BAB 1 Pagi Terakhir
Matahari belum sepenuhnya naik ketika Liang Xue keluar dari kamar. Udara pagi masih dingin, menggigit kulit seperti jarum es kecil. Ia menutup pintu pelan, sangat pelan, karena Kakak Liu Chen di kamar sebelah masih tidur. Kemarin dia latihan sampai tengah malam, dan Liang Xue ingat bagaimana dia hampir jatuh dari atap karena terlalu lelah.
Koridor sekte masih sepi. Hanya suara angin yang menyapu daun-daun kering di halaman. Liang Xue suka jam-jam seperti ini. Sebelum semua orang bangun. Sebelum hiruk-pikuk latihan dimulai. Sebelum dia harus berpura-pura lebih kuat dari yang sebenarnya.
Ia melepas sepatu di tepi tangga, merasakan dinginnya batu di telapak kaki. Kebiasaan aneh, kata Liu Chen. Tapi Liang Xue tidak peduli. Batu dingin membuatnya berpikir lebih jernih. Membuatnya merasa nyata.
"Bangun pagi lagi?"
Liang Xue nyaris melompat. Ia menoleh, melihat Mo Tianran berdiri di ujung koridor. Gurunya. Jubah ungu tua berkibar lembut walau tidak ada angin. Matanya, mata yang biasa tegas dan tajam, kali ini terlihat lembut.
"Guru." Liang Xue membungkuk cepat, hampir terlalu cepat sampai dahinya nyaris membentur tangannya sendiri. "Maaf, murid tidak tahu Guru sudah bangun."
Mo Tianran tidak menjawab langsung. Ia melangkah mendekat, dan entah kenapa setiap langkahnya terdengar terlalu jelas. Terlalu berat. Seperti setiap tapak kaki membawa beban yang tidak terlihat.
"Kau suka pagi hari." Bukan pertanyaan. Pernyataan.
"Ya, Guru."
"Kenapa?"
Liang Xue mengangkat kepala, bingung. Gurunya tidak pernah bertanya hal-hal seperti ini. Biasanya hanya: "Latihanmu bagaimana?" atau "Sudah menguasai teknik itu?"
"Karena..." Ia mencari kata-kata. "Tenang. Sebelum semuanya mulai."
Mo Tianran menatapnya. Lama. Terlalu lama. Sampai Liang Xue merasa ada yang merayap di tengkuknya. Bukan bahaya. Tapi kesedihan.
"Kau murid yang baik, Liang Xue."
Jantungnya melompat. Guru tidak pernah memuji seperti ini. "Terima kasih, Guru."
"Terlalu baik." Mo Tianran berbalik, mulai berjalan menjauh. "Kadang Guru khawatir dunia akan memakanmu."
Liang Xue terdiam. Tidak tahu harus menjawab apa.
"Besok," kata Mo Tianran tanpa menoleh, "kita akan ke Gunung Hitam. Ada misi penting."
"Misi?"
"Ya. Misi terakhir sebelum kau naik tingkat."
Seharusnya Liang Xue senang. Tapi ada sesuatu di nada suara Gurunya yang membuat perutnya bergejolak. Seperti makan sesuatu yang hampir basi. Tidak benar-benar sakit, tapi tidak enak.
"Guru..." Ia tidak tahu kenapa bertanya ini. "Apakah semuanya baik-baik saja?"
Mo Tianran berhenti. Bahunya tegang.
"Kenapa kau bertanya?"
"Tidak... tidak apa-apa. Murid hanya..."
"Semuanya baik-baik saja." Tapi suaranya datar. Seperti baca mantra. "Tidurlah lagi, Liang Xue. Besok akan jadi hari yang panjang."
Ia menghilang di ujung koridor. Meninggalkan Liang Xue sendirian dengan batu dingin di bawah kakinya dan perasaan tidak enak di perutnya yang tidak mau pergi.
Ia menatap langit. Masih gelap. Tapi ada garis merah tipis di cakrawala. Seperti langit berdarah.
Liang Xue kembali ke kamarnya tapi tidak tidur. Ia duduk di tepi ranjang, menatap tangannya sendiri. Di bawah cahaya lilin yang redup, tangannya terlihat bersih. Tapi dalam kepalanya, ia melihat yang lain.
Darah.
Selalu darah.
Sejak kecil, ia punya mimpi yang sama. Berulang. Seperti kenangan yang bukan miliknya tapi entah kenapa ada di kepalanya. Dalam mimpi itu, ia berdiri di atas gunung. Tapi bukan gunung batu. Gunung dari mayat. Ribuan mayat. Dan ia tertawa. Tawa yang tidak punya suara tapi ia tahu itu tawanya. Matanya kosong. Tangannya penuh darah sampai siku.
Setiap kali bangun dari mimpi itu, tangannya selalu berdarah. Tidak ada luka. Tapi darahnya nyata. Ibu selalu membersihkannya sambil menangis.
"Xue'er," bisik ibunya suatu malam, tepat sebelum ia mati karena sakit yang tidak bisa disembuhkan. "Kau punya sesuatu di dalam dirimu. Sesuatu yang berbahaya."
"Apa itu, Bu?"
Ibu tidak menjawab langsung. Ia hanya menatap Liang Xue dengan mata yang basah. "Jangan pernah mengejar kekuatan. Orang seperti kita, kalau terlalu kuat, kita kehilangan diri sendiri."
"Apa maksud Ibu?"
"Janji pada ibu. Jangan pernah jadi yang terkuat. Jangan pernah..."
Tapi ibu tidak sempat menyelesaikan kalimatnya. Ia mati malam itu dengan tangan masih memegang tangan Liang Xue.
Sejak itu, Liang Xue takut. Takut pada mimpi buruknya. Takut pada darah yang muncul tanpa luka. Takut pada sesuatu di dalam dirinya yang ia tidak mengerti.
Ketika ia masuk Sekte Dewa Petir tiga tahun lalu, bukan karena ia ingin jadi kultivator hebat. Ia masuk karena takut. Ia pikir kalau bisa belajar mengendalikan qi, mungkin ia bisa mengendalikan apa pun yang salah dengan dirinya.
Jadi ia sengaja tidak pernah latihan terlalu keras. Tidak pernah naik tingkat terlalu cepat. Ia pilih teknik kultivasi yang paling aman. Paling moderat. Paling normal.
Dan selama tiga tahun, strateginya berhasil. Mimpi buruk datang lebih jarang. Darah di tangan berhenti muncul. Ia mulai percaya mungkin ia salah. Mungkin ibu terlalu khawatir. Mungkin ia bisa hidup normal seperti orang lain.
Tapi tadi malam, mimpi itu datang lagi. Setelah berbulan-bulan tidak muncul.
Gunung mayat. Tawa tanpa suara. Mata kosong.
Dan ada yang baru kali ini. Suara.
Suara yang berbisik di telinganya dalam mimpi: "Sudah waktunya bangun."
Liang Xue tidak tahu apa artinya. Tapi ia merasa seperti ada hitungan mundur yang sudah dimulai. Hitungan mundur untuk sesuatu yang buruk.
Ketukan di pintu membuat ia tersentak.
"Liang Xue, kau sudah bangun?" Suara Liu Chen. Ceria seperti biasa.
Ia membuka pintu. Liu Chen berdiri di sana dengan rambut acak-acakan dan senyum lebar.
"Tentu saja kau sudah bangun," kata Liu Chen sambil tertawa. "Kau selalu bangun sebelum semua orang. Aku tidak tahu kau tidur atau tidak."
"Aku tidur," bohong Liang Xue.
"Ya, ya. Anyway, kau dengar tentang misi besok?"
Liang Xue mengangguk.
"Gunung Hitam!" Liu Chen terlihat excited. "Aku tidak pernah ke sana. Kata Kakak Wei tempatnya seram tapi mungkin ada artefak kuno."
"Kau tidak takut?"
"Takut kenapa? Guru yang memimpin. Kita akan baik-baik saja." Liu Chen menepuk bahu Liang Xue. "Lagipula kau yang jadi pemimpin tim kedua. Aku ikut timmu. Jadi aku merasa aman."
Liang Xue tidak merasa ia bisa membuat siapa pun aman. Tapi ia tidak bilang itu.
"Ayo sarapan," ajak Liu Chen. "Kalau kita terlambat, Jiejie Ling akan ngambek lagi."
Mereka berjalan ke ruang makan bersama. Koridor mulai ramai dengan murid-murid lain yang bangun. Semua orang terlihat normal. Semua orang tertawa dan bercanda. Tidak ada yang tahu bahwa besok dunia mereka akan berubah.
Tidak ada yang tahu kecuali Liang Xue.
Karena perasaan di perutnya tidak hilang. Malah semakin kuat. Seperti ada sesuatu yang menunggu. Sesuatu yang jahat.
Ia menatap tangannya lagi. Bersih. Tidak ada darah.
Tapi dalam hatinya, ia tahu. Besok, tangannya akan berdarah lagi.
Dan kali ini, darahnya tidak akan hilang.
