga mengangguk cepat. "Apa?"

"Kamu harus janji tiga hal," kata Fiona, suaranya tegas. "Pertama, kamu harus lulus dengan nilai yang bagus. Apa kamu sanggup?"

"Iya, Tante, Arga sanggup," jawab Arga yakin. "Lalu yang kedua?"

"Yang kedua: kamu harus menjaga rahasia ini agar tidak sampai diketahui orang lain. Apalagi Bella," ucap Fiona, menyebutkan nama putrinya.

Arga mengangguk mantap. "Aku janji."

Fiona mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan.

"Yang ketiga: ini terakhir kali kamu melakukan sentuhan seperti itu kepada Tante. Apa kamu bisa memenuhi janjimu?"

Hati Arga mencelos mendengarnya, namun ia mengangguk. "Ya, aku bisa. Aku akan menepati janji itu."

Fiona tersenyum tipis. Sebuah senyuman yang menyiratkan rasa pasrah dan kelegaan.

"Baiklah. Sekarang kamu bisa melakukan apa pun yang kamu mau padaku."

Tanpa pikir panjang Arga mendekat, bibirnya perlahan menyentuh bibir Tante Fiona. Ada keraguan di sana, terasa dari ciuman yang awalnya begitu lembut, nyaris seperti sentuhan sayap kupu-kupu.

Fiona tidak membalas, tubuhnya kaku sejenak, tapi bibirnya sedikit terbuka saat Arga menelusuri rongga mulutnya dengan lidahnya, seolah memberikan izin tanpa kata.

Arga mengambilnya sebagai isyarat. Ciumannya berubah, dari ragu menjadi penuh gairah. Tangannya melingkari pinggang Fiona, menariknya lebih dekat hingga tidak ada lagi jarak di antara mereka.

Ciuman itu semakin dalam dan intens, penuh desakan dan hasrat yang tak lagi bisa disembunyikan. Udara di sekitar mereka terasa semakin panas, dipenuhi bisikan-bisikan pelan dan napas terengah-engah.

Ciuman Arga turun dari bibir, menelusuri garis rahang Fiona, lalu berlabuh di lehernya. Ciuman itu memancing desahan lembut yang nyaris tak terdengar dari bibir Fiona. "Nngghhh"

Arga mendengarnya, dan suara itu mendorongnya untuk melanjutkan. Ia menyesap, mencumbui kulit halus itu dengan bibirnya, dan Fiona semakin menyandarkan kepalanya, memberikan akses lebih. Napas mereka saling berkejaran, bercampur dengan desahan yang semakin nyata, mengalirkan gelombang sensasi yang tak tertahankan.

Arga membalikkan tubuh Fiona, tangannya segera meraih payudaranya dari belakang. Gaun tidur tipis itu memang bukan penghalang, justru membuat sentuhan Arga terasa lebih intens. Jemarinya meremas lembut, merasakan kelembutan di balik kain yang minim.

"Nngghhh" Fiona mendesah lirih, suaranya tercekat di tenggorokan, seolah menahan hasrat.

Remasan Arga semakin dalam. Pijatan itu kini beralih menjadi usapan pada puting yang menegang. Fiona memejamkan mata, membiarkan tubuhnya menikmati setiap sensasi yang diberikan Arga.

Arga tidak menghentikan remasannya, justru semakin dalam, merasakan tekstur lembut payudara Fiona di balik gaun tidur tipisnya. Jemarinya bermain, memijat dan meremas seolah ingin mencetak setiap lekuk di telapak tangannya.

"Nggghh Aaahh" Suara desahan lirih Fiona, yang kini terdengar lebih jelas, menjadi musik yang membakar hasratnya.

Ia menundukkan kepala, mencium leher Fiona, sementara tangannya terus meremas, menciptakan gelombang sensasi yang membuat Fiona semakin melengkungkan punggungnya.

Ciuman Arga di leher Fiona terasa seperti sengatan listrik. Lidahnya menelusuri setiap lekuk, menyesap kulit leher yang lembut, dan setiap sentuhannya memancing desahan lirih dari bibir Fiona. "Ssshhh"

Pada saat yang sama, tangannya meremas payudara Fiona dari balik gaun tidur tipis. Remasan itu terasa begitu nyata, membuat Fiona melengkungkan punggungnya, membiarkan Arga menyentuh setiap inci tubuhnya.

Napas Fiona mulai terengah-engah, tubuhnya bergetar, dan ia memejamkan mata, membiarkan Arga mengambil kendali.

"Mmmhh.. nggghhh" Desahan-desahan lirihnya kini berubah menjadi erangan yang tertahan, menandakan bahwa ia menikmati setiap sentuhan Arga. Keduanya hanyut dalam gelombang sensasi yang tak tertahankan, menikmati momen intim yang penuh gairah.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel