Bab 2: Pahitnya Kenyataan
(Pengenalan Singkat)
Namaku Arga Pradipta, usiaku 21 tahun dan banyak yang bilang aku memiliki wajah yang sangat tampan. Kehidupan ini sungguh tidak adil. Saat aku masih SD, kedua orang tuaku meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil yang merenggut nyawa mereka secara tiba-tiba.
Dunia seolah runtuh di depanku. Jika bukan karena Tante Fiona yang mengasuhku, aku mungkin sudah menjadi gelandangan, atau bahkan lebih buruk dari itu. Ia adalah pilar kekuatanku, mercusuar di tengah badai.
Fiona Adelia Putri, merupakan sahabat karib mendiang ibuku sejak SMP, dia adalah seorang janda, usianya sekitar 41 Tahun. Meskipun begitu, wajahnya sangat awet muda, bahkan sering disangka seumuran denganku. Ia memiliki senyum yang manis, wajahnya yang masih terlihat imut dan mata yang memancarkan kelembutan.
Dia memiliki seorang putri bernama Arabella Prameswari yang kini sedang bekerja lumayan jauh dari rumah, usianya sekitar 23 tahun.
Tante Fiona memiliki hati yang sangat lembut dan penuh kasih sayang. Ia tak pernah lelah merawatku, memastikan aku makan dengan baik, dan selalu ada untuk mendengarkan ceritaku. Meskipun terkadang terlihat sedikit pemalu, ia adalah sosok yang kuat.
Fisiknya? Jangan ditanya. Tubuhnya sangat indah, dengan bokong sintal dan payudara yang besar dan kencang, benar-benar seperti gadis muda. Ia selalu menganggapku sebagai anaknya sendiri, dan aku sangat bersyukur. Rasa terima kasihku padanya tak terhingga.
-
(kembali ke sekarang)
Saat ini, aku sedang berjalan kaki menuju Bengkel Mobil, tempatku bekerja paruh waktu. Langit sore yang tadinya cerah kini mulai diselimuti awan kelabu, seolah mencerminkan perasaanku. Gajinya tidak seberapa, tapi cukup untuk biaya jajan dan sedikit tabungan. Itu sudah lebih dari cukup bagiku.
Tiba-tiba, ponselku berdering. Ada notifikasi WhatsApp dari Ratna Fitria, teman sekaligus rekan kerjaku. Dia adalah gadis yang ceria, sedikit tomboy, tapi sangat cantik. Tubuhnya juga montok. Aku tahu dia punya perasaan padaku, tapi aku hanya menganggapnya teman. Aku tidak ingin memberikan harapan palsu.
"Kring!"
Aku membuka pesan itu, isinya, "Hey Arga, apa kamu sudah berangkat? Aku menunggu di tempat biasa." Aku membaca pesan itu, tetapi mengabaikannya.
"Cewek aneh," gumamku dalam hati sambil memasukkan kembali ponsel ke saku celana. Aku tidak ingin berinteraksi lebih jauh dengannya di luar pekerjaan.
Saat aku berbelok di sebuah gang, Ratna sudah berdiri di sana. Ia melambaikan tangan dengan antusias.
"Arga, kenapa enggak balas WhatsApp-ku?" tanyanya dengan nada merajuk, bibirnya sedikit cemberut. Matanya menatapku dari atas ke bawah, lalu tersenyum genit.
"Kamu jadi semakin tampan saja, kharismamu itu loh" godanya, membuatku sedikit salah tingkah. Aku hanya tersenyum tipis sebagai tanggapan.
"Gak usah ngegombal, enggak mempan," jawabku sedikit cuek, melanjutkan langkahku.
"Hey, tunggu aku!" teriak Ratna, lalu berlari menyusulku, langkahnya lincah. Aku hanya menggelengkan kepala, membiarkannya berjalan di sisiku.
Jam menunjukkan pukul 18.30, waktu kerja sudah berakhir. Lampu-lampu di bengkel mobil mulai dinyalakan. Aku baru saja selesai mengerjakan mobil terakhir, ketika Pak Jaka, pemilik bengkel, menghampiriku. Wajahnya terlihat lelah dan cemas, dan aku tahu ada sesuatu yang tidak beres.
"Arga, bisakah kita bicara sebentar?"
"Baik, Pak," jawabku, hatiku mulai merasa tidak enak. Aku sudah bekerja di sini selama tiga tahun, dan ini pertama kalinya Pak Jaka mengajakku bicara empat mata dengan wajah seperti itu.
Kami duduk di bangku di sudut ruangan, jauh dari keramaian. Pak Jaka menghela napas panjang, seolah sedang mengumpulkan keberanian.
"Arga, akhir-akhir ini bengkel semakin sepi. Pendapatan menurun drastis," ujarnya, suaranya pelan dan berat. "Harga suku cadang dan oli juga mulai naik." Ia menggosok-gosok tangannya, matanya menghindari tatapanku. Ia terlihat sangat tidak nyaman.
Aku sudah bisa menebak arah pembicaraan ini, dan rasanya perih. Seperti ada batu besar yang menimpa dadaku. Tapi aku harus kuat.
"Tidak apa-apa, Pak. Saya tahu maksud Anda," potongku, mencoba terlihat tegar.
"Maafkan saya, Arga. Saya..." ucapnya lirih. "Saya tidak bisa lagi mempekerjakanmu."
Aku mengangguk pelan. "Terima kasih untuk semua kebaikan Anda, Pak," ucapku, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh.
Aku tahu, Pak Jaka adalah orang yang sangat baik. Ia memberiku pekerjaan saat aku benar-benar membutuhkannya. Ia juga sering memberiku makan siang dan menganggapku seperti anaknya sendiri.
Pak Jaka tidak bisa menahan perasaannya. Ia bangkit dan memelukku erat.
"Maaf, Arga," bisiknya, suaranya bergetar.
Pelukan itu terasa seperti pelukan seorang ayah. Aku membalas pelukannya, membiarkan rasa sedih itu mengalir. Ada rasa kehilangan yang mendalam.
Dengan hati yang berat aku melangkah pulang. Setiap langkah terasa semakin berat. Setibanya di rumah Tante Fiona, aku membuka pintu dan melangkah masuk.
"Aku pulang!" ucapku, suaraku sedikit parau. Aku berjalan mencari keberadaan Tante Fiona. "Tante, apa kau di rumah?"
Tidak ada jawaban. Aku melangkah ke ruang keluarga, lalu ke dapur. Saat aku membalikkan badan, Tante Fiona keluar dari dapur.
Sebuah handuk putih melilit tubuhnya, hanya sebatas dada hingga paha, memperlihatkan bahu dan lehernya yang mulus. Rambutnya masih basah, ia sepertinya baru saja selesai mandi.
"AAAAA.... Arga!" teriak Fiona kaget. Ia terlihat panik.
Handuk itu sedikit melorot, membuatnya buru-buru memeganginya.
"Kapan kamu pulang? Tante enggak dengar suaramu!" ucapnya lagi, wajahnya memerah karena malu sambil menyilangkan tangan di depan dadanya, mencoba menutupi tubuhnya.
Aku dengan cepat membalikkan badan, jantungku berdebar kencang. Pemandangan tadi, meski hanya sekilas, membuatku terkejut.
"Ba... baru saja, Tante... Maaf, tidak melihatmu di dapur," ucapku gagap.
"Tante ke kamar dulu," kata Fiona, suaranya terdengar panik. Dia buru-buru menuju kamarnya, seolah ingin menghilang.
Aku masih memunggungi dia, merasakan panas menjalar di wajahku.
-
Jam menunjukkan pukul 8 malam. Kami duduk di meja makan, menikmati makan malam yang disiapkan Tante Fiona. Ia memasak makanan kesukaanku. Suasana canggung tadi sudah mencair, meskipun aku masih merasa sedikit malu.
"Apa makanan Tante enak, Arga?" tanya Fiona dengan senyum lembut.
"Masakan Tante memang paling enak," jawabku, mulutku penuh dengan nasi.
Rasa makanannya benar-benar menghangatkan hatiku, sedikit mengobati rasa sakit karena kehilangan pekerjaan.
"Tante, jadi apa yang akan Tante bicarakan sama Arga?" tanyaku, kembali ke topik yang sempat tertunda tadi sore.
Suasana meja makan mendadak hening. Fiona menunduk lama, seolah menimbang sesuatu. Akhirnya ia memberanikan diri membuka suara.
"Begini Arga…" ucapnya pelan. "Tante tahu akhir-akhir ini hidupmu nggak mudah. Tante juga… jujur aja, mulai kewalahan. Kedai makin sepi, biaya rumah makin besar. Kadang Tante merasa terlalu lelah menghadapi semua sendirian."
Arga berhenti mengunyah, dadanya sesak. Kata-kata itu terasa berat, membuat rasa bersalah menghimpit.
"Tante… maaf. Aku justru nambah beban. Aku bahkan baru saja kehilangan kerjaan di bengkel. Rasanya aku gagal, nggak bisa balas semua kebaikan Tante."
Fiona cepat-cepat menggeleng, matanya berkaca-kaca.
"Jangan bilang begitu. Kamu sama sekali bukan beban. Justru sejak kamu ada di sini, Tante nggak merasa sendirian. Tante selalu lebih tenang karena ada kamu."
Arga menunduk, menatap nasi di piringnya yang sudah dingin. Suaranya serak.
"Tapi aku masih ngutang sama Tante soal kontrakan yang aku tempatin sekarang. Aku belum bisa bayar. Aku merasa... jadi beban Tante."
Fiona mengulurkan tangannya, menggenggam jemari Arga erat. Tatapannya lembut, penuh ketulusan.
"Jangan ngomong begitu, Nak. Kamu nggak pernah jadi beban buat Tante. Justru kehadiranmu yang bikin Tante kuat selama ini."
Fiona menarik nafas dalam dalam.
"Tante selalu sendiri di sini, ketika bella sedang bekerja, tidak ada teman mengobrol." Ucap fiona Suara fiona bergetar.
"Arga, dengar Tante baik-baik. Mulai besok, lupakan kontrakan itu. Bella besok mau pindah kerjaan, katanya agak jauh, dan dia ngekos di sana, kamarnya kosong. Tante ingin kamu tinggal di sini, menempati kamarnya. Rumah ini akan terlalu sepi tanpa kamu."
Arga terkejut, menatap Fiona dengan mata memerah. "Tante… aku sungguh boleh tinggal di sini?"
Fiona tersenyum tipis, air mata hampir jatuh di pipinya.
"Bukan cuma boleh. Tante yang minta. Jangan ke mana-mana lagi ya Nak. Anggap rumah ini rumahmu juga. Tante sudah anggap kamu seperti anak sendiri. Biar Tante urus sisanya, kamu cukup bertahan dan tetap semangat kuliah."
Air mata Arga akhirnya tak terbendung. Ia menunduk, menggenggam balik tangan Fiona.
"Terima kasih, Tante… aku benar-benar nggak tahu bagaimana membalas semua ini. Tapi aku janji… aku nggak akan sia-siakan kesempatan ini."
Fiona lalu berdiri, meraih Arga ke dalam pelukan erat.
"Yang Tante mau cuma satu, Arga. Tetaplah di sini. Jangan pernah pergi."
Pelukan itu terasa hangat, membuat semua luka di hati Arga sedikit demi sedikit mereda. Untuk pertama kalinya hari itu, ia merasa ada tempat di mana ia benar-benar diterima.
Malam itu, mereka berdua duduk berlama-lama di sofa ruang keluarga, berbicara dari hati ke hati. Fiona menceritakan kenangan masa kecilnya bersama mendiang ibu Arga, sementara Arga mendengarkan dengan seksama, sesekali menyeka air mata.
Fiona juga berbagi cerita tentang Bella, putrinya, yang kini akan memulai hidup baru di kota lain. Ada rasa haru dan bangga dalam suaranya. Mereka berdua menemukan kenyamanan dalam kebersamaan itu, melupakan sejenak masalah yang baru saja mereka hadapi.
Rasa cemas Arga tentang masa depannya perlahan mereda, digantikan oleh rasa aman karena ia tahu ia tidak sendirian. Fiona, di sisi lain, merasa lega karena Arga bersedia tetap di sisinya, mengisi kekosongan yang akan ditinggalkan putrinya.
