BAB 3: PERJALANAN DALAM DIAM
Fajar menyingsing dengan warna yang salah, langit tampak seperti memar besar dengan semburat ungu dan merah yang tidak seharusnya ada di pagi hari biasa, tapi tidak ada yang berkomentar tentang itu ketika dua belas murid berkumpul di gerbang sekte dengan tas punggung dan pedang terikat di pinggang mereka masing-masing. Liang Xue berdiri di barisan belakang, mengamati wajah-wajah yang sudah familiar selama tiga tahun terakhir dan mencoba mengingat setiap detail kecil karena ada suara di dalam kepalanya yang berbisik bahwa ini mungkin terakhir kalinya ia melihat mereka semua bersama-sama seperti ini.
Liu Chen berdiri di sebelahnya dengan senyum yang terlalu lebar untuk pagi yang dingin ini, ia berbisik tentang bagaimana ia tidak sabar melihat formasi kuno yang konon ada di dalam gua Gunung Hitam, tentang bagaimana ini bisa jadi penemuan besar yang akan membuat nama mereka dikenang dalam sejarah sekte, dan Liang Xue hanya mengangguk tanpa benar-benar mendengarkan karena pikirannya masih terjebak pada kejadian tadi malam dengan darah di tangannya dan mata yang berubah merah untuk sedetik yang terasa seperti eternitas.
Mo Tianran muncul dari arah kuil utama dengan langkah yang terukur dan wajah yang tidak mengungkapkan emosi apa pun, jubahnya berkibar walau tidak ada angin dan Liang Xue memperhatikan bagaimana tangan gurunya sedikit gemetar ketika ia memegang pedangnya sendiri, detail kecil yang mungkin tidak akan ia perhatikan sebelum ini tapi sekarang terasa signifikan dengan cara yang ia tidak bisa jelaskan. Guru berhenti di depan mereka semua, matanya menyapu barisan murid satu per satu, dan ketika sampai pada Liang Xue ada jeda yang terlalu lama, tatapan yang terlalu intens, sebelum akhirnya ia berbicara dengan suara yang terdengar normal tapi ada getaran tipis di bawahnya.
"Kalian semua tahu mengapa kita pergi," kata Mo Tianran sambil menatap ke arah gunung di kejauhan yang tertutup kabut tebal, "Gunung Hitam menyimpan artefak yang tidak boleh jatuh ke tangan yang salah dan tugas kita adalah mengamankannya sebelum faksi lain mengetahui keberadaannya, ini misi berbahaya dan aku tidak akan bohong pada kalian tentang itu."
Murid-murid mengangguk dengan ekspresi serius tapi tidak ada yang terlihat benar-benar takut, mereka semua masih terlalu muda dan terlalu percaya diri dengan kemampuan mereka sendiri dan perlindungan dari guru yang mereka anggap tidak terkalahkan, hanya Liang Xue yang merasakan dingin merayap di tulang punggungnya ketika Guru bilang "tidak akan bohong" karena ada sesuatu dalam cara ia mengatakannya yang terdengar seperti bohong itu sendiri.
"Kita akan bergerak dalam formasi," lanjut Mo Tianran sambil mengambil gulungan peta dari dalam jubahnya dan membukanya di atas batu besar di samping gerbang, "Tim pertama dipimpin Wei akan masuk dari jalur timur, tim kedua dipimpin Liang Xue dari jalur barat, tim ketiga dipimpin Ling akan mengamankan pintu masuk utama, aku sendiri akan memeriksa jalur tengah yang langsung menuju ruang altar."
Liang Xue mencoba fokus pada peta tapi garis-garis di atasnya tampak blur seperti ia melihatnya melalui air yang bergerak, ia mengedipkan mata beberapa kali dan garis-garis itu kembali jelas tapi ada momen ketika ia tidak yakin apakah yang ia lihat real atau bukan, apakah matanya yang bermasalah atau ada sesuatu yang lebih dalam yang mulai berubah dalam dirinya.
"Ada pertanyaan?" tanya Mo Tianran sambil menggulung kembali petanya dan semua orang menggeleng karena instruksinya cukup jelas, tapi Liang Xue ingin mengangkat tangan dan bertanya kenapa mereka harus pergi hari ini ketika langit terlihat seperti itu, kenapa ia merasa seperti ada sesuatu yang menunggu mereka di gunung itu, kenapa Guru terus menatapnya dengan tatapan yang aneh seperti ia melihat hantu atau kenangan atau sesuatu yang membuat matanya terlihat sangat sedih.
Tapi ia tidak bertanya apa-apa karena bagaimana ia bisa menjelaskan perasaan tanpa terdengar seperti ia kehilangan akal, jadi ia hanya berdiri di sana sambil mencengkeram tali tas punggungnya sampai buku-buku jarinya memutih dan Liu Chen harus menyenggolnya pelan dan berbisik apakah ia baik-baik saja, dan ia mengangguk walau keduanya tahu itu bukan jawaban yang jujur.
Mereka mulai berjalan ketika matahari sudah cukup tinggi untuk menerangi jalan tapi tidak cukup tinggi untuk menghangatkan udara yang terasa seperti musim dingin padahal seharusnya masih musim semi, barisan murid bergerak dalam diam yang tidak biasa karena biasanya perjalanan seperti ini dipenuhi dengan canda dan tawa tapi entah kenapa hari ini tidak ada yang merasa ingin bicara. Liang Xue berjalan di tengah barisan dengan Liu Chen di sebelah kirinya dan Didi Xiao di sebelah kanannya, keduanya sesekali mencoba membuat percakapan ringan tapi selalu mati sebelum berkembang menjadi sesuatu yang berarti, dan akhirnya mereka semua hanya fokus pada langkah kaki mereka sendiri dan suara daun kering yang berderak di bawah sepatu.
Hutan yang mereka lewati terasa salah dengan cara yang sulit dijelaskan, pohon-pohon berdiri terlalu diam seolah mereka menahan napas, tidak ada suara burung atau binatang kecil yang biasanya ramai di pagi hari seperti ini, bahkan angin terasa enggan bertiup terlalu keras seolah ia takut mengusik sesuatu yang lebih baik dibiarkan tidur. Liang Xue memperhatikan hal-hal kecil ini sambil berjalan, cara bayangan tampak lebih gelap dari yang seharusnya, cara cahaya matahari tidak bisa menembus celah-celah daun dengan benar, cara udara terasa berat seperti sebelum badai besar datang walau langit masih relatif cerah.
"Kau dengar itu?" bisik Liu Chen tiba-tiba sambil menghentikan langkahnya dan menoleh ke kiri di mana pepohonan tumbuh lebih rapat, dan Liang Xue juga berhenti sambil mempertajam pendengarannya tapi ia tidak mendengar apa-apa kecuali keheningan yang hampir absolut, terlalu absolut untuk hutan yang seharusnya hidup dengan ribuan suara kecil.
"Dengar apa?" tanya Didi Xiao dengan suara yang sedikit gemetar karena ia anak termuda di antara mereka dan paling mudah takut walau ia selalu mencoba menutupinya dengan tingkah berani, dan Liu Chen menggeleng sambil melanjutkan berjalan tapi wajahnya terlihat tidak yakin seperti ia sendiri tidak yakin apakah ia benar-benar mendengar sesuatu atau hanya imajinasinya.
Mereka berjalan selama empat jam tanpa istirahat karena Mo Tianran yang memimpin di depan tidak memberi sinyal untuk berhenti, dan ketika matahari sudah tepat di atas kepala mereka akhirnya Guru mengangkat tangan dan semua orang berhenti dengan rasa lega yang nyaris terdengar. Mereka berkumpul di sebuah clearing kecil yang dikelilingi batu-batu besar, tempat yang tampak seperti bekas perkemahan dari traveler sebelumnya walau tidak ada tanda-tanda aktivitas baru-baru ini, dan murid-murid mulai menurunkan tas punggung mereka dan mengambil perbekalan untuk makan siang.
Liang Xue duduk di atas salah satu batu sambil menatap ke arah di mana Gunung Hitam seharusnya berada tapi yang terlihat hanya kabut tebal yang tampak seperti dinding solid, dan ia bertanya-tanya apa yang ada di balik kabut itu, apa yang menunggu mereka di dalam gua yang konon sudah tidak ada yang berani masuk selama puluhan tahun, dan kenapa Guru terlihat seperti orang yang sudah tahu apa yang akan terjadi tapi tidak mau memberitahu mereka.
"Kau harus makan sesuatu," kata Liu Chen sambil menyodorkan roti dan buah kering, dan Liang Xue menerimanya walau perutnya terasa seperti dipenuhi batu dan gagasan untuk memasukkan makanan ke dalamnya membuat ia ingin muntah, tapi ia memaksa diri mengunyah perlahan karena ia tahu ia butuh energi untuk apapun yang akan datang, dan Liu Chen tersenyum melihatnya makan walau senyumnya tidak sampai ke mata seperti biasa.
Mo Tianran berdiri sedikit terpisah dari kelompok, tidak makan atau minum, hanya menatap ke arah gunung dengan ekspresi yang sulit dibaca, dan Liang Xue memperhatikan bagaimana bahunya tegang seperti ia bersiap untuk sesuatu, bagaimana tangannya sesekali bergerak ke pedang di pinggangnya seperti reflek, bagaimana seluruh postur tubuhnya berteriak kewaspadaan walau tidak ada ancaman yang terlihat. Yue Qing yang duduk tidak jauh dari Liang Xue juga memperhatikan Guru dengan tatapan yang penuh pertanyaan, dan ketika mata mereka bertemu ada pemahaman diam-diam bahwa keduanya merasakan sesuatu yang salah tapi tidak tahu apa atau bagaimana mengatakannya.
"Kita akan sampai di gua dalam dua jam lagi," kata Mo Tianran tiba-tiba dengan suara yang membuat semua orang berhenti makan dan menatapnya, "Begitu kita sampai di sana tidak akan ada waktu untuk ragu atau pertanyaan, kalian harus mengikuti instruksi dengan tepat dan tidak menyimpang dari jalur yang sudah ditentukan, ini sangat penting dan aku tidak bisa cukup menekankan betapa pentingnya ini."
Ada sesuatu dalam cara Guru mengatakannya yang membuat bulu kuduk Liang Xue berdiri, seperti ini bukan sekedar instruksi tapi peringatan atau bahkan permintaan maaf yang disamarkan, dan ia melihat beberapa murid lain juga terlihat bingung dengan intensitas dari kata-kata Guru walau mereka tidak berani bertanya lebih lanjut.
"Guru," akhirnya Kakak Wei mengangkat suara dengan hati-hati, "Apakah ada sesuatu yang harus kami ketahui tentang artefak ini, sesuatu yang membuat ini lebih berbahaya dari misi biasa?"
Mo Tianran menatap Wei lama sebelum menjawab dan Liang Xue bisa melihat pertarungan internal di mata gurunya, seperti ia sedang memutuskan berapa banyak kebenaran yang harus dikatakan atau apakah lebih baik membiarkan mereka tidak tahu sampai terlambat untuk mundur. "Artefak ini," akhirnya Guru bilang dengan suara yang terdengar lelah seperti orang yang sudah berjalan ribuan mil tanpa istirahat, "Berhubungan dengan prophecy lama tentang anak-anak yang lahir di bawah bulan merah, dan keberadaannya di sini bukan kebetulan tapi bagian dari sesuatu yang lebih besar yang kalian belum perlu tahu sekarang."
Liang Xue merasa darahnya membeku ketika mendengar kata "bulan merah" karena ia ingat apa yang ibu bilang tentang orang-orang yang lahir di bawah bulan merah, tentang bagaimana mereka membawa sesuatu dalam diri mereka yang tidak bisa dikontrol, dan ia bertanya-tanya apakah ini ada hubungannya dengannya, apakah ini kenapa Guru menatapnya dengan cara yang aneh, apakah selama ini Guru tahu sesuatu tentang dirinya yang bahkan ia sendiri tidak mengerti sepenuhnya.
"Prophecy apa?" tanya Ling dengan suara yang penuh keingintahuan tapi juga sedikit takut, dan beberapa murid lain mengangguk menunggu jawaban, tapi Mo Tianran hanya menggeleng dan mengatakan bahwa ini bukan waktu untuk cerita panjang dan mereka harus fokus pada misi, dan dengan itu ia berbalik dan mulai berjalan lagi tanpa menunggu protes atau pertanyaan lebih lanjut.
Murid-murid saling menatap dengan bingung dan cemas sebelum akhirnya mereka semua berdiri dan mengikuti Guru, dan Liang Xue berjalan dengan kaki yang terasa berat seperti ia melangkah menuju eksekusi, bukan misi biasa, dan Liu Chen yang berjalan di sebelahnya mencoba menggenggam tangannya sebentar dalam gesture yang dimaksudkan untuk menenangkan tapi malah membuat ia ingin menangis karena ada bagian dari dirinya yang sudah tahu bahwa ini akan jadi terakhir kalinya mereka berjalan berdampingan seperti ini.
Dua jam berikutnya berlalu seperti mimpi buruk yang bergerak dalam slow motion, mereka berjalan melalui hutan yang semakin gelap walau matahari seharusnya masih tinggi, melalui jalan setapak yang tampak seperti tidak pernah digunakan dalam waktu lama tapi entah kenapa tetap jelas seolah ada sesuatu yang sengaja mempertahankannya untuk mereka, dan akhirnya mereka sampai di kaki Gunung Hitam di mana kabut begitu tebal sampai ia bisa merasakan kelembapannya di kulit seperti tangan-tangan dingin yang menyentuh.
Gua itu menganga di depan mereka seperti mulut monster besar yang menunggu untuk menelan, pintu masuknya berbentuk lengkungan alami dari batu hitam yang tampak lebih gelap dari kegelapan normal, dan tidak ada yang bergerak untuk masuk pertama kali karena semua orang bisa merasakan aura menakutkan yang keluar dari dalam seperti napas busuk dari sesuatu yang sudah mati lama tapi entah kenapa masih hidup.
"Ingat formasi kalian," kata Mo Tianran sambil menyalakan obor dan cahaya api membuat bayangan menari di wajahnya dengan cara yang membuat ia tampak seperti orang asing, bukan guru yang mereka kenal selama ini, "Masuk dengan hati-hati dan jangan menyimpang dari jalur yang sudah ditentukan, dan yang paling penting," ia berhenti dan menatap mereka semua satu per satu dengan tatapan yang terasa seperti pamitan, "Percaya pada Guru sampai akhir."
Dan dengan kata-kata yang terasa seperti prophecy itu sendiri, mereka memasuki kegelapan gua yang menunggu untuk mengubah semuanya.
