Bab 7. Mantan Gila
"Bertahanlah kakak! Jangan sampai keponakanku yang ada di dalam situ kesakitan!" Seru Jena padaku yang pucat.
Aku menjelaskan pada Jena kalau bayi kami akan baik-baik saja.
Aku tidak berani mengatakan hal yang buruk. Lagipula ini hanya demam biasa yang diperkuat oleh syok bumil muda. Ini bukan karangan tapi murni penjelasan dokter.
"Maaf Jena tidak bisa menjaga kakak semalaman. Sebagai gantinya mbak Tari akan merawat mbak."
"Iya, terima kasih Jena. Besok kamu kuliah."
Di tempat lain, Erik sedang mengawasi Rudi melalui cctv.
Ingat perintahnya pada Kirishima beberapa bulan yang lalu? Tidak sedetik pun kantor detektif Bayroad melepaskan pandangan dari Rudi.
Berita menghilangnya Rudi kemarin bukan hoax. Dia memang sempat menghilang sebelum ditemukan 2 hari kemudian oleh kamera tersembunyi yang dipasang oleh anak buah detektif Kirishima.
Itu artinya penyamaran yang Rudi lakukan tempo hari juga diketahui oleh mereka.
Selama Linda bicara dengan Rudi yang menyamar jadi tukang ledeng, Erik memasang knuckle di tangannya. Menunggu di bilik kamar mandi yang bersebelahan dengan dapur.
Walaupun akhirnya Erik kecewa karena Rudi tidak menunjukkan taring ganasnya.
"Rudi Widjaya. Orang itu menyusup ke rumahku dan bicara pada istriku tanpa izin. Kali ini aku benar-benar akan menghabisinya."
"Kirishima, temukan Rudi Widjaya!"
Detektif Kirishima membuang permen karet di mulutnya lalu mulai mengoperasikan komputer besar dengan puluhan layar monitor.
Puluhan kamera tersembunyi yang mereka pasang di setiap sudut kota dapat menemukan apapun, mirip 'God Eye' dalam film Fast & Furious.
Rudi sedang berada di jalan mengendarai mobil van hitam.
Kirishima menjelaskan kalau mobil itu Rudi pinjam dari bosnya. Tampaknya dia sedang menuju ke luar kota.
"Maaf aku tidak tahu tujuannya."
"Terus ikuti dia. Penjahat ini pasti akan melakukan hal aneh lagi, dan jika dia menyusup ke rumahku lagi, jangan segan untuk memberitahuku."
"Siap bos! Kau sangat lembut pada orang ini."
"Apa?" Ocehan Kirishima menarik perhatian Erik.
"Biasanya kau akan mematahkan beberapa tulang musuhku. Lalu kenapa Rudi Widjaya masih baik-baik saja? Apa kau takut menyakiti perasaan istrimu?"
"Jangan bercanda! Aku tidak lembek, hanya tidak ingin melukai orang lain saat istriku hamil besar."
Erik percaya pada cerita lama tentang seorang pemburu yang menusuk ular tepat di wajahnya. Kebetulan saat itu istri si pemburu sedang hamil besar. Dia melanggar pantangan untuk tidak membunuh hewan saat istri hamil. Akibatnya sesuatu yang buruk terjadi pada anak mereka, dimana sang anak lahir dengan kondisi wajah sebelah kanan yang cekung ke dalam seperti terkena tombak.
Erik datang ke rumah sakit.
Tari memberitahuku kalau dia mendengar suara majikannya dari kejauhannya.
Sepertinya mas Erik sedang membentak seorang Office Boy karena menumpahkan kopi ke sepatunya.
Keributan itu akhirnya diredakan oleh seorang dokter dan tim keamanan rumah sakit.
Mas Erik masuk ke kamar vip dengan ekspresi kecut yang dengan cepat berganti jadi ekspresi khawatir.
Sebelum mas Erik menanyakan kondisiku, aku lebih dulu menanyakan soal kantong matanya.
"Ini? Hanya efek dari kebanyakan begadang. Aku tetap tampan dengan kantong mata ini kan?"
"Hehee, tidurlah mas,"
Hanya ada kami di ruangan vip ini. Mas Erik duduk di sampingku seraya memegang lembut tanganku. Dia nampak kelelahan, tidak seperti biasanya yang selalu energik.
Aku belum menceritakan padanya soal pertemuanku dengan mas Rudi tempo hari. Rasanya ini bukan saat yang tepat. Mas Erik sudah kelelahan dengan pekerjaan.
Namun meskipun aku berusaha menutupinya, mas Erik yang sudah tahu sejak awal memintaku untuk memberitahu yang sebenarnya.
Disinilah akar permasalahan yang membuat kami stres. Ancaman mas Rudi yang terdengar tidak main-main.
"Aku akan menangkapnya! Dia akan dijebloskan ke penjara karena telah menyelinap ke rumah orang lain."
"Aku yakin dia bukan pekerja ledeng sungguhan dan memang bukan."
Aku setuju dengan pernyataan mas Erik. Mas Rudi telah menipu kami dengan berpura-pura menjadi tukang ledeng, padahal ledeng yang dia perbaiki tetap rusak.
Mas Erik ditelepon oleh anak buahnya. Rudi Widjaya memasuki rumah sakit tempatku dirawat.
Anak buah mas Erik membutuhkan waktu untuk meretas kamera pengawas milik rumah sakit, tapi bukan berarti dia tidak bisa.
Mas Erik berkata kepadaku. "Aku punya perasaan buruk tentang ini. Entah bagaimana dia menemukan lokasi kamu tapi ini hal yang baik karena akhirnya dia muncul di hadapan kita."
Mas Erik meminta Tari menjagaku sementara dia akan mencari mas Rudi. Semoga saja tidak terjadi ha yang buruk ataupun perkelahian.
20 menit kemudian, pintu kamar vip di ketuk oleh seseorang. Aku ragu itu adalah mas Erik karena mas Erik punya sistem kode khusus sebelum membuka pintu.
Tari juga menyadari hal yang sama. Itu pasti orang lain.
Kami mencoba berpikir positif, bisa jadi itu adalah dokter.
"Siapa?" Tanya Tari seraya memegang kunci pintu.
"Saya dokter. Bisa buka pintunya?"
Ternyata hanya dokter.
Namun ternyata bukan hanya dokter tetapi ada mas Rudi yang mengancamnya dengan pisau.
"Inilah risiko memilih kamar di lantai yang sepi. Kamu tidak akan tahu siapa yang datang menyerangmu."
Melihat Rudi memegang pisau sontak Tari menekan tombol darurat namun Rudi.
Seakan tidak peduli dengan alarm darurat yang berbunyi Rudi menikam punggung dokter berkali-kali sampai terkapar.
Kami berteriak histeris.
Tidak lama kemudian muncul mas Erik dari ruang di seberang kamarku.
"Sudah kuduga kau akan melakukan kejahatan. Apa putus cinta semenyakitkan itu bagimu?"
Dor!
Mas Erik menembak perut sebelah kiri Rudi.
Rudi pun merintih kesakitan. Tubuhnya gemetar karena sakit.
Mas Erik mendekatinya lalu terdengar 3 kali tembakan dari mereka berdua.
Ada noda darah di kemeja putih mas Erik.
Rudi menembak Erik dengan pistol yang tersembunyi di belakang bajunya.
Kenyataannya Rudi lebih licik dari yang terlihat. Dia berpura-pura menekan lukanya padahal sebenarnya mengambil pistol yang tersimpan di kantung bajunya.
Mas Erik yang tidak menyadari hal itu pun terkena 2 tembakan di perut dan tangan kirinya.
"KAU!!!!"
"Detektif yang ceroboh."
Rudi berbalik menatapku. Sorot matanya yang tajam seolah berkata bahwa inilah pembuktian atas ucapannya di masa lalu.
Mentalku berguncang hebat saat mas Rudi mengarahkan pistolnya ke perutku.
DIA SANGAT GILA!! DIA INGIN MEMBUNUHKU DAN ANAKKU!!!!
Tari melindungiku namun hanya sesaat kemudian Rudi memukul pelipisnya kemudian menembak kakinya.
Aku bersembunyi di dalam selimut, terakhir kali kudengar tawa jahat Rudi dan beberapa kali suara tembakan. Ada darah yang terciprat ke selimutku.
Tari menarik selimutku lalu menaikkanku ke kursi roda.
"Anda harus segera pergi dari sini, nyonya!"
"Ba-baik, tunggu! dimana mas Erik?"
"Tuan besar sedang mengejar si penyerang! Anda pergilah ke depan lift duluan, saya akan menyusul nanti."
Luka Tari lebih parah dari yang aku kira. Tidak hanya satu kaki lumpuh tetapi tubuh bagian bawahnya mati rasa.
Saat ini Tari hanya bisa mengesot. Tapi melihat kakinya yang berlumuran darah membuatku tidak tega untuk meninggalkannya.
"Kenapa anda kembali?!"
"Diamlah! Sebagai istri detektif terkenal aku tidak boleh lemah. Bagaimana pun aku yang paling sehat untuk membantumu!"
"Aku tidak akan lemah mental lagi!!"
Dengan arahan dari Tari aku berhasil memberikan pertolongan pertama padanya."Bertahanlah kakak! Jangan sampai keponakanku yang ada di dalam situ kesakitan!" Seru Jena padaku yang pucat.
Aku menjelaskan pada Jena kalau bayi kami akan baik-baik saja.
Aku tidak berani mengatakan hal yang buruk. Lagipula ini hanya demam biasa yang diperkuat oleh syok bumil muda. Ini bukan karangan tapi murni penjelasan dokter.
"Maaf Jena tidak bisa menjaga kakak semalaman. Sebagai gantinya mbak Tari akan merawat mbak."
"Iya, terima kasih Jena. Besok kamu kuliah."
Di tempat lain, Erik sedang mengawasi Rudi melalui cctv.
Ingat perintahnya pada Kirishima beberapa bulan yang lalu? Tidak sedetik pun kantor detektif Bayroad melepaskan pandangan dari Rudi.
Berita menghilangnya Rudi kemarin bukan hoax. Dia memang sempat menghilang sebelum ditemukan 2 hari kemudian oleh kamera tersembunyi yang dipasang oleh anak buah detektif Kirishima.
Itu artinya penyamaran yang Rudi lakukan tempo hari juga diketahui oleh mereka.
Selama Linda bicara dengan Rudi yang menyamar jadi tukang ledeng, Erik memasang knuckle di tangannya. Menunggu di bilik kamar mandi yang bersebelahan dengan dapur.
Walaupun akhirnya Erik kecewa karena Rudi tidak menunjukkan taring ganasnya.
"Rudi Widjaya. Orang itu menyusup ke rumahku dan bicara pada istriku tanpa izin. Kali ini aku benar-benar akan menghabisinya."
"Kirishima, temukan Rudi Widjaya!"
Detektif Kirishima membuang permen karet di mulutnya lalu mulai mengoperasikan komputer besar dengan puluhan layar monitor.
Puluhan kamera tersembunyi yang mereka pasang di setiap sudut kota dapat menemukan apapun, mirip 'God Eye' dalam film Fast & Furious.
Rudi sedang berada di jalan mengendarai mobil van hitam.
Kirishima menjelaskan kalau mobil itu Rudi pinjam dari bosnya. Tampaknya dia sedang menuju ke luar kota.
"Maaf aku tidak tahu tujuannya."
"Terus ikuti dia. Penjahat ini pasti akan melakukan hal aneh lagi, dan jika dia menyusup ke rumahku lagi, jangan segan untuk memberitahuku."
"Siap bos! Kau sangat lembut pada orang ini."
"Apa?" Ocehan Kirishima menarik perhatian Erik.
"Biasanya kau akan mematahkan beberapa tulang musuhku. Lalu kenapa Rudi Widjaya masih baik-baik saja? Apa kau takut menyakiti perasaan istrimu?"
"Jangan bercanda! Aku tidak lembek, hanya tidak ingin melukai orang lain saat istriku hamil besar."
Erik percaya pada cerita lama tentang seorang pemburu yang menusuk ular tepat di wajahnya. Kebetulan saat itu istri si pemburu sedang hamil besar. Dia melanggar pantangan untuk tidak membunuh hewan saat istri hamil. Akibatnya sesuatu yang buruk terjadi pada anak mereka, dimana sang anak lahir dengan kondisi wajah sebelah kanan yang cekung ke dalam seperti terkena tombak.
Erik datang ke rumah sakit.
Tari memberitahuku kalau dia mendengar suara majikannya dari kejauhannya.
Sepertinya mas Erik sedang membentak seorang Office Boy karena menumpahkan kopi ke sepatunya.
Keributan itu akhirnya diredakan oleh seorang dokter dan tim keamanan rumah sakit.
Mas Erik masuk ke kamar vip dengan ekspresi kecut yang dengan cepat berganti jadi ekspresi khawatir.
Sebelum mas Erik menanyakan kondisiku, aku lebih dulu menanyakan soal kantong matanya.
"Ini? Hanya efek dari kebanyakan begadang. Aku tetap tampan dengan kantong mata ini kan?"
"Hehee, tidurlah mas,"
Hanya ada kami di ruangan vip ini. Mas Erik duduk di sampingku seraya memegang lembut tanganku. Dia nampak kelelahan, tidak seperti biasanya yang selalu energik.
Aku belum menceritakan padanya soal pertemuanku dengan mas Rudi tempo hari. Rasanya ini bukan saat yang tepat. Mas Erik sudah kelelahan dengan pekerjaan.
Namun meskipun aku berusaha menutupinya, mas Erik yang sudah tahu sejak awal memintaku untuk memberitahu yang sebenarnya.
Disinilah akar permasalahan yang membuat kami stres. Ancaman mas Rudi yang terdengar tidak main-main.
"Aku akan menangkapnya! Dia akan dijebloskan ke penjara karena telah menyelinap ke rumah orang lain."
"Aku yakin dia bukan pekerja ledeng sungguhan dan memang bukan."
Aku setuju dengan pernyataan mas Erik. Mas Rudi telah menipu kami dengan berpura-pura menjadi tukang ledeng, padahal ledeng yang dia perbaiki tetap rusak.
Mas Erik ditelepon oleh anak buahnya. Rudi Widjaya memasuki rumah sakit tempatku dirawat.
Anak buah mas Erik membutuhkan waktu untuk meretas kamera pengawas milik rumah sakit, tapi bukan berarti dia tidak bisa.
Mas Erik berkata kepadaku. "Aku punya perasaan buruk tentang ini. Entah bagaimana dia menemukan lokasi kamu tapi ini hal yang baik karena akhirnya dia muncul di hadapan kita."
Mas Erik meminta Tari menjagaku sementara dia akan mencari mas Rudi. Semoga saja tidak terjadi ha yang buruk ataupun perkelahian.
20 menit kemudian, pintu kamar vip di ketuk oleh seseorang. Aku ragu itu adalah mas Erik karena mas Erik punya sistem kode khusus sebelum membuka pintu.
Tari juga menyadari hal yang sama. Itu pasti orang lain.
Kami mencoba berpikir positif, bisa jadi itu adalah dokter.
"Siapa?" Tanya Tari seraya memegang kunci pintu.
"Saya dokter. Bisa buka pintunya?"
Ternyata hanya dokter.
Namun ternyata bukan hanya dokter tetapi ada mas Rudi yang mengancamnya dengan pisau.
"Inilah risiko memilih kamar di lantai yang sepi. Kamu tidak akan tahu siapa yang datang menyerangmu."
Melihat Rudi memegang pisau sontak Tari menekan tombol darurat namun Rudi.
Seakan tidak peduli dengan alarm darurat yang berbunyi Rudi menikam punggung dokter berkali-kali sampai terkapar.
Kami berteriak histeris.
Tidak lama kemudian muncul mas Erik dari ruang di seberang kamarku.
"Sudah kuduga kau akan melakukan kejahatan. Apa putus cinta semenyakitkan itu bagimu?"
Dor!
Mas Erik menembak perut sebelah kiri Rudi.
Rudi pun merintih kesakitan. Tubuhnya gemetar karena sakit.
Mas Erik mendekatinya lalu terdengar 3 kali tembakan dari mereka berdua.
Ada noda darah di kemeja putih mas Erik.
Rudi menembak Erik dengan pistol yang tersembunyi di belakang bajunya.
Kenyataannya Rudi lebih licik dari yang terlihat. Dia berpura-pura menekan lukanya padahal sebenarnya mengambil pistol yang tersimpan di kantung bajunya.
Mas Erik yang tidak menyadari hal itu pun terkena 2 tembakan di perut dan tangan kirinya.
"KAU!!!!"
"Detektif yang ceroboh."
Rudi berbalik menatapku. Sorot matanya yang tajam seolah berkata bahwa inilah pembuktian atas ucapannya di masa lalu.
Mentalku berguncang hebat saat mas Rudi mengarahkan pistolnya ke perutku.
DIA SANGAT GILA!! DIA INGIN MEMBUNUHKU DAN ANAKKU!!!!
Tari melindungiku namun hanya sesaat kemudian Rudi memukul pelipisnya kemudian menembak kakinya.
Aku bersembunyi di dalam selimut, terakhir kali kudengar tawa jahat Rudi dan beberapa kali suara tembakan. Ada darah yang terciprat ke selimutku.
Tari menarik selimutku lalu menaikkanku ke kursi roda.
"Anda harus segera pergi dari sini, nyonya!"
"Ba-baik, tunggu! dimana mas Erik?"
"Tuan besar sedang mengejar si penyerang! Anda pergilah ke depan lift duluan, saya akan menyusul nanti."
Luka Tari lebih parah dari yang aku kira. Tidak hanya satu kaki lumpuh tetapi tubuh bagian bawahnya mati rasa.
Saat ini Tari hanya bisa mengesot. Tapi melihat kakinya yang berlumuran darah membuatku tidak tega untuk meninggalkannya.
"Kenapa anda kembali?!"
"Diamlah! Sebagai istri detektif terkenal aku tidak boleh lemah. Bagaimana pun aku yang paling sehat untuk membantumu!"
"Aku tidak akan lemah mental lagi!!"
Dengan arahan dari Tari aku berhasil memberikan pertolongan pertama padanya.
