Bab 1: Daya Pikat yang Tersembunyi
Sore itu, langit membentangkan kanvas biru cerah di atas kota saat matahari mulai condong ke ufuk barat. Kehidupan kota tampak begitu hidup; jalanan dipenuhi oleh arus kendaraan. Banyak orang berlalu lalang, sementara yang lain memilih untuk bersantai, menikmati sapaan lembut udara senja yang perlahan mulai mendingin.
Di tengah keramaian ini, Fiona melangkah pelan, menyusuri trotoar dengan langkah yang santai dan penuh keanggunan. Ia sangat menyukai momen-momen seperti ini, di mana pikirannya yang seharian penuh dengan urusan rumah bisa menemukan ketenangan.
Ia menghirup udara sore dengan senyum tipis yang tulus, membiarkan semilir angin membelai lembut wajahnya. Matanya sesekali melirik etalase toko yang berjejer rapi di sepanjang jalan, sekadar menikmati pemandangan tanpa ada niat untuk membeli.
Penampilannya hari itu sangat sederhana namun memancarkan aura yang kuat. Dengan gaun kasual berwarna pastel, ia terlihat begitu anggun dan awet muda, seolah waktu berhenti berputar hanya untuknya. Gaun itu membalut tubuhnya dengan pas, menonjolkan lekuk-lekuk tubuh yang indah tanpa terlihat vulgar.
Namun, ketenangan yang ia nikmati tak berlangsung lama. Sebuah suara asing memecah damainya.
"Hai Nona, boleh kenalan ga?," ucap seorang mahasiswa dengan senyum yang dipaksakan. Ia dan teman-temannya mencegat Fiona di trotoar, membentuk sebuah lingkaran kecil yang membuat Fiona merasa terpojok.
Fiona yang sedang menikmati sore yang tenang, terkejut dan sedikit risih. Ia melangkah mundur, mencoba menjaga jarak.
"Maaf, aku..." ucap Fiona, mencoba mencari alasan yang sopan untuk menolak, namun lidahnya terasa kelu. "Aku sedang terburu-buru."
"Kami bukan orang jahat kok," sahut salah satu mahasiswa lainnya dengan nada yang terdengar meyakinkan, namun justru membuat Fiona semakin tidak nyaman.
Mereka menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan, seolah-olah Fiona adalah mangsa yang menarik.
"Kami hanya mau mengajak kenalan kok" ucapnya.
Temannya yang lain, yang bertubuh lebih besar, tanpa menunggu persetujuan, langsung meraih pergelangan tangan Fiona.
"Ayo, kita duduk dulu, oke?"
Fiona berusaha menarik tangannya, panik mulai melanda. Jantungnya berdebar kencang, dan ia mulai mencari celah untuk melarikan diri.
"Tante..."
Tiba-tiba, sebuah suara yang sangat familiar terdengar dari belakang, suara yang seolah datang sebagai penyelamat.
Fiona langsung menoleh, matanya berbinar melihat sosok yang dikenalnya. Sebuah senyum lega merekah di bibirnya.
"Arga!" jawabnya, suaranya dipenuhi kelegaan.
Senyum itu seolah memberitahu Arga bahwa ia sangat membutuhkan pertolongannya, sebuah kode rahasia di antara mereka.
Para mahasiswa yang tadi mengganggu Fiona saling pandang dengan keheranan. Raut wajah mereka yang tadinya penuh percaya diri kini berubah menjadi bingung.
Arga melangkah maju, kehadirannya yang dominan langsung membuat para mahasiswa itu mundur selangkah. Ia berdiri di antara Fiona dan para mahasiswa itu, seolah menjadi perisai tak terlihat.
"Apa yang Tante lakukan di sini? Apa Tante mencariku?" tanyanya pada Fiona.
matanya yang tajam menatap para mahasiswa itu. Tatapan itu seolah-olah menelanjangi mereka, membuat mereka merasa sangat kecil.
"Oh, apa kalian mengganggu tanteku?"
"Ah, tidak, bukan seperti itu, Arga," jawab salah satu dari mereka dengan gugup.
Raut wajah mereka kini dipenuhi rasa malu. Mereka tahu siapa Arga. Mahasiswa paling populer di kampus, yang juga dikenal karena ketegasannya.
"Hey, ayo pergi," bisik salah satu dari mereka, menarik temannya menjauh.
Mereka berjalan cepat, meninggalkan Arga dan Fiona. Langkah mereka tergesa-gesa, seperti ingin segera lenyap dari pandangan Arga.
Salah satu dari mereka masih tak percaya. "Aku gak peecaya Wanita itu tante dari Arga?"
Temannya yang lain menimpali.
"Aku juga bro, Lihat deh wajahnya,, beda banget sama arga. Ia menengok ke arah arga dan fiona.
"Kelihatannya wanita itu seumuran dengan kita."
Mereka terus berbisik, tidak menyadari betapa leganya perasaan Fiona. Fiona bisa bernapas lega, dan rasa paniknya perlahan menghilang.
Setelah para mahasiswa itu benar-benar pergi, Arga berbalik menghadap Fiona dengan ekspresi khawatir yang kentara di wajahnya.
"Apa Tante baik-baik saja?" tanyanya lembut. Tangannya terangkat hendak menyentuh bahu Fiona untuk memastikan, namun ia urung, seolah teringat akan batas yang harus ia jaga.
"Oh, aku baik-baik saja, Arga. Terima kasih banyak, ya, kamu sudah membantuku tadi," jawab Fiona tulus. Matanya menatap Arga dengan penuh rasa syukur.
Arga menghela napas panjang, sedikit kesal. Ia tidak suka melihat Fiona dalam situasi yang tidak nyaman.
"Tante, seharusnya Tante menolak ajakan mereka," ucapnya dengan nada menegur, nada yang jarang ia gunakan pada Fiona.
"Bukan begitu, Arga. Tante kebetulan tadi hanya lewat sini, setelah jalan-jalan," jelas Fiona, merasa tidak enak hati karena membuat Arga khawatir. "Mereka tiba-tiba saja datang."
"Tante itu memang terlihat awet muda, mereka menganggap Tante mungkin seumuran dengan mereka," potong Arga. Suaranya sedikit meninggi karena geram.
"Jadi lain kali, Tante hati-hati, jangan sampai digoda laki-laki seperti mereka. Setidaknya kabari aku dulu kalau mau ke mana-mana," ucapnya.
nadanya kini terdengar seperti seorang kakak yang sedang menasihati adiknya. Ia sungguh tidak suka melihat Fiona dalam situasi yang tidak nyaman.
Mendengar kata-kata Arga, hati Fiona terasa perih. Ia merasa Arga tidak mempercayainya, seolah ia adalah seorang anak kecil yang tidak bisa menjaga diri.
"Arga... itu... kamu tidak mempercayaiku?" ucap Fiona lirih, matanya berkaca-kaca, menahan air mata yang hendak jatuh.
Arga langsung menyadari kesalahannya. Raut wajahnya berubah menjadi panik.
"Bu... bukan begitu, Tante..." ucapnya gagap. Ia tidak bermaksud membuat Fiona sedih. "Aku hanya... aku hanya khawatir."
"Sudahlah, mari kita pulang saja," potong Fiona, berusaha menutupi perasaannya. Ia meraih tangan Arga, menggenggamnya dengan erat.
Genggaman itu terasa hangat, seolah ia ingin menyampaikan bahwa ia baik-baik saja, meskipun hatinya terasa sedikit terluka. Arga membiarkannya, merasa bersalah.
Mereka berjalan menelusuri jalan setapak, langkah mereka berirama. Keheningan sempat menyelimuti, namun Arga merasa tidak nyaman dengan suasana itu. Ia harus mencairkannya.
Untuk mencairkan suasana, Arga mulai menceritakan kejadian lucu tentang teman-temannya di kampus, sebuah lelucon yang ia improvisasi di tempat.
Fiona mendengarkan dengan seksama, senyumnya kembali merekah. Ia tertawa lepas mendengar lelucon Arga yang konyol, merasa nyaman dan aman di sampingnya. Arga tersenyum melihat tawa Fiona. Baginya, tawa Fiona adalah musik yang paling indah.
-
Sesampainya di rumah fiona, suasana kembali hening. Arga duduk di sofa ruang keluarga, sementara Fiona sedang mengepel lantai. Ia membungkuk, dengan punggung yang melengkung indah.
Gerakannya yang luwes membuat payudaranya bergoyang lembut, dan bokong kencangnya sedikit menungging. Sinar matahari senja yang masuk melalui jendela membuat siluet tubuh Fiona terlihat semakin memikat.
Arga menelan ludah, pandangannya terpaku pada pemandangan di depannya. Ia berusaha mengalihkan perhatian, menatap ke arah lain, namun sulit. Pandangannya terus kembali ke arah Fiona, seolah ada magnet yang menariknya.
"Bagaimana dengan kuliahmu, Arga?" ucap Fiona, suaranya lembut, seolah menyadarkan Arga dari lamunannya yang dalam.
"I... itu Tante, baik. Hanya banyak tugas dari dosen," jawab Arga dengan suara serak, ia merasa malu karena ketahuan sedang melamun. Ia berdeham, mencoba menetralkan suaranya.
Fiona tersenyum geli, ia sepertinya menyadari sesuatu namun tidak ingin mengungkitnya.
"Tante tadi membuat jamu beras kencur, apa kamu mau mencoba?" ucapnya sambil bangkit dan mengambil tumbler dari atas meja. Tumbler itu berwarna perak mengilap.
"Kenapa susah sekali dibuka, ya?" ucap Fiona, ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk memutar tutup tumbler, namun tetap tidak bisa.
"Aku saja yang membuka, Tante," Arga menawarkan diri. Ia bangkit dari sofa dan mendekat, tangannya terulur hendak mengambil tumbler itu. Jarak di antara mereka kini sangat dekat.
"Hmm, ini hampir kebuka, hanya perlu sedikit lagi," gumam Fiona, ia masih mencoba membuka tutupnya. Arga yang sudah berdiri di sampingnya juga ikut membantu. Tangan mereka bersentuhan, sebuah sentuhan yang singkat namun terasa seperti sengatan listrik.
"Kyaaa, astaga!" Fiona menjerit kecil. Tutup tumbler itu tiba-tiba terbuka, namun tersenggol oleh tangan Arga. Jamu beras kencur itu tumpah, membasahi sebagian lengan, dada dan paha Fiona.
"Ma... maaf, Tante, aku enggak sengaja," Arga berkata dengan wajah memerah padam. Ia langsung mengambil beberapa lembar tisu dari meja terdekat untuk membersihkan cipratan jamu di tubuh Fiona. Tangannya gemetar saat menyentuh kulit Fiona.
"Sudah, jangan dipikirin. Bisakah kamu ambilkan lap yang bersih di dapur?" jawab Fiona, ia sedikit terkejut namun berusaha tetap tenang. Ia melihat Arga yang terlihat panik dan berusaha menenangkannya.
"Baik, Tante," Arga segera bergegas ke dapur, mengambil lap bersih. Pikirannya dipenuhi oleh rasa bersalah dan sensasi sentuhan yang baru saja ia rasakan.
"Ini, Tante..." ucap Arga terhenti saat ia kembali. Pemandangan di depannya membuat napasnya tertahan.
Fiona sedang membersihkan sisa jamu di pahanya dengan tisu. Saat tangannya bergerak, gaunnya sedikit terangkat. Celana dalam merahnya terlihat dengan sangat jelas, kontras dengan warna kulitnya yang putih.
Arga menelan ludah, matanya tak bisa berpaling. Pemandangan itu terlalu memikat.
"Celana dalam Tante terlihat... Pink" bisiknya dalam hati, wajahnya memerah bagai kepiting rebus. Jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul dadanya.
"Arga, kenapa kamu melamun?" ucap Fiona, ia tidak menyadari betapa memerahnya wajah Arga. "Sini, lapnya."
"Ahh, iya, maaf, Tante," Arga tergagap, ia buru-buru menyerahkan lap itu. Jantungnya berdebar kencang. Ia merasa sangat malu namun tidak bisa mengendalikan dirinya.
Fiona mengambil lap itu dan mulai membersihkan sisa jamu dengan lebih teliti. "Arga, bukannya kamu harus kerja paruh waktu?" tanyanya, seolah tak terjadi apa-apa. Ia mencoba mengalihkan perhatian Arga dari kejadian yang baru saja terjadi.
"Ahh, iya, Tante, hampir Arga lupa!" Arga terkejut, ia benar-benar lupa dengan pekerjaan paruh waktunya. Ia merasa kikuk dan langsung berjalan cepat menuju pintu.
"Arga, bisakah kamu pulang lebih awal nanti? Ada hal yang ingin Tante bicarakan," ucap Fiona lirih, suaranya terdengar serius.
"Tidak bisakah dibicarakan sekarang saja, Tante?" jawab Arga, ia merasa penasaran. Wajah serius Fiona membuatnya bertanya-tanya.
"Tidak. Nanti saja saat kamu pulang," ucap Fiona, ia tetap menolak. Ada nada tegas dalam suaranya.
"Baiklah, Tante, Arga usahakan pulang lebih awal," jawab Arga. Ia melambaikan tangan dan berjalan keluar, pikirannya dipenuhi oleh dua hal: pemandangan celana dalam Fiona dan raut wajah serius Fiona ketika mengatakan ingin berbicara dengannya. Dua hal itu seolah-olah berputar-putar di kepalanya, membuatnya tidak bisa fokus.
