Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 8. Kenny Holmes Bayroad

"Aku tidak akan menganggapnya teman lagi."

"Rudi adalah musuhku mulai hari ini!"

Terdengar sirene mobil polisi. Seorang detektif muda berkebangsaan jepang menolong berlari di lorong rumah sakit lalu menolong Tari yang terluka.

Detektif itu memperkenalkan diri sebagai Amano Kirishima, anak buah mas Erik.

"Pak Bayroad sedang mengejar penjahat. Jangan khawatirkan dia."

"Tapi dia terkena tembakan ... "

"Aku tahu itu, nyonya Bayroad. Aku melihatnya di kamera pengawas. Bahkan drone-ku sedang mengikuti mereka."

Kirishima menggendong Tari ke ranjang yang aku tempati sebelumnya. Sementara aku dipindahkan ke ruangan lain yang berdekatan.

Kirishima membuka laptopnya lalu menunjukkan siaran langsung kamera drone padaku.

Tampak Rudi sedang berlari tidak tentu arah di kawasan perumahan padat penduduk, atau yang biasa disebut kawasan kumuh.

Aku tidak suka menyebut 'kawasan kumuh' tapi tidak ada kalimat yang lebih menggambarkan.

Tiba-tiba perutku mengalami kontraksi. Rasanya bayi di dalam perutku telah jatuh ke lorong bawah. Sepertinya anak ini akan segera lahir prematur.

Bergegas kutarik lengan baju Kirishima yang duduk di sampingku. Dia kurang peka terhadap wajah kesakitan yang kutunjukkan sehingga tanpa sengaja aku berteriak kasar padanya.

"CEPAT PANGGIL DOKTER!!"

"Baik bu!"

Sementara aku mendorong bayi ini keluar, Kirishima menunggu di luar. Punggungnya yang tegap menutupi jendela pintu ruang bersalin. Kalau ada dia disana tampaknya tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Saat akhirnya terdengar suara tangisan bayi, semua stress dan ketakutan yang melanda pikiranku perlahan sirna.

Akhirnya malaikat kecil ini lahir. Dia sangat kecil, dokter menyebutnya bayi tampan karena berparas sangat mirip dengan ayahnya.

Walaupun mas Erik memarahi salah satu staf rumah sakit, para dokter dan perawat masih memberkati anak kami dengan kata-kata mulia.

Aku penasaran dengan pupil mata malaikat kecil ini. Apakah berwarna hitam sepertiku, atau coklat seperti ayahnya. Kami belum bisa melihatnya karena matanya masih tertutup.

Dokter bertanya siapa namanya, aku menjawab belum diputuskan.

Kirishima memotret bayiku dari jauh untuk dikirim ke mas Erik yang sedang bertugas.

"Nak, kamu sangat tampan seperti ayahmu. Ibu jadi bingung harus memberimu nama apa."

"Bagaimana kalau Erika?" Sahut Kirishima.

"Tidak bisa. Karena dia laki-laki."

Kirishima memalingkan wajahnya karena malu. Sambil tertawa Kirishima mengaku kalau dia tidak suka menguping pembicaraan orang di luar pekerjaan.

"Aku adalah hacker, tapi aku tidak semerta-merta mendengarkan pembicaraan orang lain." Terang Kirishima seraya berjalan mundur dan menundukkan kepala.

Revan Bayroad, ayah Erik datang setelah mendapat kabar buruk dari Kirishima. Dengan power of money beliau memindahkan kami ke rumah.

Lebih dari itu, beliau menyewa seluruh staf yang merawat Linda sebelumnya ke rumah mereka.

"Mulai hari ini kamu akan menjalani penyembuhan di rumah." Ucap ayah Revan yang baru selesai menelepon.

Ibu mertuaku melompat dari sofa kemudian memeluk badanku yang masih lemas di kursi roda.

Pelukannya menyakitkan tapi aku tidak mau mengganggu kebahagiaan bu Cindy. Dengan sisa tenaga aku balas memeluknya, kemudian kami berjalan ke kamar bersama-sama.

Anakku diletakkan di ujung ruangan yang paling hangat. Perawatannya dilakukan secara eksklusif mengikuti keinginan dari ayah dan ibu mas Erik.

"Ayah, ibu, kalian yakin semua barang itu diperlukan untuk anakku?"

Ayah dan ibu kompak mengangguk. Biarlah jika mereka pikir semua itu aman.

Tidak lama setelah aku keluar dari rumah sakit, sekitar 2 jam kemudian, mas Erik pulang ke rumah.

Aku yang melihat dari jendela syok saat melihat mas Erik berjalan sambil digotong dua orang.

Ingin rasanya berlari tapi kondisi tubuhku pasca melahirkan membuatku tidak dapat melakukan aktivitas sepele itu.

Mas Erik datang ke kamar kami. Dia nampak kesulitan berdiri namun memilih berjalan sendiri.

Aku bertanya kenapa dia memaksa berjalan tanpa digotong. Alasannya tidak mau terlihat lemah di depanku.

"Ya ampun mas, kamu tertembak dimana?"

"Di lengan kiri dan perut sebelah kiri. Pelurunya sedikit meleset jadi aku belum mati."

"Rudi Widjaya. Tidak aku sangka dia menjadi brutal karena patah hati."

"Aku juga akan menggila kalau kehilangan kamu." Mas Erik menyela.

Kalimat itu manis dan pahit bersamaan. Aku mengingatkan mas Erik kalau kalimat adalah doa.

Ngomong-ngomong soal doa, kami belum memberi dia nama.

Mas Erik menyarankan nama yang agak barat 'Holmes Bayroad'. Terinspirasi dari 'Sherlock Holmes' seorang detektif fiksi yang dia kagumi.

Dengan nama itu diharapkan Holmes akan menjadi detektif hebat seperti ayahnya.

Tapi tunggu dulu.

Aku punya nama versiku juga.

Kenny Bayroad. Itu akan melengkapi koleksi nama bersuku kata 'E' dalam keluarga ini, dan suku kata 'I' sepertiku dan Ibu Cindy.

Nama itu pun disetujui dengan tambahan Holmes di belakangnya. Jadilah nama anak kami "Kenny Holmes Bayroad.".

Malam itu mas Erik sedang mengobati dirinya sendiri. Kami juga sedang sibuk memikirkan desain kamar untuk Kenny.

Kali ini kubiarkan mas Erik yang menentukan semuanya.

Setelah menentukan desain kamar. Ruangan kantor mas Erik pun direnovasi jadi kamar untuk bayi. Kami menempatkan 5 baby sitter untuk menjaga Kenny, terutama saat aku masih butuh perawatan.

Ketika akan memandikan anakku untuk pertama kalinya, aku ragu dan takut. Karena aku takut pekerjaan itu diambil oleh baby sitter dan secara mengejutkan Tari pandai mengurus bayi.

"Anda belum sehat nyonya. Lebih baik anda pelajari cara memandikan bayi yang baik dan benar." Ucap salah satu baby sitter dengan lembut.

"Baik bu."

Kenny sangat tenang, dia jarang sekali menangis, padahal saat keluar dari perutku dia menangis cukup kencang.

Mas Erik menggerutu soal lukanya yang masih terasa sakit meskipun sudah meminum obat pereda sakit.

"Apa yang salah?"

Aku menggeleng karena memang tidak tahu apa yang harus dilakukan pada lukanya.

"Mungkin kamu harus ke rumah sakit?"

"Itu sudah kulakukan segera setelah tertembak. Apa ini efek dari stres yang kualami setelah gagal menangkap Rudi?"

Rudi melompat dari atas jembatan lalu mendarat di tong sampah. Tanpa diduga, di bawah tong sampah hijau besar itu ada lubang got yang dapat dimasuki.

Jalan rahasia yang hanya diketahui oleh para pembuat jalan dan tukang sampah itu diketahui juga oleh Rudi, membuat Erik berasumsi Rudi punya koneksi yang tidak bisa diremehkan.

Rudi yang berhasil kabur terus mengganggu pikiran mas Erik. Aku tidak bisa melakukan apapun dengan tubuhku yang sekarang. Setidaknya 3 minggu lagi aku harus berbaring di tempat tidur.

"Kapan kita bisa pergi liburan?" Tanya mas Erik.

Dengan kondisi mentalnya saat ini tidak heran kalau dia ingin liburan. Sebagai istri yang baik aku tidak boleh menolak keinginannya.

"Bagaimana kalau awal bulan berikutnya?"

"Apa kamu yakin sudah sembuh? Aku malah berencana pergi dua bulan lagi."

"Aku akan melakukan yang terbaik agar cepat sehat! Kamu siapkan saja jadwal liburannya!"

Mas Erik berkata sambil mengusap pelan rambutku. "Kita pergi dua bulan lagi. Kamu tidak perlu memaksakan diri untuk pulih bulan ini."

Terkadang aku merasa mas Erik tidak mempercayaiku.

Malam itu aku belum rela tidur berpisah dengan anakku, jadi mas Erik meletakkan anak kami di ranjang kecil di sebelah ranjang kami.

Ini sedikit memalukan. Mas Erik membuang selimutku dan memelukku sepanjang malam sebagai gantinya.

Hari ini adalah hari ke 4 anakku di dunia.

Namun,

Kami menemukannya tidak bernyawa di ranjang bayinya."Aku tidak akan menganggapnya teman lagi."

"Rudi adalah musuhku mulai hari ini!"

Terdengar sirene mobil polisi. Seorang detektif muda berkebangsaan jepang menolong berlari di lorong rumah sakit lalu menolong Tari yang terluka.

Detektif itu memperkenalkan diri sebagai Amano Kirishima, anak buah mas Erik.

"Pak Bayroad sedang mengejar penjahat. Jangan khawatirkan dia."

"Tapi dia terkena tembakan ... "

"Aku tahu itu, nyonya Bayroad. Aku melihatnya di kamera pengawas. Bahkan drone-ku sedang mengikuti mereka."

Kirishima menggendong Tari ke ranjang yang aku tempati sebelumnya. Sementara aku dipindahkan ke ruangan lain yang berdekatan.

Kirishima membuka laptopnya lalu menunjukkan siaran langsung kamera drone padaku.

Tampak Rudi sedang berlari tidak tentu arah di kawasan perumahan padat penduduk, atau yang biasa disebut kawasan kumuh.

Aku tidak suka menyebut 'kawasan kumuh' tapi tidak ada kalimat yang lebih menggambarkan.

Tiba-tiba perutku mengalami kontraksi. Rasanya bayi di dalam perutku telah jatuh ke lorong bawah. Sepertinya anak ini akan segera lahir prematur.

Bergegas kutarik lengan baju Kirishima yang duduk di sampingku. Dia kurang peka terhadap wajah kesakitan yang kutunjukkan sehingga tanpa sengaja aku berteriak kasar padanya.

"CEPAT PANGGIL DOKTER!!"

"Baik bu!"

Sementara aku mendorong bayi ini keluar, Kirishima menunggu di luar. Punggungnya yang tegap menutupi jendela pintu ruang bersalin. Kalau ada dia disana tampaknya tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Saat akhirnya terdengar suara tangisan bayi, semua stress dan ketakutan yang melanda pikiranku perlahan sirna.

Akhirnya malaikat kecil ini lahir. Dia sangat kecil, dokter menyebutnya bayi tampan karena berparas sangat mirip dengan ayahnya.

Walaupun mas Erik memarahi salah satu staf rumah sakit, para dokter dan perawat masih memberkati anak kami dengan kata-kata mulia.

Aku penasaran dengan pupil mata malaikat kecil ini. Apakah berwarna hitam sepertiku, atau coklat seperti ayahnya. Kami belum bisa melihatnya karena matanya masih tertutup.

Dokter bertanya siapa namanya, aku menjawab belum diputuskan.

Kirishima memotret bayiku dari jauh untuk dikirim ke mas Erik yang sedang bertugas.

"Nak, kamu sangat tampan seperti ayahmu. Ibu jadi bingung harus memberimu nama apa."

"Bagaimana kalau Erika?" Sahut Kirishima.

"Tidak bisa. Karena dia laki-laki."

Kirishima memalingkan wajahnya karena malu. Sambil tertawa Kirishima mengaku kalau dia tidak suka menguping pembicaraan orang di luar pekerjaan.

"Aku adalah hacker, tapi aku tidak semerta-merta mendengarkan pembicaraan orang lain." Terang Kirishima seraya berjalan mundur dan menundukkan kepala.

Revan Bayroad, ayah Erik datang setelah mendapat kabar buruk dari Kirishima. Dengan power of money beliau memindahkan kami ke rumah.

Lebih dari itu, beliau menyewa seluruh staf yang merawat Linda sebelumnya ke rumah mereka.

"Mulai hari ini kamu akan menjalani penyembuhan di rumah." Ucap ayah Revan yang baru selesai menelepon.

Ibu mertuaku melompat dari sofa kemudian memeluk badanku yang masih lemas di kursi roda.

Pelukannya menyakitkan tapi aku tidak mau mengganggu kebahagiaan bu Cindy. Dengan sisa tenaga aku balas memeluknya, kemudian kami berjalan ke kamar bersama-sama.

Anakku diletakkan di ujung ruangan yang paling hangat. Perawatannya dilakukan secara eksklusif mengikuti keinginan dari ayah dan ibu mas Erik.

"Ayah, ibu, kalian yakin semua barang itu diperlukan untuk anakku?"

Ayah dan ibu kompak mengangguk. Biarlah jika mereka pikir semua itu aman.

Tidak lama setelah aku keluar dari rumah sakit, sekitar 2 jam kemudian, mas Erik pulang ke rumah.

Aku yang melihat dari jendela syok saat melihat mas Erik berjalan sambil digotong dua orang.

Ingin rasanya berlari tapi kondisi tubuhku pasca melahirkan membuatku tidak dapat melakukan aktivitas sepele itu.

Mas Erik datang ke kamar kami. Dia nampak kesulitan berdiri namun memilih berjalan sendiri.

Aku bertanya kenapa dia memaksa berjalan tanpa digotong. Alasannya tidak mau terlihat lemah di depanku.

"Ya ampun mas, kamu tertembak dimana?"

"Di lengan kiri dan perut sebelah kiri. Pelurunya sedikit meleset jadi aku belum mati."

"Rudi Widjaya. Tidak aku sangka dia menjadi brutal karena patah hati."

"Aku juga akan menggila kalau kehilangan kamu." Mas Erik menyela.

Kalimat itu manis dan pahit bersamaan. Aku mengingatkan mas Erik kalau kalimat adalah doa.

Ngomong-ngomong soal doa, kami belum memberi dia nama.

Mas Erik menyarankan nama yang agak barat 'Holmes Bayroad'. Terinspirasi dari 'Sherlock Holmes' seorang detektif fiksi yang dia kagumi.

Dengan nama itu diharapkan Holmes akan menjadi detektif hebat seperti ayahnya.

Tapi tunggu dulu.

Aku punya nama versiku juga.

Kenny Bayroad. Itu akan melengkapi koleksi nama bersuku kata 'E' dalam keluarga ini, dan suku kata 'I' sepertiku dan Ibu Cindy.

Nama itu pun disetujui dengan tambahan Holmes di belakangnya. Jadilah nama anak kami "Kenny Holmes Bayroad.".

Malam itu mas Erik sedang mengobati dirinya sendiri. Kami juga sedang sibuk memikirkan desain kamar untuk Kenny.

Kali ini kubiarkan mas Erik yang menentukan semuanya.

Setelah menentukan desain kamar. Ruangan kantor mas Erik pun direnovasi jadi kamar untuk bayi. Kami menempatkan 5 baby sitter untuk menjaga Kenny, terutama saat aku masih butuh perawatan.

Ketika akan memandikan anakku untuk pertama kalinya, aku ragu dan takut. Karena aku takut pekerjaan itu diambil oleh baby sitter dan secara mengejutkan Tari pandai mengurus bayi.

"Anda belum sehat nyonya. Lebih baik anda pelajari cara memandikan bayi yang baik dan benar." Ucap salah satu baby sitter dengan lembut.

"Baik bu."

Kenny sangat tenang, dia jarang sekali menangis, padahal saat keluar dari perutku dia menangis cukup kencang.

Mas Erik menggerutu soal lukanya yang masih terasa sakit meskipun sudah meminum obat pereda sakit.

"Apa yang salah?"

Aku menggeleng karena memang tidak tahu apa yang harus dilakukan pada lukanya.

"Mungkin kamu harus ke rumah sakit?"

"Itu sudah kulakukan segera setelah tertembak. Apa ini efek dari stres yang kualami setelah gagal menangkap Rudi?"

Rudi melompat dari atas jembatan lalu mendarat di tong sampah. Tanpa diduga, di bawah tong sampah hijau besar itu ada lubang got yang dapat dimasuki.

Jalan rahasia yang hanya diketahui oleh para pembuat jalan dan tukang sampah itu diketahui juga oleh Rudi, membuat Erik berasumsi Rudi punya koneksi yang tidak bisa diremehkan.

Rudi yang berhasil kabur terus mengganggu pikiran mas Erik. Aku tidak bisa melakukan apapun dengan tubuhku yang sekarang. Setidaknya 3 minggu lagi aku harus berbaring di tempat tidur.

"Kapan kita bisa pergi liburan?" Tanya mas Erik.

Dengan kondisi mentalnya saat ini tidak heran kalau dia ingin liburan. Sebagai istri yang baik aku tidak boleh menolak keinginannya.

"Bagaimana kalau awal bulan berikutnya?"

"Apa kamu yakin sudah sembuh? Aku malah berencana pergi dua bulan lagi."

"Aku akan melakukan yang terbaik agar cepat sehat! Kamu siapkan saja jadwal liburannya!"

Mas Erik berkata sambil mengusap pelan rambutku. "Kita pergi dua bulan lagi. Kamu tidak perlu memaksakan diri untuk pulih bulan ini."

Terkadang aku merasa mas Erik tidak mempercayaiku.

Malam itu aku belum rela tidur berpisah dengan anakku, jadi mas Erik meletakkan anak kami di ranjang kecil di sebelah ranjang kami.

Ini sedikit memalukan. Mas Erik membuang selimutku dan memelukku sepanjang malam sebagai gantinya.

Hari ini adalah hari ke 4 anakku di dunia.

Namun,

Kami menemukannya tidak bernyawa di ranjang bayinya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel