SH - 5
“Halo. Dayana, ya? Saya Firman.”
Pria dengan setelan casual nan rapi itu menyambutnya dengan senyum lebar yang memamerkan barisan gigi putihnya. Mau tidak mau, Dayana juga harus melakukan hal yang sama demi kesopanan.
“Debby sudah cerita banyak soal kamu. Makasih, ya, sudah mau datang malam ini.” Lagi-lagi senyum tiga jari.
Pria pertama yang Debby sodorkan kepadanya bernama Firman, pegawai Kejaksaan Tinggi yang usianya dua tahun di atas Dayana. Kata Debby, mereka bertemu di klub sepeda sehat beberapa tahun lalu, dan Debby mempromosikan Firman sebagai pria matang dan menjanjikan, PNS menantu idaman calon mertua.
Dayana sempat mengerutkan dahi dan berpikir sejenak saat mendengar rekomendasi Debby. Pikirnya, sahabatnya itu pasti lupa bahwa Dayana tidak punya ‘orangtua’. Label nama itu ada, namun sejak lama kehadiran dan peran mereka tidak pernah Dayana rasakan dalam hidupnya.
“Mas Firman kok bisa kenal sama Debby?” Dayana bertanya, hanya basa-basi saja, karena toh dia sudah tahu semua ceritanya dari Debby.
“Kami bertemu di club sepeda, aku baru gabung trus Debby yang jadi koordinator wilayah,” jawab Firman, persis seperti yang Debby ceritakan.
“Kalau Dayana sendiri, biasanya waktu luang dihabiskan buat apa?”
“Tidur,” jawab Dayana sembari tertawa. “Kalau nggak main game aja seharian.” Jurus pertama Dayana keluarkan untuk membuat laki-laki ini ilfell.
“Wah, itu pasti karena sudah terlalu capek kerja, ya? Memangnya jam kerja Dayana sampe malam-malam gitu ya?”
“Begitulah.”
Dayana menangkap sosok Firman ini sebagai sosok yang kaku, kemungkinan besar karena terbawa profesi sehari-harinya di Kantor Kejaksaan. Secara penampilan, dandanan Firman ini cukup oke. Style-nya meskipun casual tapi tetap rapi dengan kemeja lengan panjang dan celana denim gelap. Rambutnya juga disisir rapi dengan pomade, dan setiap kali berbicara tutur katanya selalu tertata dengan santun. Namun, penampilan bukan sesuatu yang Dayana jadikan patokan.
“Dayana, kamu suka nonton film nggak?” tanya Firman lagi.
“Tergantung film-nya. Saya cuma ke bioskop kalau ada film yang benar-benar pengin saya tonton.” Nah, kan? Dayana mengutuk dalam hati. Tanpa sadar, dia juga ikut-ikutan formal.
“Mau nonton film setelah ini?” tawar Firman lagi.
“Ada film apa?”
Lantas Firman mulai menyebutkan judul-judul film yang sedang tayang di bioskop beserta synopsis singkatnya. Agaknya, selain hobi bersepeda, Firman juga hobi nonton di bioskop.
Dayana berusaha keras untuk terlihat antusias, meskipun dari penjelasan singkat Firman, tidak ada film yang masuk daftar tontonnya. Sembari mendengarkan, tangan Dayana terulur untuk mengambil tisu. Saat itu, Firman juga melakukan hal yang sama, sehingga tangan mereka pun bersentuhan di kotak tisu.
“Eh, maaf!” kata pria itu, segera menarik tangannya.
Dayana mengerutkan kening. Sebuah pemikiran terpantik dalam benak Dayana, tetapi dia buru-buru menepisnya. Alih-alih, dia hanya tersenyum.
Setelah makan malam, Dayana sepakat untuk nonton film bergenre keluarga. Itu pilihan yang paling mendingan dibanding yang lain. Kebetulan ada bioskop di mall tempat mereka makan malam. Jadi, Dayana dan Firman hanya perlu naik ke lantai tiga.
Sepanjang perjalanan, Firman bercerita cukup banyak tentang pekerjaannya. Dia juga cerita tentang keluarganya—Firman anak sulung dari tiga bersaudara. Kedua adiknya sudah nikah duluan.
“Kalau Dayana? Anak tunggal?”
Dayana menggeleng. “Saya punya kakak perempuan. Tapi udah berkeluarga. Jarang ketemu juga.”
“Orangtua?”
Dayana mengernyit sedikit ketika merasakan sentuhan tipis di pinggul belakangnya.
“Nggak ada,” jawab Dayana. “Satu mati, satu nggak tahu ke mana.”
“Maksudnya?”
Dayana terdiam sebentar. Sebenarnya, topik soal keluarga adalah topik yang paling dibencinya. Dayana jarang merasa insecure atau kurang percaya diri, tetapi topik tentang keluarga membuatnya seperti sebuah kertas usang yang bolong di banyak sisi. Tidak berfungsi.
“Gitu deh pokoknya. BTW, Mas Firman kenapa mau ikutan blind date kayak gini?” tanya Dayana, mengubah topik pembicaraan.
Firman tertawa kecil. “Saya sudah kelamaan jomblo. Nggak sempat, sih, lagi banyak kasus yang harus ditangani di kantor. Jadi, waktu Debby bilang mau ngenalin saya sama sahabatnya, ya why not?”
Pria itu menerangkan. Sembari menatap Dayana, Firman tersenyum. “Kalau Dayana? Debby bilang, Dayana mirip sama saya. Terlalu sibuk kerja, sampai lupa cari jodoh. Wah, saya jadi makin berminat.”
Saat itu, usapan di bagian belakang tubuhnya kembali terasa dan kali ini sangat nyata. Firman benar-benar menyentuh pangkal pinggul, tepat di bokong Dayana. Sontak Dayana berhenti.
“Mas Firman,” katanya. “Mlaaf, kayaknya nggak jadi nonton,” putusnya.
“Lho, kenapa?” tanya Firman bingung.
“Saya baru ingat kalau hari ini ada janji sama Dokter Gigi.” Dayana mengarang alasan. “Udah reservasi dari awal minggu. You know terlalu sibuk kerja, urusan kesehatan juga keteteran.”
Dengan sangat terpaksa, Dayana mengulas senyum ramah di wajahnya ketika pamit untuk pulang duluan. Dia mengabaikan ajakan Firman untuk bertemu lagi di lain waktu. Dayana jengkel bukan kepalang. Insiden kotak tisu di restoran tadi sebenarnya sudah sempat membuat Dayana curiga. Pria itu sengaja menyentuh tangannya. Kecurigaannya terbukti dengan kelancangan Firman menyentuhnya tanpa izin. Dayana tidak masalah dengan love Ianguage jenis physical touch, dia juga tidak akan bersikap sok suci seolah tidak pernah melakukan sentuhan-sentuhan seperti ini. Namun, tidak di pertemuan pertama. Yang benar saja?
Di dalam mobilnya yang masih terparkir di mal, Dayana menelepon Debby dan langsung memuntahkan emosinya.
“Gila! Baru kenal udah berani grepe-grepe!” gerutu Dayana. “Kesel banget gue!”
“Grape-grepe gimana, sih, Day?” tanya Debby bingung. “Masa, sih? Setahu gue dia sopan orangnya.”
“Omongannya sopan, tangannya kagak!”
Lantas Dayana menceritakan apa yang terjadi sebelumnya dengan menggebu-gebu.
“Dia pengin cepat akrab aja, kali?” tebak Debby.
“Lagian tumben lo rewel? Biasanya lo sama Will juga rangkul-rangkulan.”
Will adalah adik Debby yang berbeda usia 4 tahun. Sejak dulu mereka masih kuliah — Will duduk di bangku SMA — laki-laki itu memang sering ikut nongkrong kakaknya. Lama-lama Will jadi akrab juga dengan Dayana, Diana, dan Lina.
“Ya beda, dong! Gimana sih lo? Will udah gue kenal sejak masih puber. Gue aja tahu gimana bau ketek Will.”
Debby mendengus jijik.
“Tapi doi kan baru kenal, Deb. Baru ketemu sekali. Nggak sopan!”
Kali ini Debby tertawa. “Iya deh, iyaaa. Oke, Firman nggak cocok? Tenaaang. Gue udah siapin kandidat lain.”
Dayana mencibir. “Lo punya dendam apa sih sama gue, Deb? Sepenuh hati banget jadi mucikari.”
Masih sambil tertawa, Debby menjawab. “Sabar. Nanti lo bakal berterima kasih sama gue, bestie.”
***
Pria kedua yang harus Dayana kencani bernama Ricky. Dia seorang junior arsitek yang usianya dua tahun lebih muda dari Dayana. Konon, pria yang merupakan rekomendasi dari Diana ini adalah sepupu Arlo — suami Diana.
Kesan pertama yang muncul di benak Dayana, pria ini slengean. Ricky memakai celana jeans dan t-shirt lengan panjang. Rambutnya nggak bisa dibilang gondrong, tetapi dibiarkan memanjang hingga mencuat di balik telinganya. Senyumnya juga terlihat santai seolah kencan buta ini semacam nongkrong bareng teman saja.
Ricky cukup good looking dan pembawaannya juga santai. Dayana sempat merasa senang dengan kandidat yang satu ini. Mereka sudah ngobrol tentang banyak hal dan cukup nyambung, meski hal itu nggak lantas membuat Dayana tiba-tiba pengin menjalin hubungan. Namun, usia lebih muda dan gaya slengean nan santai, semua itu menipu.
“Gue udah merasa siap untuk berkeluarga, sih,” jawab Ricky lugas, saat Dayana bertanya kenapa dia mau kencan buta dengan orang asing. “Kerjaan lumayan prospektif, tabungan ya cukup buat beli rumah minimalis modern. Rumah dan kendaraan sendiri juga udah ada meski masih cicilan. So, kenapa enggak? Lagian gue anak tunggal. Orangtua gue udah pengin cepat-cepat nimang cucu.”
Jujur saja, Dayana agak shock mendengar jawaban itu. Ada sedikit perasaan ngeri saat dia membayangkan apa yang Ricky pikirkan ketika berangkat ke kafe tempat mereka janjian ketemu. Dayana penasaran, apa Diana bahkan sempat memberi brief pada sepupu iparnya ini tentang manusia macam apa yang akan ditemuinya di kencan ini?
“Jadi, lo punya ekspektasi hubungan yang serius, ya?” Dayana berusaha mengonfirmasi.
Ricky tersenyum. “Iya, dong. Lo juga kan, Day? Gue rasa, usia-usia kita ini kan udah bukan waktunya buat main-main 1agi.”
Dayana menelan ludah kecewa. Padahal sebenarnya Ricky cukup asyik dan seru. Dayana juga tidak menemukan kesalaham fatal dalam diri Ricky seperti Firman. Dayana bahkan sempat berharap cukup banyak mereka bisa berteman. Namun, perbedaan ekspektasi itu sangat mengerikan, jadi, Dayana memutuskan untuk menjatuhkan bomnya.
“Ricky, sebelumnya gue minta maaf, nih.” Dayana memasang ekspresi merasa bersalah yang dibuat-buat. Sebenarnya, dia tidak merasakan apa pun. Tidak menyesal, tidak pula ragu-ragu.
“Eh, kok tiba-tiba. Soal apa, Day?”
“Gue ngerasa bersalah karena ekspektasi lo ternyata begitu. Jujur aja, gue terima tawaran kencan buta ini demi uang.”
“Demi uang?”
Dayana mengangguk dan memasang ekspresi serius. “Temen gue muh hibahin properti dia ke gue selama setahun, asalkan gue mau kencan buta. Lo pria kedua yang gue kencani sejauh ini. Yang pertama gagal total. Dan gue nggak berencana membentuk keluarga dalam waktu dekat. Jadi, walaupun lo seru dan menyenangkan, gue nggak
berniat nikah sama lo.”
Awalnya Ricky terlihat bingung, lalu terkejut, lalu pria itu tersenyum.
“Oh, gitu. lya, santai aja, Day. Selow gue mah.”
