Bab 10. Awal Baru
Jual beli kata-kata kejam terjadi.
Aku berusaha menahan diri agar tidak menyalahkan mas Erik. Bagaimana pun memang aku yang salah tidak bisa menjaga anak.
Mas Erik pun mulai main tangan. Dia menampar pipiku dengan cukup kuat. Namun segera setelah menampar mas Erik merasakan sakit di tangan kirinya.
Luka tembakan berdenyut sangat hebat. Rasa sakitnya kembali seakan tragedi penembakan itu diputar ulang.
Namun Erik dengan jiwa berapinya justru semakin murka pada dirinya sendiri.
"AHH SIALAN ... !!!"
"Pertama gagal menangkap ter*ris, kedua gagal menjaga anak!"
"KENAPA AKU JADI SEMENYEDIHKAN INI?!?! "
Aku berusaha menenangkan mas Erik, namun dia menolak sentuhanku. Mas Erik semakin jadi dengan menyebutku biang kelemahannya.
"Aku mengeti sekarang. Kehadiranmu membuatku lemah."
"Rasa cinta membuatku lunak. Seharusnya sejak awal aku mengasingkan Rudi! Karena dialah kamu melahirkan prematur, karena dialah anak kita terkena RSV!"
"Akan kubunuh dia bagaimana pun caranya!!"
"JANGAN MAS! NANTI KAMU DIPENJARA!"
Mendengar peringatanku mas Erik malah tertawa.
Dia masih tertawa terbahak-bahak seperti ...
"Aku tidak gila, Linda."
"Aku akan membunuhnya tanpa diketahui oleh aparat publik. Semua anggota detektif Bayroad setia padaku."
Mas Erik mendorongku sampai terjatuh kemudian memegang bahuku dengan kuat. Rasanya sakit sekali, kapan dia akan melepaskan bahuku?
"Anak pertama kita mati karena ulahmu! Camkan itu!!"
Sungguh fitnah yang kejam.
"Aku ibunya, mana mungkin aku melakukan pembunuhan berencana padanya?"
"Kematian Kenny sudah ditentukan oleh tuhan. Kita sebagai orang tua hanya bisa mendoakan yang terbaik untuknya."
"Apa kamu tidak lelah mengamuk terus?"
Sontak pegangan mas Erik terlepas.
Dia duduk menghadapku. Sorot matanya tampak mati dan dia tidak lagi menatapku.
Dia terus mengoceh ingin membunuh Rudi. Apapun yang aku katakan setelahnya tidak didengar olehnya.
Mas Erik berakhir istirahat di lantai karena terlalu malas bangun.
Karena tidak tega melihatnya, aku pun ikut tidur di lantai.
Tidak ada rasa takut di hatiku setelah melihat wajah pucat mas Erik.
Sejak hari pemakaman yang suram itu, sifat mas Erik tidak lagi sama. Dia kembali seperti dulu namun lebih kejam dan bengis.
Setiap malam dia menggauliku dengan kasar. Rutinitas ini dimulai 2 bulan setelah kematian anak pertama kami Kenny.
Tidak cukup bermain kasar saat malam, mas Erik juga sering memarahiku jika aku terlambat menjawab panggilannya. Meskipun suaranya tidak terdengar langsung tapi hatiku tetap sakit mendengarnya.
Titik penderitaanku terjadi saat malam hari. Mas Erik menggauliku seperti binatang. Hadiah-hadiah kecil yang dia berikan dengan penuh cinta dia ubah menjadi alat-alat kontrasepsi.
Contohnya pita merah yang dia berikan pertama kali, kini menjadi tali yang mengikat tangan dan kakiku.
Ini tidak nikmat lagi. Ini menyakitkan!
Saat aku tanpa sadar mengatakan 'sakit' mas Erik berhenti sejenak. Tidak lama kemudian dia kembali memainkan tubuhku dengan kasar seperti memerah pakaian basah.
Hanya cinta dan perasaan bersalah yang membuatku tetap kuat berdiri di sampingnya.
"Linda, sekarang kamu pilihlah. Ingin melahirkan anak kedua untukku atau keluar dari rumah ini?"
Dengan tenang aku menjawab. "Tentu saja aku pilih melahirkan anakmu. Aku ini istrimu."
Plak!
Tamparan yang sangat keras mendarat di pipiku, seketika membangunkanku dari mimpi buruk yang panjang.
Semua kengerian itu, semua kekejaman yang mas Erik lakukan selama 2 bulan, semuanya hanya mimpi. Kenyataannya belum berlalu satu hari pun sejak pemakaman Kenny.
Aku masih berada di lantai, biasanya mas Erik akan menggendongku ke ranjang jika aku tertidur di sofa depan.
Kulihat mas Erik sedang menyantap roti lapis di pojok ruangan.
Ini masih pukul 11 malam. Aku baru tidur selama 2 jam.
Takut mimpi buruk yang kulihat menjadi nyata, aku langsung bersujud ke mas Erik.
Air mata tidak terbendung lagi.
"Maafkan aku mas. Semua ini salahku, anak kita meninggal karena kesalahanku,"
"Kamu boleh menghukumku, tapi setidaknya maafkan aku,"
Remah roti jatuh ke kepalaku.
Mas Erik meletakkan rotinya di atas rambutku.
Ekspresi tampak lebih baik dari beberapa jam yang lalu.
Dengan sedikit senyum mas Erik berkata. "Jangan berisik, aku sedang sakit kepala."
Aku langsung membersihkan air mata dan make up ku yang luntur terbawa air mataku.
Cermin besar itu masih bisa digunakan. Kuusap wajahku yang mengerikan hingga make up bersih. Kemudian bergegas membersihkan kamar kami atas perintah mas Erik.
"Jangan tersinggung Linda. Aku hanya ingin melihat kemampuanmu dalam membersihkan kamar. Apakah lebih cepat dari Jena?"
"Baik mas."
Pekerjaanku selesai saat jam setengah 1.
Rasanya lelah sekali.
Berbaring di pulau kapuk setelah bekerja keras sangat nikmat. Entah kenapa perasaanku jadi lebih baik setelah diperintah ini itu oleh mas Erik.
Mas Erik pun berbaring di sampingku. Dia tidak mau menatapku yang berada di sampingnya tapi aku bisa melihat sorot matanya yang tidak lagi setajam sebelumnya.
Sekali lagi aku meminta maaf padanya.
"Maaf mas,"
"Aku bilang jangan berisik!" Mas Erik membentakku.
Sepertinya menutup mulut akan membantuku melewati malam dengan tenang.
Keesokan harinya, Jena datang ke kamarku dan mas Erik untuk menyerahkan bingkisan dari Kirishima.
Bingkisan itu berisi foto anak kami saat baru lahir. Di belakang lembar foto Kirishima menulis permintaan maafnya karena memotret aku dan Kenny tanpa izin.
Mas Erik nampak sangat senang karena di akhir pesan itu tertulis kode yang hanya bisa diartikan oleh detektif Bayroad.
Dengan wajah berseri mas Erik berkata kalau dia punya kekebalan hukum.
"Kekebalan hukum untuk melakukan apa?"
"Membunuh Rudi Widjaya."
Dalam mimpiku mas Erik mengamuk sangat mengerikan saat aku terus menerus menghalangi jalannya.
Mimpi itu berpengaruh kuat pada psikologis-ku, menumbuhkan ketakutanku kembali.
Mas Erik tidak bisa dihentikan kali ini. Asalkan dia tidak melibatkanku dalam kasus pembunuhan itu, aku tidak peduli.
Kami pergi ke ruang tamu untuk sarapan. Ketika aku tidak menemukan Tari di ruang keluarga, hatiku langsung gelisah.
Pembantu lain menjelaskan kalau Tari demam tinggi sejak hari kemarin Kenny. Pembantu itu juga bilang kalau Tari sempat tidak berani keluar kamar karena takut disalahkan atas kematian Kenny.
Mas Erik memintaku fokus sarapan, jangan sampai menelan tulang ikan yang tajam.
Setelah makan aku memberikan obat yang tersimpan di kotak P3K untuk membantu kesembuhan Tari.
Akhirnya Tari sembuh dan bisa bekerja lagi. Aku sampai turun tangan langsung untuk menenangkannya.
"Jangan sedih lagi, ketiadaan kamu membuatku kesepian." Ucapku dengan Tari di pelukanku.
Mas Erik dan aku bekerja sama untuk mengobati depresi anggota keluarga. Dimulai dari Tari, kemudian Jena, ibu Cindy, ibu Sara, terakhir ayah Bagas dan ayah Revan.
Akhirnya keluarga ini bisa menerima kepergian Kenny dengan baik.
Setelah sekian lama mas Erik bicara denganku lagi.Jual beli kata-kata kejam terjadi.
Aku berusaha menahan diri agar tidak menyalahkan mas Erik. Bagaimana pun memang aku yang salah tidak bisa menjaga anak.
Mas Erik pun mulai main tangan. Dia menampar pipiku dengan cukup kuat. Namun segera setelah menampar mas Erik merasakan sakit di tangan kirinya.
Luka tembakan berdenyut sangat hebat. Rasa sakitnya kembali seakan tragedi penembakan itu diputar ulang.
Namun Erik dengan jiwa berapinya justru semakin murka pada dirinya sendiri.
"AHH SIALAN ... !!!"
"Pertama gagal menangkap ter*ris, kedua gagal menjaga anak!"
"KENAPA AKU JADI SEMENYEDIHKAN INI?!?! "
Aku berusaha menenangkan mas Erik, namun dia menolak sentuhanku. Mas Erik semakin jadi dengan menyebutku biang kelemahannya.
"Aku mengeti sekarang. Kehadiranmu membuatku lemah."
"Rasa cinta membuatku lunak. Seharusnya sejak awal aku mengasingkan Rudi! Karena dialah kamu melahirkan prematur, karena dialah anak kita terkena RSV!"
"Akan kubunuh dia bagaimana pun caranya!!"
"JANGAN MAS! NANTI KAMU DIPENJARA!"
Mendengar peringatanku mas Erik malah tertawa.
Dia masih tertawa terbahak-bahak seperti ...
"Aku tidak gila, Linda."
"Aku akan membunuhnya tanpa diketahui oleh aparat publik. Semua anggota detektif Bayroad setia padaku."
Mas Erik mendorongku sampai terjatuh kemudian memegang bahuku dengan kuat. Rasanya sakit sekali, kapan dia akan melepaskan bahuku?
"Anak pertama kita mati karena ulahmu! Camkan itu!!"
Sungguh fitnah yang kejam.
"Aku ibunya, mana mungkin aku melakukan pembunuhan berencana padanya?"
"Kematian Kenny sudah ditentukan oleh tuhan. Kita sebagai orang tua hanya bisa mendoakan yang terbaik untuknya."
"Apa kamu tidak lelah mengamuk terus?"
Sontak pegangan mas Erik terlepas.
Dia duduk menghadapku. Sorot matanya tampak mati dan dia tidak lagi menatapku.
Dia terus mengoceh ingin membunuh Rudi. Apapun yang aku katakan setelahnya tidak didengar olehnya.
Mas Erik berakhir istirahat di lantai karena terlalu malas bangun.
Karena tidak tega melihatnya, aku pun ikut tidur di lantai.
Tidak ada rasa takut di hatiku setelah melihat wajah pucat mas Erik.
Sejak hari pemakaman yang suram itu, sifat mas Erik tidak lagi sama. Dia kembali seperti dulu namun lebih kejam dan bengis.
Setiap malam dia menggauliku dengan kasar. Rutinitas ini dimulai 2 bulan setelah kematian anak pertama kami Kenny.
Tidak cukup bermain kasar saat malam, mas Erik juga sering memarahiku jika aku terlambat menjawab panggilannya. Meskipun suaranya tidak terdengar langsung tapi hatiku tetap sakit mendengarnya.
Titik penderitaanku terjadi saat malam hari. Mas Erik menggauliku seperti binatang. Hadiah-hadiah kecil yang dia berikan dengan penuh cinta dia ubah menjadi alat-alat kontrasepsi.
Contohnya pita merah yang dia berikan pertama kali, kini menjadi tali yang mengikat tangan dan kakiku.
Ini tidak nikmat lagi. Ini menyakitkan!
Saat aku tanpa sadar mengatakan 'sakit' mas Erik berhenti sejenak. Tidak lama kemudian dia kembali memainkan tubuhku dengan kasar seperti memerah pakaian basah.
Hanya cinta dan perasaan bersalah yang membuatku tetap kuat berdiri di sampingnya.
"Linda, sekarang kamu pilihlah. Ingin melahirkan anak kedua untukku atau keluar dari rumah ini?"
Dengan tenang aku menjawab. "Tentu saja aku pilih melahirkan anakmu. Aku ini istrimu."
Plak!
Tamparan yang sangat keras mendarat di pipiku, seketika membangunkanku dari mimpi buruk yang panjang.
Semua kengerian itu, semua kekejaman yang mas Erik lakukan selama 2 bulan, semuanya hanya mimpi. Kenyataannya belum berlalu satu hari pun sejak pemakaman Kenny.
Aku masih berada di lantai, biasanya mas Erik akan menggendongku ke ranjang jika aku tertidur di sofa depan.
Kulihat mas Erik sedang menyantap roti lapis di pojok ruangan.
Ini masih pukul 11 malam. Aku baru tidur selama 2 jam.
Takut mimpi buruk yang kulihat menjadi nyata, aku langsung bersujud ke mas Erik.
Air mata tidak terbendung lagi.
"Maafkan aku mas. Semua ini salahku, anak kita meninggal karena kesalahanku,"
"Kamu boleh menghukumku, tapi setidaknya maafkan aku,"
Remah roti jatuh ke kepalaku.
Mas Erik meletakkan rotinya di atas rambutku.
Ekspresi tampak lebih baik dari beberapa jam yang lalu.
Dengan sedikit senyum mas Erik berkata. "Jangan berisik, aku sedang sakit kepala."
Aku langsung membersihkan air mata dan make up ku yang luntur terbawa air mataku.
Cermin besar itu masih bisa digunakan. Kuusap wajahku yang mengerikan hingga make up bersih. Kemudian bergegas membersihkan kamar kami atas perintah mas Erik.
"Jangan tersinggung Linda. Aku hanya ingin melihat kemampuanmu dalam membersihkan kamar. Apakah lebih cepat dari Jena?"
"Baik mas."
Pekerjaanku selesai saat jam setengah 1.
Rasanya lelah sekali.
Berbaring di pulau kapuk setelah bekerja keras sangat nikmat. Entah kenapa perasaanku jadi lebih baik setelah diperintah ini itu oleh mas Erik.
Mas Erik pun berbaring di sampingku. Dia tidak mau menatapku yang berada di sampingnya tapi aku bisa melihat sorot matanya yang tidak lagi setajam sebelumnya.
Sekali lagi aku meminta maaf padanya.
"Maaf mas,"
"Aku bilang jangan berisik!" Mas Erik membentakku.
Sepertinya menutup mulut akan membantuku melewati malam dengan tenang.
Keesokan harinya, Jena datang ke kamarku dan mas Erik untuk menyerahkan bingkisan dari Kirishima.
Bingkisan itu berisi foto anak kami saat baru lahir. Di belakang lembar foto Kirishima menulis permintaan maafnya karena memotret aku dan Kenny tanpa izin.
Mas Erik nampak sangat senang karena di akhir pesan itu tertulis kode yang hanya bisa diartikan oleh detektif Bayroad.
Dengan wajah berseri mas Erik berkata kalau dia punya kekebalan hukum.
"Kekebalan hukum untuk melakukan apa?"
"Membunuh Rudi Widjaya."
Dalam mimpiku mas Erik mengamuk sangat mengerikan saat aku terus menerus menghalangi jalannya.
Mimpi itu berpengaruh kuat pada psikologis-ku, menumbuhkan ketakutanku kembali.
Mas Erik tidak bisa dihentikan kali ini. Asalkan dia tidak melibatkanku dalam kasus pembunuhan itu, aku tidak peduli.
Kami pergi ke ruang tamu untuk sarapan. Ketika aku tidak menemukan Tari di ruang keluarga, hatiku langsung gelisah.
Pembantu lain menjelaskan kalau Tari demam tinggi sejak hari kemarin Kenny. Pembantu itu juga bilang kalau Tari sempat tidak berani keluar kamar karena takut disalahkan atas kematian Kenny.
Mas Erik memintaku fokus sarapan, jangan sampai menelan tulang ikan yang tajam.
Setelah makan aku memberikan obat yang tersimpan di kotak P3K untuk membantu kesembuhan Tari.
Akhirnya Tari sembuh dan bisa bekerja lagi. Aku sampai turun tangan langsung untuk menenangkannya.
"Jangan sedih lagi, ketiadaan kamu membuatku kesepian." Ucapku dengan Tari di pelukanku.
Mas Erik dan aku bekerja sama untuk mengobati depresi anggota keluarga. Dimulai dari Tari, kemudian Jena, ibu Cindy, ibu Sara, terakhir ayah Bagas dan ayah Revan.
Akhirnya keluarga ini bisa menerima kepergian Kenny dengan baik.
Setelah sekian lama mas Erik bicara denganku lagi.
