BAB 4 Cahaya Terlarang
BAB 4: DI DALAM KEGELAPAN
Udara di dalam gua terasa seperti makam yang sudah tertutup terlalu lama, dingin dan lembap dengan bau tanah basah yang bercampur dengan sesuatu yang lebih busuk, sesuatu yang membuat perut Liang Xue bergejolak walau ia mencoba bernapas melalui mulut untuk mengurangi sensasinya. Cahaya obor yang dibawa setiap tim hanya mampu menembus kegelapan beberapa meter ke depan, sisanya adalah hitam absolut yang terasa padat seperti dinding, dan suara langkah kaki mereka bergema dengan cara yang aneh seperti ada seseorang atau sesuatu yang meniru setiap gerakan mereka dari kedalaman gua yang tidak terlihat.
Tim mulai berpencar sesuai instruksi Mo Tianran, Kakak Wei membawa timnya ke kanan menuju jalur timur dengan obor yang membuat bayangan panjang di dinding batu, Jiejie Ling ke kiri dengan langkah hati-hati dan pedang sudah setengah teracung dari sarungnya, dan Liang Xue dengan timnya yang terdiri dari Liu Chen, Didi Xiao, dan Shixiong Tao mulai bergerak ke jalur barat yang tampak lebih sempit dari yang lain dengan langit-langit rendah yang membuat mereka harus sedikit membungkuk.
Mo Tianran sendiri berdiri di tengah untuk sesaat, menatap setiap tim yang menjauh dengan ekspresi yang sangat sedih.
Sangat sedih sampai Liang Xue hampir berbalik untuk bertanya apakah semuanya baik-baik saja.
Tapi kemudian Guru menghilang ke dalam bayangan menuju jalur tengah, dan momen itu berlalu.
"Jalannya semakin sempit," bisik Didi Xiao dari belakang dengan suara yang gemetar, dan memang benar karena dinding batu di kiri dan kanan mereka tampak bergerak lebih dekat dengan setiap langkah sampai Liang Xue harus berjalan menyamping di beberapa bagian dengan bahu menyentuh batu yang terasa anehnya hangat walau seharusnya dingin. Liu Chen yang berjalan tepat di belakangnya memegang ujung jubahnya seperti anak kecil yang takut terpisah dari ibunya, dan Liang Xue membiarkannya karena jujur ia juga takut, takut dengan cara yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, takut yang datang dari tempat yang lebih dalam dari sekedar takut fisik pada tempat gelap atau ruang sempit.
"Ada cahaya di depan," kata Shixiong Tao yang membawa obor di paling depan, dan mereka semua berhenti untuk melihat, dan memang ada cahaya redup berwarna kebiruan yang sepertinya datang dari ruangan yang lebih besar di ujung koridor sempit ini. Mereka bergerak lebih cepat sekarang dengan harapan bahwa ruangan yang lebih besar akan lebih mudah untuk bernapas, dan ketika mereka akhirnya keluar dari koridor sempit itu ke dalam ruangan yang tingginya mencapai puluhan meter dengan stalaktit menggantung dari langit-langit seperti gigi monster raksasa, mereka semua menghela napas lega.
Tapi lega itu hanya bertahan sedetik.
Karena kemudian mereka melihat apa yang ada di tengah ruangan.
Altar.
Altar batu hitam yang diukir dengan simbol-simbol yang menyakitkan untuk dilihat, seperti mata tidak seharusnya melihatnya tapi tidak bisa berhenti menatap, dan di sekitar altar ada parit melingkar yang tampak seperti dirancang untuk menampung sesuatu, tapi sekarang masih kering dengan residu coklat tua di dasarnya yang membuat Liang Xue tidak ingin berpikir tentang apa itu sebenarnya.
"Apa ini?" bisik Liu Chen dengan suara yang nyaris tidak terdengar.
Liang Xue tidak menjawab karena ia tidak punya jawaban, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang beresonansi dengan altar ini, seperti ia pernah melihatnya sebelumnya walau ia tahu ia tidak pernah ke tempat ini dalam hidupnya. Atau setidaknya tidak dalam kehidupan yang ia ingat.
"Kita harus kembali," kata Didi Xiao tiba-tiba dengan suara panik, "Ini tidak benar, ini bukan tempat untuk artefak, ini tempat untuk ritual, untuk sesuatu yang buruk."
"Tenang," Liang Xue mencoba menenangkannya walau ia sendiri merasakan hal yang sama, "Kita hanya perlu memeriksa dan melaporkan pada Guru, kita tidak akan..."
Jeritan.
Jeritan yang datang dari kedalaman gua, jeritan yang terdengar seperti datang dari banyak arah sekaligus, jeritan yang membuat darah Liang Xue membeku dan tangan otomatis mencengkeram pedang di pinggangnya. Jeritan itu berlangsung panjang dan menyakitkan sebelum tiba-tiba terpotong seperti seseorang menutup mulut yang berteriak dengan paksa, dan kemudian hanya ada keheningan yang entah kenapa lebih menakutkan dari jeritan itu sendiri.
"Itu suara Kakak Ling," Liu Chen berbisik dengan wajah yang pucat seperti mayat.
Tidak ada yang menjawab karena mereka semua tahu itu benar, dan mereka semua tahu apa artinya.
"Kita harus pergi ke sana," Liang Xue mendengar dirinya sendiri bilang walau setiap sel dalam tubuhnya berteriak untuk lari ke arah berlawanan, "Mereka mungkin butuh bantuan."
"Atau sudah mati," kata Shixiong Tao dengan kejujuran brutal yang membuat Didi Xiao mulai menangis, tapi kemudian ia menggeleng dan menambahkan, "Tapi kau benar, kita harus cek."
Mereka bergerak cepat sekarang, melupakan formasi dan kehati-hatian, hanya fokus pada suara jeritan tadi dan mencoba menemukan jalan ke sana melalui labirin koridor yang tampak dibuat untuk membingungkan. Liang Xue yang memimpin tidak tahu bagaimana ia tahu jalan mana yang harus diambil, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang seperti kompas yang menunjuk ke arah tertentu, dan ia mengikuti naluri itu sambil berharap ia tidak membawa timnya ke jebakan.
Mereka melewati koridor demi koridor, ruangan demi ruangan, dan di beberapa tempat mereka melihat hal-hal yang membuat mereka ingin menutup mata.
Tulang.
Banyak tulang.
Ditumpuk di sudut-sudut dengan cara yang tampak ritual, tidak acak tapi tersusun dalam pola tertentu yang membuat Liang Xue merasa mual, dan beberapa tulang masih punya daging yang menempel walau sudah membusuk, dan bau dari daging busuk itu membuat Didi Xiao muntah di sudut sampai tidak ada yang tersisa di perutnya kecuali empedu.
"Terus bergerak," kata Liang Xue sambil menarik Didi Xiao berdiri, "Kita tidak punya waktu untuk berhenti."
Mereka sampai di ruangan yang lebih besar lagi, dan di sana mereka melihat sesuatu yang membuat dunia Liang Xue berhenti berputar.
Mayat.
Empat mayat murid dari tim Jiejie Ling tergeletak dalam posisi yang mengerikan, tubuh mereka terpotong dan tersebar dengan darah yang masih segar mengalir membentuk pola di lantai batu, pola yang sama dengan parit di sekitar altar di ruangan sebelumnya, dan di tengah mayat-mayat itu berdiri seseorang dengan jubah yang familiar.
Mo Tianran.
Gurunya.
Dengan tangan yang berlumuran darah dan pedang yang masih menetes.
"Guru?" suara Liang Xue keluar seperti suara orang lain, kecil dan rusak dan penuh dengan ketidakpercayaan yang menolak menerima apa yang dilihat matanya, dan Mo Tianran berbalik perlahan untuk menatap mereka dengan ekspresi yang sangat tenang, terlalu tenang untuk seseorang yang berdiri di tengah mayat-mayat muridnya sendiri.
"Liang Xue," kata Guru dengan suara yang terdengar normal, terdengar seperti suara yang sering ia dengar selama tiga tahun terakhir, suara yang dulu membuat ia merasa aman tapi sekarang hanya membuat ia ingin lari, "Kau datang lebih cepat dari yang Guru perkirakan."
Liu Chen di belakang Liang Xue membuat suara seperti orang yang tersedak, dan Shixiong Tao mengangkat pedangnya dengan tangan yang gemetar, tapi Didi Xiao hanya berdiri di sana dengan air mata mengalir di pipinya sambil menatap mayat teman-temannya dengan tatapan kosong.
"Apa yang Guru lakukan?" Liang Xue akhirnya berhasil bertanya walau tenggorokannya terasa seperti ditutup dengan tangan raksasa.
"Yang harus Guru lakukan," Mo Tianran menjawab sambil melangkah keluar dari lingkaran mayat dan Liang Xue memperhatikan bagaimana darah di lantai bergerak mengikuti langkahnya seperti hidup, seperti ia mengontrolnya dengan qi, "Yang sudah Guru rencanakan selama bertahun-tahun sejak Guru menemukan kebenaran tentangmu."
"Kebenaran tentang aku?" Liang Xue mengulang dengan suara yang naik, dan ada sesuatu di dadanya yang mulai terasa panas, sesuatu yang sudah tidur mulai bergerak dan bangun, "Guru membunuh mereka karena aku?"
"Guru membunuh mereka untuk menyelamatkanmu," Mo Tianran mengoreksi dengan nada yang terdengar seperti ia benar-benar percaya itu, "Kau membawa Biji Darah Dewa dalam tubuhmu, Liang Xue, benda yang sama yang menghancurkan peradaban tiga ratus tahun lalu dan membunuh ratusan ribu orang termasuk keluarga Guru sendiri, dan satu-satunya cara untuk mengekstraknya tanpa membunuhmu adalah dengan menggunakan darah kultivator lain sebagai medium, sebagai buffer, sebagai pengorbanan yang diperlukan."
Kata-kata itu masuk ke telinga Liang Xue tapi tidak masuk akal, seperti ia mendengar bahasa asing yang bunyinya familiar tapi tidak punya makna, dan ia menggelengkan kepalanya berulang kali mencoba membuat semuanya masuk akal tapi gagal.
"Kau gila," bisik Liu Chen dari belakang, dan Mo Tianran menatapnya dengan tatapan yang hampir simpati.
"Tidak gila," kata Guru dengan sabar seperti ia menjelaskan sesuatu pada anak kecil, "Hanya realistic tentang apa yang harus dilakukan ketika menghadapi ancaman eksistensial, Guru sudah belajar cara keras tiga ratus tahun lalu ketika Guru terlalu lemah untuk menghentikan tragedy, tapi sekarang Guru cukup kuat dan cukup bijaksana untuk melakukan apa yang diperlukan."
"Dengan membantai murid-muridmu sendiri?" Shixiong Tao berteriak dengan suara yang pecah.
Mo Tianran tidak menjawab pertanyaan itu, ia hanya menatap Liang Xue dengan tatapan yang penuh dengan sesuatu yang mungkin cinta atau mungkin kegilaan atau mungkin keduanya, dan ia berkata dengan suara yang sangat lembut, "Maafkan Guru, anak-ku, tapi ini satu-satunya cara."
Dan kemudian ia bergerak.
Bergerak dengan kecepatan yang tidak seharusnya mungkin untuk seseorang seusianya, bergerak seperti petir yang menyambar dengan pedang yang menyala dengan qi putih yang menyilaukan, dan Liang Xue hanya punya waktu untuk mendorong Liu Chen ke samping sebelum pedang Guru melewati tempat di mana lehernya berada sedetik sebelumnya.
"Lari!" Liang Xue berteriak pada yang lain sambil mengacungkan pedangnya sendiri untuk block serangan berikutnya, dan tangan hampir patah dari kekuatan impact karena perbedaan level kultivasi mereka terlalu besar, terlalu besar sampai ini bukan pertarungan tapi eksekusi yang tertunda.
Liu Chen dan yang lain tidak lari, mereka tidak bisa lari dan meninggalkan Liang Xue sendirian, jadi mereka juga mengangkat pedang mereka dengan tangan yang gemetar dan mencoba menyerang dari berbagai arah, tapi Mo Tianran bergerak di antara mereka seperti hantu, seperti bayangan, seperti sesuatu yang tidak real, dan setiap kali pedangnya bergerak ada darah yang tumpah.
Shixiong Tao jatuh pertama dengan luka dalam di dadanya, matanya membelalak dengan shock dan ketidakpercayaan, dan ia mencoba bilang sesuatu tapi yang keluar hanya darah yang mengalir dari mulutnya sebelum ia jatuh dan tidak bergerak lagi.
"Tidak!" Didi Xiao berteriak dan mencoba menyerang dengan semua kekuatan yang ia punya, tapi ia terlalu muda dan terlalu lemah dan terlalu traumatized, dan pedang Mo Tianran menemukan tenggorokannya dengan presisi yang mengerikan, dan anak termuda di antara mereka jatuh dengan tangan mencengkeram lehernya sendiri dalam usaha sia-sia untuk menghentikan darah yang mengalir.
Liu Chen dan Liang Xue sekarang sendirian menghadapi monster yang dulunya guru mereka, dan mereka berdiri punggung ke punggung sambil mencoba bernapas walau paru-paru mereka terasa seperti tidak bisa mendapat cukup udara.
"Liang Xue," bisik Liu Chen dengan suara yang sangat tenang walau ia pasti sama takutnya, "Kau harus lari, aku akan mencoba menahannya."
"Jangan bodoh," Liang Xue menjawab walau air matanya mengalir tanpa bisa ia kontrol, "Kita lari bersama atau mati bersama."
"Tidak ada yang akan lari," kata Mo Tianran sambil berjalan perlahan mendekat seperti pemburu yang tahu mangsanya sudah terpojok, "Dan tidak ada yang akan mati kalau kalian berhenti melawan, Guru hanya butuh Liang Xue hidup untuk ritual, yang lain..." ia menatap mayat Shixiong Tao dan Didi Xiao dengan tatapan yang mungkin penyesalan, "Yang lain sudah memberikan kontribusi mereka."
Ada sesuatu di dalam Liang Xue yang pecah ketika mendengar kata-kata itu, sesuatu yang sudah retak sejak ia melihat mayat pertama tapi masih bertahan dengan susah payah, dan sekarang akhirnya hancur sepenuhnya menjadi serpihan-serpihan yang tajam yang merobek dari dalam.
Dan dengan kehancuran itu datang sesuatu yang lain.
Panas.
Panas yang luar biasa yang datang dari dadanya, dari tempat di mana ibu bilang ada sesuatu yang berbahaya, dan Liang Xue merasakan sesuatu yang sudah tidur selamanya mulai bangun dan meregangkan tubuhnya, dan ada suara di kepalanya yang berbisik dengan suara yang terdengar seperti ribuan suara sekaligus.
"Kau memanggil kami, anak darah."
Dan dunia berubah menjadi merah.
