Bab 9. Selamat Tinggal
"Apa ... ???"
Mas Erik menyentuh perut Kenny.
Tidak ada pergerakan nafas di perutnya.
Jari mas Erik bergerak dengan lembut ke hidung Kenny, tidak terasa nafasnya.
Mas Erik menggendong Kenny. Sekujur tubuhnya sangat dingin seperti boneka keramik terpapar udara dingin AC.
"Dia ... dia ... Kenny tidak bernafas!"
Tidak percaya dengan ucapannya aku menggengam kaki kecil Kenny lanjut menyentuh pipinya.
"Ini tidak mungkin ... KENAPA ... ?"
"KENAPA KENNY TIDAK BERGERAK ... ?!?!"
Para baby sitter mengetuk pintu.
Mas Erik membawa anak kami yang tidak bernyawa ke rumah sakit.
Namun itu tindakan yang salah, sebab hati kami semakin hancur saat dokter memastikan kematiannya.
Linda, Erik, Jena, Revan, Cindy, semuanya sangat syok.
"Bapak, ibu, yang sabar ya. Anak kalian mengisap penyakit RSV. Penyakit itu disebabkan infeksi virus pada paru-paru dan saluran pernapasan. Penyakit ini sering terjadi pada bayi prematur."
Mulutku terkunci, air mataku jatuh dengan deras, hatiku sangat hancur.
Mas Erik berteriak. "MUSTAHIL! DIA TIDAK DEMAM ATAUPUN BATUK! DIA TIDAK TERKENA BRONKITIS ATAUPUN PNEUMONIA! KENAPA DIA PERGI?!?!"
Dokter menjawab dengan tenang. "Bapak yang sabar ya. Saya rasa anak bapak sempat mengalami demam dan batuk, sebelum berpulang."
Aku syok berat mendengar pernyataan si dokter. Tadi malam Kenny ada di sampingku, bagaimana bisa aku tidak terbangun saat anakku kesakitan.
"Benarkah itu dokter? Cucu saya sempat memunculkan tanda-tanda?" Tanya Cindy.
"Saya sudah bekerja sebagai dokter selama 37 tahun. Saya sangat yakin cucu anda mengalami gejala tersebut sebelumnya."
Jena, Cindy, dan Revan memandang aku dan mas Erik.
Ekspresiku menjadi tidak terkendali. Hal terakhir yang aku lihat sebelum pingsan adalah mas Erik yang menarik rambutnya.
Anakku telah meninggal. Ini salahku yang membuatnya terlahir prematur.
Entah berapa lama aku pingsan. Aku bermimpi bertemu arwah anakku, dia tidak bicara dan umurnya sedikit lebih tua. Dia bukan lagi seorang bayi melainkan balita.
Kenny, maafkan ibu. Kalau saja kamu tidur bersama baby sitter mungkin kamu masih bisa diselamatkan.
Arwah Kenny saat balita sangat mirip dengan foto mas Erik saat masih kecil.
Arwah Kenny tersenyum kemudian sirna bersama hembusan angin yang sangat kencang. Menyapu wajahku dengan kuat hingga aku terbangun di dunia nyata.
Tampak kamar kami sangat berantakan. Perabotan yang tersusun rapi kini berserakan dimana-mana. Cermin yang aku gunakan untuk make up pecah berkeping-keping. Koleksi botol anggur mas Erik banyak yang pecah.
Apa yang terjadi disini? Kamar ini seperti kapal pecah.
Perlahan aku bangkit dari tempat tidur yang entah mengapa terasa sangat tidak nyaman. Lalu aku sadar ada tumpahan anggur di selimutku.
"Kamu sudah bangun?"
Langsung aku menoleh ke arah sumber suara. Mas Erik terduduk di ujung ruangan dekat jendela. Perutnya tampak mengeluarkan darah.
Mas Erik menjelaskan semua yang telah terjadi selama aku pingsan.
Anak kami telah tiada.
Mayatnya ditinggal untuk diotopsi agar ketahuan penyebab kematiannya yang sebenarnya.
Ibu Cindy sangat murka, tapi kemurkaannya kalah oleh Erik.
Jena menangis histeris dan mengurung diri di kamar. Dia berteriak berkali-kali, mengungkapkan penyesalannya yang tidak sempat menggendong Kenny.
Ayah Revan menenangkan ibu Cindy. Matanya bagaikan ikan mati saat memeluk istrinya. Ayah Revan memendam kesedihannya agar keluarganya tidak semakin depresi. Itulah tugas kepala keluarga. Ketegaran Revan patut dipuji.
Sementara ayah dan ibu Linda, Bagas dan Sara, sedang dalam perjalanan.
Linda menggulung tubuhnya dengan selimut kemudian duduk di samping Erik.
Dengan lirih Linda berkata. "Maafkan aku mas, ini salahku yang tidur terlalu nyenyak."
"Aku sama sekali tidak menyadari keadaan anak kita. Yang aku pikirkan dan mimpikan malam itu hanya kebahagiaan yang akan kuraih dengan kalian berdua di sisiku."
Mas Erik tidak merespon ucapanku. Dia menyandarkan kepalanya di bahuku sebentar lalu ke luar kamar tanpa mengatakan apapun.
•
•
•
•
Hasil otopsi membenarkan dugaan dokter sebelumnya.
Kenny dimakamkan di rumah peristirahatan. Keterbatasan lahan di kota ini memaksa kami untuk menggunakan sistem pemakaman yang berbeda.
Mula-mula mayat dibungkus dengan kain putih, lalu diletakkan di atas meja batu cekung setinggi 40 sentimeter.
Selanjutnya, mayat ditimbun dengan tanah campuran semen yang lembut.
Meskipun aneh tapi prosedur pemakaman inilah yang tersedia di zaman sekarang. Di tengah menipisnya lahan tanah. Di tengah gempuran revolusi konstruksi yang menutupi setiap inci daratan.
Terakhir batu nisan dipasang di kepala Kenny. Melihat nama Kenny Holmes Bayroad di batu nisan itu membuatku banjir air mata.
Aku meletakkan bunga di atas makamnya lalu kupeluk dia.
Ayah berusaha menarikku dari kuburan anakku. Hati ini terasa tidak rela. Tapi siapa yang bisa disalahkan atas kematiannya?
Suasana rumah menjadi sangat sepi. Tidak ada yang bersuara di ruang tamu rumah besar itu, bahkan pembantu yang sedang menyapu bekerja lebih pelan, takut memecah keheningan yang kami ciptakan.
Semua orang berkabung. Aku tidak pernah menyangka akan melihat hal seperti ini di keluarga Bayroad.
Aku tidak pernah menyangka akan kehilangan anak pertamaku. Berbeda dengan anggota keluarga Bayroad lainnya, aku bisa bangkit dari kesedihan dengan cepat. Mungkin karena aku sering mengalami situasi yang mirip.
Meskipun begitu aku tidak berani memecahkan keheningan yang menyelimuti.
Harapan satu-satunya adalah ayah Revan. Dia orang tua bijak yang sangat menyayangi keluarga. Dia selalu jadi yang pertama berbicara saat mental kami tengah kacau balau.
Contohnya, saat aku hamil 4 bulan, Jena tertipu investasi bodong sebesar 20 juta rupiah.
Bu Cindy marah besar saat itu. Mas Erik melarangku membantu Jena karena dia sepemikiran dengan ibunya.
Lalu ayah Revan datang dan langsung menenangkan istrinya. Jena langsung disuruh meminta maaf ke anggota keluarga dan keluarga kami pun kembali harmonis.
Harapanku tidak terwujud.
Jena berkata. "Aku lelah. Selamat malam." Lalu bertolak ke kamarnya.
Ibu Cindy beranjak dari tempat duduknya. Tanpa mengatakan apapun, dia naik tangga ke kamarnya.
Ayah Revan mengikutinya. Bedanya ayah Revan mau berbicara pada kami sebelum pergi.
"Ayah akan pergi menenangkan ibumu. Erik, kamu temui Jena. Linda bisa ke kamar sendirian karena dia sudah berdamai dengan situasi ini."
"Bagaimana ayah tahu?" Tanyaku terbata-bata.
"Aku memperhatikan sorot matamu."
Ayah Revan adalah mantan detektif di kepolisian. Jadi jangan heran kalau pengamatannya sangat tajam.
Mas Erik mencengkeram tanganku, kemudian menggendongku seperti pengantin ke kamar dan melemparku ke ranjang seperti guling.
Saat aku menatap mata mas Erik muncul perasaan yang membuatku bernostalgia.
Rasa takut terhadap sorot mata tajam mas Erik.
Kekecewaan mengubah sifatnya kembali seperti dulu. Seperti saat kami masih dalam fase pernikahan kontrak.
Secara terang-terangan dia menyalahkanku atas kematian Kenny.
"KALAU KAMU TIDAK BERSIKERAS MEMBAWA KENNY KE KAMAR KITA, DIA TIDAK AKAN KEHILANGAN NYAWA!!!!"
"KOK KAMU BEGITU SIH MAS?! AKU JUGA TIDAK INGIN HAL SEPERTI INI TERJADI!!"
Pertengkaran hebat pun tidak terhindarkan."Apa ... ???"
Mas Erik menyentuh perut Kenny.
Tidak ada pergerakan nafas di perutnya.
Jari mas Erik bergerak dengan lembut ke hidung Kenny, tidak terasa nafasnya.
Mas Erik menggendong Kenny. Sekujur tubuhnya sangat dingin seperti boneka keramik terpapar udara dingin AC.
"Dia ... dia ... Kenny tidak bernafas!"
Tidak percaya dengan ucapannya aku menggengam kaki kecil Kenny lanjut menyentuh pipinya.
"Ini tidak mungkin ... KENAPA ... ?"
"KENAPA KENNY TIDAK BERGERAK ... ?!?!"
Para baby sitter mengetuk pintu.
Mas Erik membawa anak kami yang tidak bernyawa ke rumah sakit.
Namun itu tindakan yang salah, sebab hati kami semakin hancur saat dokter memastikan kematiannya.
Linda, Erik, Jena, Revan, Cindy, semuanya sangat syok.
"Bapak, ibu, yang sabar ya. Anak kalian mengisap penyakit RSV. Penyakit itu disebabkan infeksi virus pada paru-paru dan saluran pernapasan. Penyakit ini sering terjadi pada bayi prematur."
Mulutku terkunci, air mataku jatuh dengan deras, hatiku sangat hancur.
Mas Erik berteriak. "MUSTAHIL! DIA TIDAK DEMAM ATAUPUN BATUK! DIA TIDAK TERKENA BRONKITIS ATAUPUN PNEUMONIA! KENAPA DIA PERGI?!?!"
Dokter menjawab dengan tenang. "Bapak yang sabar ya. Saya rasa anak bapak sempat mengalami demam dan batuk, sebelum berpulang."
Aku syok berat mendengar pernyataan si dokter. Tadi malam Kenny ada di sampingku, bagaimana bisa aku tidak terbangun saat anakku kesakitan.
"Benarkah itu dokter? Cucu saya sempat memunculkan tanda-tanda?" Tanya Cindy.
"Saya sudah bekerja sebagai dokter selama 37 tahun. Saya sangat yakin cucu anda mengalami gejala tersebut sebelumnya."
Jena, Cindy, dan Revan memandang aku dan mas Erik.
Ekspresiku menjadi tidak terkendali. Hal terakhir yang aku lihat sebelum pingsan adalah mas Erik yang menarik rambutnya.
Anakku telah meninggal. Ini salahku yang membuatnya terlahir prematur.
Entah berapa lama aku pingsan. Aku bermimpi bertemu arwah anakku, dia tidak bicara dan umurnya sedikit lebih tua. Dia bukan lagi seorang bayi melainkan balita.
Kenny, maafkan ibu. Kalau saja kamu tidur bersama baby sitter mungkin kamu masih bisa diselamatkan.
Arwah Kenny saat balita sangat mirip dengan foto mas Erik saat masih kecil.
Arwah Kenny tersenyum kemudian sirna bersama hembusan angin yang sangat kencang. Menyapu wajahku dengan kuat hingga aku terbangun di dunia nyata.
Tampak kamar kami sangat berantakan. Perabotan yang tersusun rapi kini berserakan dimana-mana. Cermin yang aku gunakan untuk make up pecah berkeping-keping. Koleksi botol anggur mas Erik banyak yang pecah.
Apa yang terjadi disini? Kamar ini seperti kapal pecah.
Perlahan aku bangkit dari tempat tidur yang entah mengapa terasa sangat tidak nyaman. Lalu aku sadar ada tumpahan anggur di selimutku.
"Kamu sudah bangun?"
Langsung aku menoleh ke arah sumber suara. Mas Erik terduduk di ujung ruangan dekat jendela. Perutnya tampak mengeluarkan darah.
Mas Erik menjelaskan semua yang telah terjadi selama aku pingsan.
Anak kami telah tiada.
Mayatnya ditinggal untuk diotopsi agar ketahuan penyebab kematiannya yang sebenarnya.
Ibu Cindy sangat murka, tapi kemurkaannya kalah oleh Erik.
Jena menangis histeris dan mengurung diri di kamar. Dia berteriak berkali-kali, mengungkapkan penyesalannya yang tidak sempat menggendong Kenny.
Ayah Revan menenangkan ibu Cindy. Matanya bagaikan ikan mati saat memeluk istrinya. Ayah Revan memendam kesedihannya agar keluarganya tidak semakin depresi. Itulah tugas kepala keluarga. Ketegaran Revan patut dipuji.
Sementara ayah dan ibu Linda, Bagas dan Sara, sedang dalam perjalanan.
Linda menggulung tubuhnya dengan selimut kemudian duduk di samping Erik.
Dengan lirih Linda berkata. "Maafkan aku mas, ini salahku yang tidur terlalu nyenyak."
"Aku sama sekali tidak menyadari keadaan anak kita. Yang aku pikirkan dan mimpikan malam itu hanya kebahagiaan yang akan kuraih dengan kalian berdua di sisiku."
Mas Erik tidak merespon ucapanku. Dia menyandarkan kepalanya di bahuku sebentar lalu ke luar kamar tanpa mengatakan apapun.
•
•
•
•
Hasil otopsi membenarkan dugaan dokter sebelumnya.
Kenny dimakamkan di rumah peristirahatan. Keterbatasan lahan di kota ini memaksa kami untuk menggunakan sistem pemakaman yang berbeda.
Mula-mula mayat dibungkus dengan kain putih, lalu diletakkan di atas meja batu cekung setinggi 40 sentimeter.
Selanjutnya, mayat ditimbun dengan tanah campuran semen yang lembut.
Meskipun aneh tapi prosedur pemakaman inilah yang tersedia di zaman sekarang. Di tengah menipisnya lahan tanah. Di tengah gempuran revolusi konstruksi yang menutupi setiap inci daratan.
Terakhir batu nisan dipasang di kepala Kenny. Melihat nama Kenny Holmes Bayroad di batu nisan itu membuatku banjir air mata.
Aku meletakkan bunga di atas makamnya lalu kupeluk dia.
Ayah berusaha menarikku dari kuburan anakku. Hati ini terasa tidak rela. Tapi siapa yang bisa disalahkan atas kematiannya?
Suasana rumah menjadi sangat sepi. Tidak ada yang bersuara di ruang tamu rumah besar itu, bahkan pembantu yang sedang menyapu bekerja lebih pelan, takut memecah keheningan yang kami ciptakan.
Semua orang berkabung. Aku tidak pernah menyangka akan melihat hal seperti ini di keluarga Bayroad.
Aku tidak pernah menyangka akan kehilangan anak pertamaku. Berbeda dengan anggota keluarga Bayroad lainnya, aku bisa bangkit dari kesedihan dengan cepat. Mungkin karena aku sering mengalami situasi yang mirip.
Meskipun begitu aku tidak berani memecahkan keheningan yang menyelimuti.
Harapan satu-satunya adalah ayah Revan. Dia orang tua bijak yang sangat menyayangi keluarga. Dia selalu jadi yang pertama berbicara saat mental kami tengah kacau balau.
Contohnya, saat aku hamil 4 bulan, Jena tertipu investasi bodong sebesar 20 juta rupiah.
Bu Cindy marah besar saat itu. Mas Erik melarangku membantu Jena karena dia sepemikiran dengan ibunya.
Lalu ayah Revan datang dan langsung menenangkan istrinya. Jena langsung disuruh meminta maaf ke anggota keluarga dan keluarga kami pun kembali harmonis.
Harapanku tidak terwujud.
Jena berkata. "Aku lelah. Selamat malam." Lalu bertolak ke kamarnya.
Ibu Cindy beranjak dari tempat duduknya. Tanpa mengatakan apapun, dia naik tangga ke kamarnya.
Ayah Revan mengikutinya. Bedanya ayah Revan mau berbicara pada kami sebelum pergi.
"Ayah akan pergi menenangkan ibumu. Erik, kamu temui Jena. Linda bisa ke kamar sendirian karena dia sudah berdamai dengan situasi ini."
"Bagaimana ayah tahu?" Tanyaku terbata-bata.
"Aku memperhatikan sorot matamu."
Ayah Revan adalah mantan detektif di kepolisian. Jadi jangan heran kalau pengamatannya sangat tajam.
Mas Erik mencengkeram tanganku, kemudian menggendongku seperti pengantin ke kamar dan melemparku ke ranjang seperti guling.
Saat aku menatap mata mas Erik muncul perasaan yang membuatku bernostalgia.
Rasa takut terhadap sorot mata tajam mas Erik.
Kekecewaan mengubah sifatnya kembali seperti dulu. Seperti saat kami masih dalam fase pernikahan kontrak.
Secara terang-terangan dia menyalahkanku atas kematian Kenny.
"KALAU KAMU TIDAK BERSIKERAS MEMBAWA KENNY KE KAMAR KITA, DIA TIDAK AKAN KEHILANGAN NYAWA!!!!"
"KOK KAMU BEGITU SIH MAS?! AKU JUGA TIDAK INGIN HAL SEPERTI INI TERJADI!!"
Pertengkaran hebat pun tidak terhindarkan.
