Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 2: BAYANGAN MASA LALU

Ruang makan sekte sudah penuh ketika Liang Xue dan Liu Chen tiba. Aroma bubur kacang dan roti kukus mengisi udara, membuat perut Liang Xue berbunyi walau ia tidak merasa lapar. Liu Chen langsung menuju meja di sudut tempat Jiejie Ling dan beberapa murid lain duduk.

"Akhirnya datang juga," kata Ling sambil menuang teh untuk mereka berdua. "Aku pikir kalian lupa cara ke ruang makan."

"Liang Xue yang lama bangun," Liu Chen langsung lempar tanggung jawab. "Aku harus ketuk pintu berkali-kali."

Liang Xue tidak membantah. Lebih mudah membiarkan Liu Chen bicara. Ia duduk dan menatap mangkuk bubur di depannya. Seharusnya ia makan. Tapi tenggorokannya terasa tertutup.

"Kalian sudah dengar?" Didi Xiao, murid termuda, bersandar ke depan dengan mata berbinar. "Besok kita akan ke Gunung Hitam. Katanya di sana ada gua dengan formasi kuno."

"Formasi kuno atau hantu kuno?" canda Shixiong Tao sambil mengunyah roti. "Aku dengar tidak ada yang berani ke sana selama puluhan tahun."

"Makanya kita yang akan ke sana," Ling tersenyum. "Guru percaya kita sudah cukup kuat."

Liang Xue mendengarkan percakapan itu tanpa ikut bicara. Semua orang terlihat excited. Seperti ini petualangan yang menyenangkan. Tidak ada yang merasa ada yang salah.

Kecuali dia.

"Liang Xue." Suara Ling membuat ia mengangkat kepala. "Kau baik-baik saja? Kau tidak makan."

"Aku tidak terlalu lapar."

"Kau harus makan," Ling mendorong mangkuk bubur lebih dekat. "Besok akan jadi hari yang panjang. Kau butuh energi."

Liang Xue mengambil sendok dan memaksa diri makan. Bubur terasa seperti debu di mulutnya. Tapi ia terus mengunyah karena Ling menatapnya dengan tatapan khawatir.

"Liang Xue selalu begini sebelum misi," Liu Chen menjelaskan pada yang lain. "Dia nervous. Tapi begitu di lapangan, dia paling tenang di antara kita semua."

Itu bukan benar. Liang Xue tidak nervous tentang misi. Ia nervous tentang sesuatu yang ia tidak bisa jelaskan. Perasaan bahwa ada sesuatu yang menunggu mereka di Gunung Hitam. Sesuatu yang lebih buruk dari hantu atau formasi kuno.

Pintu ruang makan terbuka. Mo Tianran masuk, diikuti oleh Kakak Wei dan beberapa murid senior lain. Semua orang langsung berdiri dan membungkuk.

"Duduk," kata Mo Tianran. Ia berjalan ke depan ruangan, menatap semua murid satu per satu. Ketika matanya bertemu dengan mata Liang Xue, ada sesuatu di sana. Sesuatu yang membuat Liang Xue ingin lari.

Tapi ia tidak lari. Ia hanya duduk dan mendengarkan.

"Besok kita akan ke Gunung Hitam," Mo Tianran mulai bicara. Suaranya tenang seperti biasa. Tapi ada nada di bawahnya yang terasa salah. "Ini bukan misi biasa. Di sana ada artefak yang sangat berbahaya. Kalau jatuh ke tangan yang salah, bisa menghancurkan banyak nyawa."

Murid-murid berbisik satu sama lain. Excited. Tidak takut.

"Kalian akan dibagi menjadi tiga tim," lanjut Mo Tianran. "Tim pertama akan dipimpin Kakak Wei. Tim kedua oleh Liang Xue. Tim ketiga oleh Jiejie Ling."

Liang Xue mendengar namanya tapi tidak merasa apa-apa. Seperti ia mendengar dari jauh.

"Guru akan memimpin keseluruhan operasi," Mo Tianran menatap mereka semua dengan tatapan yang aneh. "Ingat. Apa pun yang terjadi, kalian harus percaya pada Guru. Mengerti?"

"Mengerti, Guru!" semua orang menjawab kompak.

Tapi Liang Xue tidak ikut menjawab. Karena ada sesuatu dalam cara Mo Tianran bilang "apa pun yang terjadi" yang membuat bulu kuduknya berdiri.

Setelah Mo Tianran pergi, ruang makan kembali ramai. Semua orang bicara tentang misi besok. Tentang artefak. Tentang petualangan.

"Liang Xue," Liu Chen menepuk bahunya. "Kau yakin tidak apa-apa? Kau terlihat pucat."

"Aku baik-baik saja."

"Kau bohong," Liu Chen tertawa tapi matanya serius. "Aku kenal kau sudah tiga tahun. Aku tahu kalau ada sesuatu yang mengganggumu."

Liang Xue ingin bilang. Ingin bilang tentang mimpi buruk. Tentang darah di tangan. Tentang perasaan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Tapi bagaimana ia bisa menjelaskan sesuatu yang ia sendiri tidak mengerti?

"Hanya mimpi buruk," akhirnya ia bilang. Setengah benar.

"Mimpi buruk lagi?" Liu Chen mengerutkan dahi. "Aku pikir sudah berhenti."

"Datang lagi tadi malam."

"Tentang apa?"

Liang Xue tidak menjawab langsung. Ia menatap tangannya yang memegang sendok. "Tentang darah. Banyak darah."

Liu Chen terdiam sebentar. Lalu ia tersenyum. Tapi senyumnya tidak sampai ke mata. "Hanya mimpi. Tidak nyata."

"Ya," kata Liang Xue. "Hanya mimpi."

Tapi keduanya tahu ada sesuatu yang tidak terkatakan. Sesuatu yang menggantung di udara di antara mereka.

Setelah sarapan, Liang Xue kembali ke kamarnya. Ia harus mempersiapkan peralatan untuk misi besok. Tapi ketika ia sampai di pintu kamar, ada seseorang yang menunggu di sana.

Yue Qing.

Murid senior yang selalu bersaing dengannya. Cantik, berbakat, dan selalu membuat Liang Xue merasa seperti ia harus membuktikan sesuatu.

"Liang Xue," sapa Yue Qing. Suaranya dingin seperti biasa.

"Jiejie Yue," Liang Xue membungkuk sopan.

"Aku dengar kau yang memimpin tim kedua besok."

"Ya."

Yue Qing menatapnya lama. Ada sesuatu dalam tatapannya yang aneh. Bukan cemburu seperti biasa. Tapi seperti ia sedang menilai sesuatu.

"Kau tahu kenapa Guru memilihmu?" tanya Yue Qing.

"Karena Guru percaya aku bisa melakukannya."

"Bukan itu." Yue Qing melangkah lebih dekat. Suaranya turun jadi bisikan. "Aku melihat cara Guru menatapmu. Ada sesuatu yang ia tidak ceritakan."

Liang Xue merasa dadanya sesak. "Apa maksudmu?"

"Aku tidak tahu." Yue Qing menggeleng. "Tapi berhati-hatilah besok. Ada sesuatu yang salah dengan misi ini."

"Kenapa kau bilang begitu?"

Yue Qing tidak menjawab. Ia hanya menatap Liang Xue dengan tatapan yang sulit dibaca. Lalu ia berbalik dan berjalan pergi.

Liang Xue berdiri di sana, bingung. Yue Qing tidak pernah peduli padanya sebelum ini. Kenapa sekarang ia memberi peringatan?

Ia masuk ke kamar dan menutup pintu. Kamarnya kecil tapi nyaman. Ranjang di sudut. Meja kecil dengan lilin. Lemari untuk pakaian dan peralatan. Dan di dinding, satu-satunya hal pribadi yang ia miliki.

Lukisan.

Lukisan ibunya. Wajah lembut dengan senyum sedih. Liang Xue melukisnya dari ingatan setahun setelah ibunya mati. Tidak sempurna. Tapi cukup untuk mengingatkan dia pada suara ibu yang berbisik malam itu.

"Jangan pernah mengejar kekuatan."

Liang Xue menatap lukisan itu lama. "Aku tidak pernah mengejar kekuatan, Bu," bisiknya. "Tapi sepertinya kekuatan itu yang mengejar aku."

Ia mulai mengemas peralatan. Pedang. Obat-obatan. Perbekalan. Semua hal standar untuk misi. Tapi tangannya gemetar ketika ia memegang pedang.

Pedang ini diberikan Guru ketika ia pertama kali masuk sekte. Pedang biasa. Tidak ada yang spesial. Tapi Guru bilang pedang yang baik bukan yang paling tajam. Tapi yang paling cocok dengan pemegangnya.

"Pedang adalah perpanjangan dari jiwamu," kata Guru waktu itu. "Jaga pedangmu, dan pedangmu akan menjagamu."

Liang Xue mengingat kata-kata itu sambil mengasah pedangnya. Gerakan otomatis yang sudah ia lakukan ribuan kali. Tapi hari ini terasa berbeda. Seperti ia mempersiapkan diri untuk sesuatu yang lebih besar dari sekedar misi.

Ketukan di pintu lagi. Kali ini Liu Chen yang masuk tanpa tunggu jawaban.

"Aku buat sesuatu untukmu," katanya sambil menyodorkan sesuatu.

Gelang. Gelang anyaman dari rumput kering. Simpel. Kasar. Tapi dibuat dengan hati-hati.

"Untuk apa ini?" tanya Liang Xue.

"Jimat keberuntungan," Liu Chen tersenyum. "Aku ingat kau suka menganyam rumput ketika kau nervous. Jadi aku pikir mungkin ini bisa membuatmu merasa lebih baik."

Liang Xue menatap gelang itu. Ada sesuatu di tenggorokannya yang terasa kencang. "Terima kasih."

"Pakai," Liu Chen mengambil gelang itu dan memasangkannya di pergelangan tangan Liang Xue. "Dan pulang dengan selamat. Kita berdua."

"Kita berdua," ulang Liang Xue.

Liu Chen memeluknya. Pelukan singkat tapi hangat. "Kau adalah adik yang tidak pernah aku punya," bisiknya. "Jaga dirimu baik-baik."

Setelah Liu Chen pergi, Liang Xue duduk di tepi ranjang. Ia menatap gelang di pergelangan tangannya. Sederhana. Tapi terasa berat dengan makna.

Ada bagian dari dirinya yang ingin bilang pada Liu Chen untuk tidak ikut besok. Untuk berpura-pura sakit. Untuk tinggal di sekte.

Tapi ia tidak bisa bilang itu tanpa terdengar gila. Bagaimana ia bisa jelaskan tentang perasaan? Tentang mimpi buruk? Tentang sesuatu di dalam dirinya yang berteriak bahaya?

Jadi ia hanya duduk di sana sampai matahari mulai terbenam.

Malam itu, Liang Xue tidak tidur. Ia terlalu takut untuk tidur. Takut mimpi buruk akan datang lagi. Jadi ia duduk di jendela kamarnya, menatap langit.

Bulan naik perlahan. Tapi ada yang salah dengan bulan malam ini. Warnanya tidak putih seperti biasa. Ada semburat merah. Sangat tipis. Hampir tidak terlihat. Tapi ada.

Bulan merah.

Liang Xue ingat ibu pernah bilang sesuatu tentang bulan merah. "Orang yang lahir di bawah bulan merah," kata ibu, "membawa sesuatu dalam diri mereka. Sesuatu yang tidak bisa dikontrol."

"Aku lahir di bawah bulan merah?" tanya Liang Xue waktu itu.

Ibu tidak menjawab. Ia hanya memeluk Liang Xue lebih erat.

Sekarang, menatap bulan yang perlahan berubah warna, Liang Xue merasa ada sesuatu di dadanya yang bergerak. Seperti ada sesuatu yang bangun. Sesuatu yang sudah tidur lama.

Ia menyentuh dadanya. Jantungnya berdetak normal. Tapi ada sensasi lain. Seperti ada sesuatu di bawah kulitnya yang bergerak.

"Sudah waktunya bangun."

Suara itu datang dari dalam kepalanya. Bukan suara luar. Tapi suara yang sama dengan di mimpi buruk.

Liang Xue melompat dari jendela. Jantungnya berdetak cepat. Ia melihat sekeliling kamar. Kosong. Tidak ada siapa-siapa.

Tapi suara itu nyata. Ia yakin suara itu nyata.

Ia menatap tangannya. Dan membeku.

Ada darah.

Tipis. Seperti keluar dari pori-pori kulitnya. Tidak banyak. Tapi ada.

"Tidak," bisik Liang Xue. "Tidak sekarang. Tolong tidak sekarang."

Ia berlari ke baskom air di sudut kamar. Mencuci tangannya dengan panik. Air berubah merah. Ia cuci lagi. Dan lagi. Sampai tangannya bersih.

Tapi ketika ia menatap pantulannya di air, ia melihat sesuatu yang membuat darahnya beku.

Matanya.

Untuk sedetik, matanya berubah. Tidak lagi hitam normal. Tapi merah. Merah menyala.

Lalu kembali normal.

Liang Xue mundur dari baskom. Napasnya pendek-pendek. Apa yang baru terjadi? Apa yang ada di dalam dirinya?

Ia menatap gelang di pergelangan tangannya. Gelang dari Liu Chen. Ia mencengkeramnya erat. Seperti itu satu-satunya hal yang menghubungkannya dengan kenyataan.

"Besok," bisiknya pada dirinya sendiri. "Aku hanya harus bertahan sampai besok selesai. Lalu aku akan minta Guru menjelaskan semuanya."

Tapi dalam hatinya, ia tahu. Besok bukan akhir.

Besok adalah awal.

Awal dari sesuatu yang sudah lama menunggu untuk keluar.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel