SH - 6
Meski pria itu terlihat santai dan biasa saja, kali itu adalah kencan pertama dan terakhir mereka. Ricky bilang bahwa dirinya akan menghubungi Dayana kembali dan mereka harus jalan barengo lagi lain waktu. Nyatanya, pria itu tidak pernah menghubungi Dayana lagi. Beberapa hari kemudian, Diana menelepon Dayana dan bertanya.
“Sepupu gue lo apain, Beb?”
“Maksudnya?”
“Masa dia bilang kalian nggak cocok? Kok bisa?”
Diam-diam Dayana tersenyum senang. Ternyata triknya ampuh. “Lah, kenapa nggak bisa, sih? Ya berarti gue bukan tipe ceweknya Ricky, kali.”
Diana terdiam sebentar. “Beneran lo nggak aneh-aneh?”
Dayana tergelak. “Ya ampun, Di, lo udah kayak Debby, tahu. Over thinking aja kerjaannya.”
Dua kencan yang gagal lalu mereka menyerah? Jelas tidak. Dayana sudah bersiap dengan kemungkinan terburuk itu menilik watak sahabat-sahabatnya. Satu demi satu kencan dia lewati, dan sejauh ini, semuanya berjalan sesuai harapannya.
Pria ketiga, seorang jurnalis, dan kencan itu gagal karena Dayana mengeluh pria itu terlalu banyak omong. Satu setengah jam kencan terasa seperti pidato politik atau kuliah di jurusan ilmu politik — kebetulan pria itu bertugas di desk politik. Selain Dayana tidak paham topiknya, Dayana juga bosan luar biasa — sementara pria itu sepertinya tidak belajar membaca gestur teman kencannya karena terus mengoceh sampai Dayana mengeluh ngantuk.
Pria keempat, seorang dosen di perguruan tinggi negeri, mirip dengan Ricky yang mundur pelan-pelan dan menghilang setelah tahu alasan Dayana mau kencan buta. Pria kelima, seorang dokter gigi, dinilai Dayana sedikit kurang sopan karena terus-terusan menatap rok pendeknya saat mereka bicara. Pria keenam, seorang IT Developer, Dayana bilang terlalu pendiam, sampai-sampai Dayana kelelahan putar otak cari topik pembicaraan agar mereka tidak berujung diam-diaman selama kencan. Pria ketujuh, Dayana bilang terlalu boros dan punya kecenderungan flexing. Hingga akhirnya, saat chat Debby meledak marah di grup Cuan Ladies.
Debby Maharani:
LO MAUNYA APA SIH DAY KE NAPA GAK ADA YG BERES?! SEMUA AJA LO TOLAK! GUE GAK MAU TAU NANTI KETEMU DI YOUR DADDY KITA BAHAS SAMPAI TUNTAS
Saat itu, Dayana baru saja selesai rapat mingguan dengan tim sales. Senyum gelinya terbit membaca chatHilda yang penuh amarah. Dia hanya menjawab “Ok” lalu bergegas menuju lokasi meeting dengan klien untuk mengejar project bernilai 300 juta.
***
“Bisa-bisanya tujuh laki nggak ada yang nyangkut?!” gerutu Debby. “Selera lo yang kayak apa,sih?!”
Hari ini benar-benar menjadi hari sidang etik bagi Dayana. Sepulang kerja, dia ke Your Daddies — kafe langganan mereka berempat — dan di sana ketiga sahabatnya sudah menunggu dengan ekspresi penuh penghakiman.
“Yang seru,” jawab Dayana.
“Main PUBG sana kalo mau seru!”
“Yang nggak lebay. Yang sopan, lucu, santai, ganteng, trendi, seksi, kaya raya, mandiri, dewasa, baik hati, lembut, nggak suka ngebentak, royal, nggak cerewet, nggak cringe, nggak neko-neko, senyumnya sopan, nggak jelalatan, nggak banyak omong tapi juga nggak terlalu diam —”
“Dayday,” potong Lina dengan suara ringan. “Lo sengaja, ya?”
Dayana mengerutkan dahi. “Sengaja apa, Na?”
Sebenarnya dia agak terkejut. Namun, sejak dulu Dayana merasa Lina itu wujud dari pepatah air tenang menghanyutkan. Meski seringnya terlihat polos dan clueless, Lina sering menebak sesuatu dengan jitu. Dayana sering curiga bahwa sahabatnya yang satu ini genius. Mungkin kapan-kapan Dayana perlu menanyakan skor IQ Lina.
“Nah! Iya! Gue juga ngerasa gitu, Na!” Debby terpancing. “Bener! Gue rasa lo sengaja bikin keluhan ini itu biar gagal semua. Ya, kan?”
‘Tentu saja,’ batin Dayana.
“Ih, apaan, sih?” Dayana pura-pura tidak terima.
“Nggak, ya! Gue kan cuma mengungkapkan apa yang gue rasakan. Emang apa anehnya dengan mencoba kencan lalu nggak cocok? Masa iya gue harus selalu cocok yang lo sodorin? Mureeeh bener dong gue?”
“Masalahnya udah tujuh orang dan nggak ada yang bener!”
“Ya berarti emang nggak bisa dipaksain, Debby sayaaaang. Namanya juga masalah hati. Mungkin yang gue perluin bukan perjodohan-perjodohan kayak gini, melainkan sosok yang datang secara natural ke hidup gue.”
“Tuh, kan!” Debby menjentikkan tangan bersemangat. Lalu dia menoleh kepada Diana dan Lina. “Kalian lihat, kan? lni anak emang sengaja. Dia pikir kalau nggak ada yang berhasil, kita bakalan cepat nyerah gitu aja, Guys. Oh, no, Baby. Nooo!” Kali ini Debby mengacungkan telunjuknya di depan muka Dayana dan menggoyang-goyangkannya dengan ekspresif. “Gue nggak bakalan nyerah. Lo lihat aja, Day. Tujuh orang lo tolak, gue bakal cariin tujuh puluh orang lagi!”
Sumpah Debby lumayan meresahkan Dayana, tetapi dia memasang tampang cool dengan mengedikkan bahu. Dayana yakin Debby dan yang lain tetap punya limit kesabaran. Yang penting, Dayana tetap dengan trik awalnya.
Satu, cari kelemahan apa saja dari laki-laki itu yang membuatnya tidak bisa diterima.
Dua, jika tidak ketemu, langsung ke cara utama yaitu menunjukkan seberapa matre dirinya dengan mengungkap alasan utama mau kencan buta.
“Gue punya satu kandidat yang gue rasa bakalan memenuhi segambreng kriteria Dayana tadi,” Debby berkata dengan nada serius. “Kalau ini laki-laki ditolak juga, gue rasa Dayana beneran sengaja.”
‘Here we go, they did it again.’ Dayana menyipitkan mata. Debby, Diana, dan Lina mulai berdiskusi tentangnya, seolah-olah Dayana tidak ada di sana. Dayana jadi kesal. Kalau maunya begitu, kenapa dia harus disuruh datang ke sini juga?
“Siapa, Beb?” tanya Lina antusias.
“Narendra.”
“Maksud lo, Narendra Hutama?” tanya Diana.
“Yup...”
“Cuy, yang benar aja?” Diana langsung menyipitkan alis, menatap Debby dengan ekspresi sangsi. Berikutnya, dengan sedikit keberatan, dia bertanya. “Masa dia?”
“Why not?” Debby mengangkat alis. “Naren Oke.”
“Tapi gosipnya…”
Debby mengibaskan tangan. “I know him. Nggak semuanya benar.”
Dalam sikap pura-pura cool-nya, Dayana diam-diam penasaran siapa laki-laki yang Debby dan Diana perdebatkan.
“Tunggu-tunggu,” Lina mengangkat tangannya.
“Somebody please tell me… Naren siapa sih? Nggak mungkin Naren yang atasan lo itu kan, Deb?”
“Yup. Dia.”
“Serius lo?” Lina ikut-ikutan membeliak.
“Yup.”
Oh, dia, pikir Dayana. Meski belum pernah bertemu, Debby memang cukup sering bercerita tentang atasannya di kantor. Kebanyakan sih berisi caci maki khas bawahan ke atasan. Dayana juga sering melakukan itu kepada Enrico, bosnya di kantor.
“Ih, kalau Naren gue juga mau!” Lina mengikik genit.
Diana menegur Lina melalui pandangan matanya. Namun, Lina hanya tergelak.
“Ganteng, kariernya bagus, seksi — Oh yeah, gue harus mengakui kalau doi emang seksi abis. Kalau nggak ada Danis, udah gue sikat juga dia. Lucu, fun, santai, royal — gue rasa — dan yang jelas bertanggung jawab. Kerjaannya beres semua.”
“Gue setuju Dayana coba kencan sama Naren!” putus Lina semangat.
Debby mengangguk puas, lalu berpaling pada Diana. “Kalau lo, Bund?”
Diana masih terlihat keberatan, tetapi akhirnya mengangguk juga.
“Oke. Sudah diputuskan. Kandidat jodoh Dayana berikutnya adalah Naren.”
“Tapi emang doi jomlo, Deb?” tanya Lina tiba-tiba.
“Good question!” dukung Diana.
“Setahu gue sih jomlo.” Debby berpikir sebentar.
“Tapi gue bakal cek dulu buat make sure.”
“Tunggu, tunggu.” Dayana memotong sembari mengangkat tangan, saat dia menemukan keping memori dalam ingatannya tentang Naren yang sering disebut-sebut Debby. Meski dia tidak peduli siapa pun yang harus dia kencani, dia benci karena hak bicaranya tidak berfungsi. “Gue ingat ini Naren yang sering lo katain fuck boy, kan? Bukannya lo bilang dia berengsek?”
Debby menatapnya sengit. “Gue kasih laki-laki-laki-laki baik, semuanya lo lepehin. Sekarang gue kasih lo laki-laki berengsek, biar next time gue kasih laki-laki baik, lo bisa lebih bersyukur!”
Dayana berdecak kesal. Kadang-kadang dia sulit memahami pemikiran Debby. Namun, dia memilih diam saja. Lagi pula, tidak ada gunanya terlalu mendebat atau bersikeras. Yang penting kan dia menuruti permintaan Debby. Toh, dia sudah punya trik yang ampuh.
“Serah, deh.”
OkeIah, Dayana akan mengencani Naren siapalah itu.
