Bab 3: Sebuah Awal yang Baru
Keesokan harinya, pagi datang dengan cuaca yang sangat cerah. Namun, Arga merasa ada beban di pundaknya. Ia mulai membawa barang-barangnya dari kamar kontrakan ke rumah Fiona.
Barang-barang itu sudah ia kemas dalam beberapa kardus. Ia hanya memiliki sedikit harta benda, namun entah mengapa rasanya begitu berat.
"Kenapa ini begitu berat?" ucap Arga, terengah-engah sambil memanggul sebuah kardus besar. "Padahal barangku tidak banyak."
Saat Arga masuk ke dalam rumah, ia menemukan Fiona sedang mengepel lantai. Fiona memakai celana legging hitam ketat dan kaos putih tipis. Sinar matahari pagi menyorot dari jendela, membuat siluet tubuhnya terlihat jelas. Keringat membasahi dahi dan lehernya, menunjukkan betapa panasnya cuaca hari itu.
Arga menelan ludah. Pandangannya tak bisa berpaling dari pemandangan di depannya. Saat Fiona membungkuk, legging yang ia kenakan menonjolkan lekuk indah di bagian bokongnya.
"Hufft, benar-benar panas hari ini," ucap Fiona sambil mengipasi mukanya dengan telapak tangan, tidak menyadari kehadiran Arga.
Dia kemudian membalikkan badan, dan saat itulah ia terkejut.
Mata Arga melotot. Kaos putih tipis yang Fiona kenakan basah oleh keringat, membuatnya transparan dan memperlihatkan bra merah yang ia pakai. Bra itu menopang dengan sempurna payudara Fiona yang besar dan kencang. Pemandangan itu, meskipun sekilas, membuat jantung Arga berdebar kencang.
Fiona kaget melihat Arga di depannya, dengan mata tertuju pada payudaranya. Ekspresi di wajah Arga membuatnya sadar akan pakaiannya yang basah dan transparan.
"Arga, kapan kamu masuk?" ucapnya kikuk. Tangan Fiona langsung menyilang di dada, berusaha menutupi bagian yang terlihat. Wajahnya memerah karena malu.
"Maaf Arga Tante memakai pakaian seperti ini, jangan berpikir kalau Tante..."
"Ah, enggak apa-apa Tante, Tante bisa berpakaian senyaman mungkin, begitupun juga aku, lagian cuaca juga sedang panas," jawab Arga kikuk. Ia segera menundukkan mukanya, merasa malu karena ketahuan menatap Fiona.
Tiba-tiba, dari dalam rumah, keluar Arabella Prameswari, putri Fiona. Sikapnya terlihat cuek, bahkan sedikit galak. Meski begitu, wajahnya manis dan tubuhnya tak kalah indah dari ibunya.
Ia menatap Arga dan Fiona bergantian dengan tatapan curiga. "Apa yang sedang yang kalian bicarakan?" ucap Bella, matanya tajam melirik Arga.
"Ahh, bukan apa-apa, hanya mengucapkan terima kasih karena sudah diizinkan tinggal di sini lagi," jawab Arga, mencoba tersenyum.
"Arga, ingat, ketika kau menempati kamarku, jagalah kebersihan, jangan pernah kau menyentuh barang-barangku," ancam Bella, nadanya dingin. "Jangan kau melakukan hal yang aneh-aneh di kamarku, apalagi sampai membuang-buang banyak tisu."
"Hey, apa yang kau bicarakan tentang hal yang aneh-aneh dan membuang-buang tisu?" teriak Arga, merasa harga dirinya diserang.
"Jika kau bukan laki-laki seperti itu, kenapa kau teriak di depanku Hah" ucap Bella sambil memukul punggung Arga dengan telapak tangannya. Pukulannya tidak main-main.
"Aduh, Bella, kenapa kau memukuliku?" ucap Arga sambil mengusap punggungnya.
"Karena aku adalah kakakmu," ucap Bella lagi, lalu menjitak keras kepala Arga.
"Awww, sakit, Bella," erang Arga kesakitan, memegangi kepalanya yang terasa perih.
"Aku tak akan memukulmu jika kau memanggilku dengan sebutan kakak," ucapnya lagi.
Ia kemudian melangkah mendekat, berbisik pelan ke telinga Arga.
"Dan satu lagi," ucap Bella berhenti sejenak. "Jika kau berpikir aneh-aneh tentang ibuku"
Ia menggerakkan tangannya di lehernya, sebuah isyarat yang jelas. "kamu paham kan maksudku?"
"I... iya A..aku paham," ucap Arga, menelan ludah. Tatapan Bella begitu mengintimidasi. "Lagipula Tante Fiona sudah kuanggap seperti ibuku sendiri."
"Tapi kenapa kamu tadi menatap payudaranya?" ucap Bella lirih sambil mencubit perut Arga. Cubitannya terasa sangat perih.
"Aw... aw... A... Apa maksud perkataan kakak," Ucap Arga beralasan. Ia berusaha mengelak, tapi wajahnya memerah.
Mendengar percakapan itu, Fiona tersenyum lembut. Kata-kata itu terasa sangat berarti baginya, menguatkan ikatan di antara mereka.
-
Keesokan harinya, setelah selesai kuliah, Arga memutuskan untuk pergi ke kedai milik Fiona. Ia berjalan kaki, menikmati sore yang sejuk.
"Arga, kamu sudah pulang?" ucap Fiona, yang sedang merapikan beberapa barang di dalam Kedai.
"Emm, apa kamu bisa bantu Tante di kedai? Karyawan yang lama mengundurkan diri," ucap Fiona, suaranya terdengar memohon sambil tangannya memegang tangan Arga. Wajahnya begitu imut, seperti seorang anak kecil yang meminta sesuatu.
"Kenapa Tante terlihat imut sekali," ucap Arga dalam hati. Arga lalu mengangguk, menyetujuinya. Ia tidak bisa menolak permintaan Fiona.
Fiona tersenyum lebar. "Terima kasih ya, Arga. Oh ya Tante hampir lupa, Tante juga ada karyawan baru di sini untuk menemani Tante nanti, kamu Pasti terkejut" ucap Fiona. Ia kemudian mengajak Arga masuk lebih dalam ke dalam Kedai.
"A-apa yang kau lakukan di sini, Ratna?" ucap Arga kaget. Ia tidak percaya bahwa Ratna, Temannya yang genit, adalah karyawan baru yang diceritakan Fiona tadi.
Ratna tersenyum genit melihat Arga. "Arga sayang, tidak bisakah kau menyapaku dengan sedikit lembut?" ucapnya menggoda.
"Cihhhhh," ucap Arga merasa geli mendengar ucapan Ratna.
"Tunggu, kenapa kau bisa di sini? Terus bengkel mobil?" ucap Arga sedikit heran. Setahunya, Ratna sangat menyukai pekerjaannya di sana.
"Aku juga dipecat," jawab Ratna agak geram.
Padahal, ia mengundurkan diri dari sana karena tahu Arga sudah tak lagi bekerja. Ia ingin mengikuti Arga, apa pun caranya.
"Ratna... bukannya tadi bilang kau mau membantuku?" ucap Fiona, suaranya tiba-tiba berubah dingin.
Ia memegang pisau buah yang ada di tangannya, wajahnya sedikit garang. Ada sedikit rasa cemburu di matanya.
"Aku... aku akan membersihkan meja dulu, aku... aku akan mengelapnya," ucap Ratna sedikit canggung. Ia langsung mengambil lap dan mulai membersihkan meja dengan tergesa-gesa.
-
(Beberapa jam telah berlalu)
"Huuhhhh, sudah beres," ucap Arga setelah membereskan beberapa barang dan membersihkan meja. Ia menghela napas, merasa lelah.
"Di mana Tante Fiona?" ucapnya kepada Ratna.
"Dia tadi bilang tidak enak badan," ucap Ratna sambil tetap mengelap meja.
"A-apa tante sakit?" ucap Arga kaget, ada rasa khawatir yang kentara dalam suaranya.
"Tenang... Jangan bereaksi berlebihan, Tante pasti cuma kecapean," ucap Arga dalam hati, mencoba menenangkan dirinya sendiri.
"Aku mau keluar dulu, kamu nanti tutup tokonya dan jangan lupa kunci pintunya," ucap Arga kepada Ratna.
"Arga... bagaimana kalau kita minum-minum setelah ini? Aku yakin kau akan mabuk dalam satu tegukan," ucap Ratna, kini duduk di meja dengan kaki disilangkan, memperlihatkan paha putihnya yang mulus. Ia mencoba menggoda Arga.
"Hey, jangan membual, bukankah itu kamu? Bahkan satu gelas pun kau tak mampu bangkit lagi," ejek Arga kepada Ratna.
"Aku pergi dulu," ucapnya lagi, lalu berbalik dan berjalan keluar dari toko. Ia tidak tertarik dengan ajakan Ratna.
ratna hanya cemberut, menanggapi reaksi arga yang selalu seperti itu kepadanya.
-
Arga sampai di rumah Fiona. Jaraknya tidak terlalu jauh dari kedai, hanya sekitar sepuluh menit berjalan kaki.
"Tante," teriak Arga pelan, saat ia melangkah masuk ke dalam rumah.
Ia menemukan Fiona sedang tertidur di meja makan, kepalanya bersandar di atas tangan. Pemandangan itu begitu lembut dan damai. Arga yang melihat itu langsung menghampiri.
"Kenapa Tante cantik sekali," ucapnya sambil menelan ludah.
Hatinya berdesir. "Wajahnya juga sangat imut, dan bibirnya sangat seksi" ucap Arga pelan, nyaris seperti bisikan.
Arga melirik bibir Fiona yang sedikit terbuka saat ia tidur. Secara perlahan, ia membungkuk, tangannya terulur perlahan.dan menyentuh bibir Fiona dengan jari telunjuknya. Sentuhan itu singkat, namun terasa seperti keajaiban.
Fiona terbangun dari tidurnya. Matanya mengerjap.
"Arga," ucapnya dengan suara serak. Ia mengangkat kepalanya perlahan, melihat Arga yang masih membungkuk di depannya.
Matanya melebar, seolah ia menyadari apa yang baru saja terjadi. "Apa yang..." ucapnya terhenti.
Arga segera menegakkan badannya. Jantungnya berdebar kencang, ia merasa tertangkap basah. Wajahnya memerah padam.
"A... aku... Tante ketiduran. Aku hanya ingin membangunkan Tante," jawab Arga gagap, kata-katanya tak teratur.
Fiona mengamati wajah Arga yang penuh kepanikan. Ia menghela napas, mencoba mencerna situasi.
"Oh... terima kasih, Arga. Maaf, Tante ketiduran," ucapnya, suaranya kini kembali normal, seolah tidak terjadi apa-apa. Ia tersenyum lembut, senyum yang entah mengapa membuat Arga merasa semakin tidak karuan.
"Tante... Tante sakit?" tanya Arga, berusaha mengalihkan pembicaraan.
Fiona menggeleng. "Tidak, Tante hanya kelelahan. Mungkin karena seharian di toko," jawabnya. "Kamu sudah makan?"
"Sudah, Tante," jawab Arga.
"Yasudah, Tante mau mandi dulu. Kamu istirahat saja di kamar" ucap Fiona sambil bangkit dari kursi. Ia berjalan menuju kamarnya.
Arga masih berdiri mematung di dekat meja makan, merasakan sensasi sentuhan bibir Fiona di jari telunjuknya.
Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan. Apa Fiona menyadari sentuhannya? Atau ia hanya menganggapnya sebagai sentuhan biasa? Perasaannya terhadap Fiona semakin campur aduk.
Ia tidak hanya menganggap Fiona sebagai ibu atau bibinya, ada perasaan lain yang mulai tumbuh di dalam hatinya, perasaan yang ia sendiri tidak berani akui.
