SH - 4
‘Memangnya apa lagi yang diinginkan oleh seorang lajang dan semi sebatang kara seperti aku?’ Dayana bermonolog dengan bayangannya di depan cermin di dalam kamar mandinya.
Memilih hidup sendiri di apartemen, alih-alih belajar hidup mandiri, sebenarnya Dayana hanya menjauhkan dirinya dari segala hal yang membuatnya trauma yang membentuk pribadinya saat ini. Seperti yang selalu dia tanamkan dalam benaknya, semi sebatang kara, Dayana hanya memiliki ketiga sahabatnya sebagai tempatnya berbagi rasa, entah itu tawa, tangis, sedih maupun bahagia.
Kedua orangtua Dayana tidak mewariskan apa pun padanya, baik harta maupun kenangan. Hanya kebencian dan keteguhan untuk tidak hidup kekurangan, dua hal yang selalu ia temukan dalam lingkungan yang orang bilang sebagai keluarga. Bahkan, “Mama” adalah kata yang paling dibenci Dayana. Saat orang lain menggunakan kata “Mama” untuk referensi simbol kasih sayang dalam keluarga, sedang bagi Dayana, kata itu hanya berarti satu hal – ditinggalkan.
Pemikiran tentang kasih sayang membuatnya teringat obrolannya dengan geng Cuan Ladies beberapa hari yang lalu. Dayana teringat tentang tawaran Debby, yang setidak masuk akal apa pun. Dia sudah memikirkannya selama beberapa hari ini. Dengan jengkel, Dayana melontarkan ribuan pertanyaan dan sumpah serapah di kepalanya sendiri, tentang mengapa orang lain harus meributkan soal ini.
Memangnya apa anehnya bila dia menghindari segala bentuk hubungan romantis antar manusia? Kenapa hal itu begitu mengganggu teman-temannya? Padahal, Dayana punya alasan kuat mengapa dirinya mengambil keputusan itu, dan teman-temannya pun tahu. Jadi, mengapa mereka memaksa?
'Mereka cuma khawatir,' bisik sisi hatinya yang lain, yang lebih bijak, yang lebih tenang. 'Bukannya lo udah tahu kalau lo nggak bisa ngandelin mereka selamanya, Day?'
Itu benar. Waktu berlalu, dan hidup semakin berubah. Dulu mereka adalah anak muda yang menikmati kebebasan, mencoba berbagai cara menikmati hidup, menjadi partner dalam melakukan hal-hal buruk sekaligus saling menjadi bahu bagi masing-masing saat dibutuhkan. Mereka adalah empat sekawan tak terpisahkan.
Namun, bukankah kebersamaan yang abadi itu bullshit semata? Semua orang waras juga tahu bahwa tidak ada yang abadi dalam kehidupan ini. Suatu saat manusia akan dihadapkan pada yang Namanya perpisahan.
Dimulai dari Diana yang menikah muda di usia 25 tahun. Perlahan-lahan, sahabatnya itu mulai jarang ikut berkumpul karena sibuk mengurus suami dan anaknya yang masih bayi. Tak apa, karena masih ada Lina dan Debby yang bisa ditelepon dan diajak party setiap malam. Lantas, tiga tahun kemudian Lina jatuh cinta setengah mati dengan seorang dokter yang berusia dua tahun lebih muda darinya. Hanya pacaran tiga bulan, Lina pun menikah. Meski hingga kini belum memiliki keturunan, jadwal Lina juga penuh agenda berkumpul dengan keluarga besar. Ulang tahun mertua, tujuh bulanan sepupu suami, belanja bareng kakak ipar, ini itu banyak sekali.
Tinggal Debby yang masih lajang, dan sebentar lagi, Debby pun akan menjadi Nyonya Boyke Rahardian. Lantas, Dayana akan sepenuhnya sendirian. Meski terlihat cool, sebenarnya beberapa kali hal ini membuat Dayana resah juga.
'Itu normal,' bujuk Dayana dalam hati.
Begitulah hidup berjalan. Sedekat apa pun persahabatan mereka, pada akhirnya akan tiba di masa masing-masing sibuk dengan urusan keluarga. Wajar bila akhirnya Debby dan yang lain khawatir, sebab, sejak awal Dayana sudah memutuskan untuk tidak membentuk keluarga.
Dayana menghela napas panjang, lantas berdiri dan memutuskan untuk melanjutkan acara mandi yang sempat tertunda dengan lamunannya. Mungkin berendam dengan air hangat bisa meredakan lelah sekaligus membantunya berpikir jernih kembali.
Dayana mengisi bathtub dengan air hangat, menuangkan sabun dengan aroma favoritnya. Tak lupa dia menyulut sebuah lilin aromaterapi, dan memutar lagu-lagu favoritnya. Sebotol anggur dan gelas sudah siap di samping bathup, menjadi pelengkap kesenangan malam ini. Dayana merasa momen ini sangat ia perlukan untuk mengembalikan kewarasannya dari segala overthinking-nya belakangan ini.
“Kenapa orang masih butuh pacar, selama ada bathtub air hangat dan wine,” gumam Dayana saat menenggelamkan tubuhnya di bathtub sembari memejamkan mata.
Air hangat mulai membuat otot-ototnya rileks. Dayana membuka mata, lalu menyesap wine yang sudah dia siapkan. Lantas dia mengingat-ingat soal kisah cintanya yang tidak ada. Dayana tertawa, tentu saja tidak ada, karena memang selama ini ia tidak pernah menjalin hubungan dengan lawan jenis lebih dari garis pertemanan dan rekan kerja.
Benar juga. Tiga puluh tahun hidup di dunia, Dayana tidak pernah memiliki kekasih, meski Dayana juga tidak ingin menginginkannya. Dia normal, masih sangat normal untuk bisa menilai mana laki-laki tampan dan menarik. Hanya saja memang tidak kata ‘kencan’, ‘pacar’, ‘percintaan’ atau sejenisnya dalam kamus hidupnya.
Sejak dulu Dayana dikenal sebagai sosok yang keras kepala, ambius, tegas menjurus ke jutek. Saat kuliah, laki-laki-laki-laki enggan mendekatinya karena sifat “kurang ramah” tersebut. Kini, menjadi berkarier di bidang penjualan membuat Dayana jauh lebih ramah dan hangat. Namun, itu tidak lantas membuat pria-pria mendekatinya. Beberapa orang yang mengenalnya sering bilang,
“Gimana laki-laki mau deketin lo? Mereka itu udah minder duluan sebelum kenalan sama lo, Day. Emangnya lo nggak pernah ngaca, Day? Look at you. Smart, cantik, sukses, finansial oke punya. Lo udah punya semuanya di usia semuda ini pula. Apa coba yang bisa mereka tawarin? Harga diri laki-laki itu tinggi, Beb!”
Saat itu terjadi, Dayana hanya bisa mendumal dalam hati. ‘Ya, terus? Salah gue? Kenapa gue harus mikirin kepercayaan diri laki-laki juga? Apa gue harus jadi perempuan yang lemah, yang nggak bisa ngapa-ngapain, supaya laki-laki tergerak buat ngedeketin gue? Ya merekanya aja yang nggak punya value lebih’
Seingat Dayana, hanya ada satu pria yang cukup dekat dengannya — atau cukup nekat mendekatinya. Namanya Thomas, seniornya di kampus. Pada akhirnya Thomas juga menyerah karena Dayana terlalu tidak peka. Pura-pura tidak peka, tepatnya. Karena begitu menyadari niat di balik kebaikan seniornya, Dayana mengeluarga ribuan jurus untuk menghalau seniornya itu dari kehidupannya.
Sungguh, Dayana tidak keberatan dengan hal itu. Dayana selalu baik-baik saja. Kesendirian tidak mengusiknya, dan dia tidak merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Tidak ada kekosongan dalam dirinya yang perlu diisi, seperti kata orang- orang di film atau novel. Dayana selalu merasa cukup dengan dirinya sendiri, dan dia bahagia meski tidak ada orang yang bisa dilabeli pasangan olehnya.
“Buat sekarang sih iya.” Begitu kata Debby saat itu.
“Coba nanti kalau gue udah sibuk sama bocil-bocil. Atau nanti waktu lo udah umur 50-an dan punggung lo mulai sakit-sakitan. Kolesterol, gula darah, dan asam urat mulai berulah.”
Dayana juga sudah punya rencana untuk itu. Makanya dia bekerja sangat keras sekarang, untuk mengumpulkan banyak uang, mempersiapkan masa pensiun yang aman dan menyenangkan. Sehingga nanti saat dia tidak berada di usia produktif lagi, Dayana tinggal masuk ke panti jompo agar ada yang mengurusnya sampai ke liang lahat. Sederhana, bukan?
Tapi tawaran Debby terlalu sayang untuk dilewatkan, pikirnya. Kesampingkan dulu soal keinginan traveling keliling Eropa, tawaran Debby bisa jadi cara tepat memperkaya diri untuk seseorang yang materialistis seperti Dayana. Berapa banyak penghasilan yang akan dia dapatkan selama setahun? Itu akan menambah nominal tabungannya, mengisi pundi-pundi kekayaan, memenuhi misinya untuk jadi kaya. Jangan salahkan Dayana, karena Debby dengan senang hati memberikannya.
Semua itu hanya ditukar dengan kencan dengan seseorang. Bukan pertukaran sepadan, tapi lagi-lagi, bukankah sahabat tajirnya itu sendiri yang menawarkan?
Lagi pula, hanya kencan. Setiap kencan punya dua kemungkinan, bisa berhasil dan bisa gagal. Debby tidak mensyaratkan kencan yang berhasil, apa lagi sampai ke altar pernikahan. Hanya mencoba kencan. Apalah artinya makan malam atau nonton film sekali dua kali dengan seorang pria. Toh, dia selalu bisa beralasan tak ada kecocokan di antara mereka. Bagaimana jika Debby curiga karena Dayana terus bilang nggak cocok?
Sembari menyesap minumannya, Dayana tersenyum tipis. Gampang. Kalau begitu, Dayana tinggal membuat pria-pria itu yang merasa tak punya kecocokan dengannya.
‘Tuh, kan? Kamar mandi memang tempat berpikir paling mujarab.’
Dengan senyum mengembang, Dayana keluar dari bathtub dan meraih ponselnya yang diletakkan di meja wastafel. Tangan dengan ringan mencari kontak Debby, dan meneleponnya.
“What?” jawab sahabatnya itu cepat, dengan suara yang aneh dan deru napas yang bersusulan. “Penting, nggak? Kalau nggak, ntar aja, gue lagi sibuk!”
Enggan memikirkan Debby sedang apa karena dari suaranya saja sudah jelas apa yang sedang ia lakukan, Dayana segera mengatakan maksudnya.
“Gue setuju soal tawaran kemarin. Cepet kasih laki-laki yang lo rekomendasiin, dan jangan lupa akun AirBnB lo.”
