SH - 3
“Syaratnya cuma satu, Day. Lo harus kencan dengan seseorang.”
Dayana tidak segera menjawab, kembali menajamkan pendengarannya. Ia merasa pikirannya agak kurang jernih, sehingga tidak bisa menangkap kalimat Debby barusan. Apa mungkin karena pengaruh hangover? Bisa jadi.
“Maksudnya?” tanya Dayana memastikan, setelah dirinya berusaha untuk memahami syarat Debby, namun otaknya gagal menemukan jawaban.
“Iya Day, lo boleh pegang apartemen, boleh lo kelola aplikasinya, omset setahun full buat lo, tapi dengan syarat lo harus mau buat coba pacaran sama laki-laki.” Debby terdiam sebentar. “Atau perempuan, kalo lo mau. Bebas sih. Tergantung orientasi seksual lo apa.”
“What?!” Dayana terkejut. Dia sudah menduga sejak awal, pasti akan ada kejutan dalam tawaean yang Debby berikan.
Debby menyeringai. “Ya kali gue kasih cuma-cuma. Lo pikir sendiri lah, cuan itu, cuan!”
“Kenapa harus kencan, sih?? Apa nggak ada syarat lain yang lebih mutu??” Dayana tidak terima. “Aneh banget! lni nggak apple to apple, tauk!”
“Ya suka-suka guelah! Apartemen gue, syaratnya ya terserah gue! Tinggal lo aja mau teria apa gak?”
“Eh! Apa sih untungnya buat kalian kalau gue pergi kencan? Deb, yang namanya tantangan itu harus sepadan. Harus saling menguntungkan!”
“Apa yang menguntungkan itu kan sifatnya subyektif, Dayday! Kalo menurut gue menguntungkan ya pasti gue tawarin dong. Yang penting pokoknya gue maunya itu! Just take it or leave it.”
Dayana terus mencak-mencak, sambil mengomel panjang lebar dengan kalimat-kalimat yang separuhnya adalah umpatan. Sementara Lina dan Diana hanya tergelak, mereka sudah sering terlibat dalam permainan taruhan begini, namun belum pernah menggunakan syarat yang absurb seperti ini. Biasanya mereka hanya bertaruh mentraktir makan atau tiket nonton saja.
Jujur saja, syarat yang Debby ajukan sama sekali tidak masuk akal bagi Dayana. Jika diibarat dengan sebuah neraca timbang, itu sudah langsung anjlok ke salah satu sisi.
Suatu fakta, memang Dayana tidak pernah menjalin suatu hubungan romantis apa pun dengan lawan jenis atau memilih untuk berpacaran dengan seseorang. Namun, prinsipnya itu bisa mudah dia tepikan, jika itu berarti uang dalam jumlah besar, dan tanpa syarat ketentuan lainnya. Toh, Debby juga menyertakan kata “mencoba” dalam persyawatannya.
Masalahnya, syarat itu jelas super timpang bila dibandingkan dengan apa yang dia dapatkan. Di sisi lain, Debby justru tidak mendapatkan keuntungan apa pun dari tantangan ini. Dan Dayana sudah belajar bahwa hal-hal baik yang terlalu banyak, biasanya justru membawa pisau tajam di baliknya. Kebahagiaan itu tidak akan bertahan lama. Apa Debby punya maksud dan tujuan lain?
“Jadi ini cuma kencan doang, kan?” tanya Dayana memastikan.
Debby mengangguk. “Enjoy your life, Day. Mumpung masih muda. Rasakan gelora cinta, sensasi naik turun perasaan, jantung yang suka marathon sendiri gak jelas, dan gairah yang meledak-ledak. Lo, kan, miskin pengalaman kayak gitu.”
“Woi! Jujur banget sih kalo ngomong.” Dayana melotot kesal, Debby hanya tertawa.
“Tapi ini kencan sama siapa pun, kan? Terserah gue mau kencan sama siapa, kan?”
Debby tersenyum. “Of course not, Baby.”
‘Nah kan, udah bener tebakan gue. Pasti ada maksudnya nih,’ batin Dayana.
“Lo nggak mau nyuruh gue buat ikutan nikah, kan?” Dayana bertanya curiga. “Ogah, ya! Nggak pake nikah!”
Debby tergelak, lucu rasanya melihat ekspresi kesal dan panik Dayana. “Enggak, Sayangku, enggaaaak. Gue cuma mau supaya lo coba menjalin hubungan dengan orang-orang tertentu, nggak cuma asal pilih.”
“Orang-orang tertentu? Maksud lo gimana?”
“Ya orang-orang tertentu, orang-orang yang sudah gue, Diana, dan Lina setujui,” jawab Debby. “Kita bakal siapin calon pacar potensial buat lo, yang kita jamin bibit, bebet, bobotnya oke. Jadi, tugas lo cukup satu atau dua kali kencan aja. Kalau lo ngerasa cocok ya silahkan dilanjut, tapi kalau nggak ya next!”
Dayana terdiam sebentar, coba diajaknya otaknya yang masih hangover itu untuk berpikir lebih keras. Lantas dia mengumpat cukup keras, kala otaknya menyimpulkan rentetan kalimat dalam pembicaraan mereka. “Anjir, lah! Ini kenapa gue berasa jadi kayak open BO yang dijual sama mucikari! Dan lo bertiga udah macam mucikarinya! Kalian yang temukan pelanggan, gue yang bagian melayani.”
Diana tersenyum geli. “Jelek, ah, analoginya. Lo tuh nggak paham kali maksudnya Debby.”
“Kenapa harus kalian yang nyariin gue laki-laki? Kan gue yang bakal kencan! Harusnya gue sendiri dong yang milih buat kencan sama laki-laki mana!”
“Debby itu cuma pengin lo ketemu laki-laki yang baik, Dayyy,” sambung Lina. “Kalau lo udah punya calon sendiri, ya, nggak apa-apa. Bisa diatur. Ya kan, Deb?”
Debby mengangguk. “Dengan syarat, gue, Lina, dan Diana setuju kalo lo mau jalan sama laki-laki itu. Listen, Beb. Lo tuh kadang nggak paham sama diri lo sendiri, semacam gimana gue bilangnya ya?”
“Dayana nggak tahu apa yang dia butuhkan?” bantu Diana.
Debby menjentikkan jari. “Nah! Itu dia! Dan lo tuh kadang-kadang ya begitulah pokoknya. Makanya, soal pilihan pacar ini, harus ngelewatin persetujuan gue, Diana, dan Lina.”
“Debby nggak mau lo salah pilih dan nantinya tersakiti,” bantu Diana lagi.
“True! Lagian gue curiga lo bakal curang, pura-pura pacaran sama laki-laki random kalau dibebasin. Jadi supaya fair, laki-laki yang lo ajak kencan harus sudah lolos persetujuan kita bertiga.”
Dayana terkesiap sesaat, cukup kaget dengan pernyataan Debby barusan. Kok bisa-bisanya Debby membaca isi pikirannya dengan sangat tepat? Padahal sejak tadi dia berusaha untuk tidak mengeluarkan ekspresi liciknya. Trik itu memang sudah muncul di dalam otaknya sejak awal dia mendengar syarat dari Debby.
“Ya kalau kalian nggak mau gue sampe sakit hati, kenapa juga harus ribet begini, sih?” Dayana masih berusaha membantah teman-temannya. “Nggak ada pacar, nggak ada patah hati. Simpel, kan? Lo semua tuh nyuruh gue buat pacarana, itu sama artinya nyuruh gue buat siap patah hati juga! Aneh!”
Alih-alih Debby yang membantah, atau Diana yang menjelaskan dengan bahasa yang lebih mudah, justru Lina-lah yang menjawab.
“Debby, gue dan Diana itu cuma khawatir lo bakal kesepian setelah kami semua berkeluarga, Day,” kata Lina. “Kita mau, selama lo nggak bisa ngumpul bareng kita, lo masih punya seseorang yang menemani dan berbagi rasa sama lo.”
***
Pintu terayun membuka, disusul suara mesin sensor kunci otomatis yang berdenting. Lampu lorong otomatis menyala mengikuti sensor, saat Dayana memasuki apartemennya, lalu kembali mati secara otomatis setelah Dayana melepas sepatu dan berjalan ke ruang tengah.
Dayana tidak menyalakan lampu utama, ia hanya dibantu penerangan samar-samar lampu balkon apertemennya yang otomoatis menyala saat sore hari. Cahaya lampu balkon menembus dinding kaca yang ditutup tirai tipis, karena memang Dayana belum menutup tirai tebal jendelanya. Dayana menyeret tubuh lelahnya berdasarkan feeling dan kebiasaan, dan menjatuhkan tubuhnya di atas sofabed yang ada di depan televisi. Bantal yang empuk menyambut pipinya. Dayana beringsut.
Dayana meraba-raba sofabed dengan seluruh anggota tubuhnya, untuk mendapatkan posisi berbaring yang nyaman. Beberapa menit dalam posisi terlentang yang nyaman, dia memiringkan posisi tidurnya, menghadap tirai tipis yang menutupi dinding kaca ke arah balkon, beberapa tanaman bunga dan kaktus yang ia pelihara nampak berjajar dalam pot-pot yang diatur pada sebuah rak besi.
“Haaahh capeknya,” bisiknya kepada diri sendiri.
Dayana enggan melirik jam yang tergantung di atas TV, namun harusnya sekarang sudah lewat dari pukul 9 malam. Betisnya terasa pegal karena seharian ini ia nyaris tidak berhenti bergerak. Bolak balik ke vanue klien dan harus mengurus beberapa dokumen ke kantor. Belum lagi beberapa rapat di luar yang jaraknya cukup membuat betisnya keram karena terlalu lama menginjak pedal gas dan kopling.
Kebijakan baru di kantornya untuk melakukan absen finger print setiap awal dan akhir bekerja itu dirasa sangat tidak efektif. Pasalnya, bagi tim sales seperti dia dan rekan-rekannya, mereka tidak bisa selalu bekerja di kantor. Mereka bekerja bisa dari mana saja, di mana pun suka-suka kliennya. Kadang di kantor klien, kadang di venue acara, kadang di restoran atau kafe. Jadi, kalau mereka harus ke kantor dulu setiap pagi, itu bisa jadi neraka apalagi bila itu dan di jam macet dan rutenya memutar.
Ini juga yang menjadi alasan bagi Dayana untuk memikirkan soal mengganti unit mobilnya, dari transmisi manual ke matic. Sudah sebulan ini ia harus mondar-mandir ke lokasi-lokasi yang terkenal dengan kemacetannya, dan ditambah lagi dia tetap harus bolak-balik ke kantornya hanya untuk melakukan absen finger print. Baru sebulan, tapi dia sudah merasa ukuran betisnya mengalami peningkatan.
Dayana menghela napas panjang dan memejamkan mata. Seketika itu, benaknya kembali berkelana.
‘Kerja nggak kenal akhir pekan, pulang paling cepat pukul delapan malam, apa yang sebenarnya lo dicari, Dayana?’
Bukan hanya satu-dua kali pertanyaan itu Dayana terima. Namun, jawabannya sangat mudah, tidak perlu berputar-putar atau mencari filosofi supaya terdengar bijak.
Tentu yang dia cari adalah harta. Memangnya apa lagi? Sederhana saja, Dayana ingin kaya. Dia ingin bisa beli ini dan itu tanpa harus berpikir panjang-panjang dulu. Dia ingin memenuhi semua kebutuhannya, tanpa harus membuat daftar mana yang perlu didahulukan. Dia ingin bisa check out ini itu di marketplace, tanpa harus nunggu gajian dulu. Dia ingin punya tempat pulang yang bebas ditata sesuka hati, tanpa harus mendengar omelan induk semang. Dia ingin bepergian dengan rasa aman tanpa harus berpindah-pindah kendaraan. Dia ingin mengompensasi semua yang tidak ada dalam hidupnya, meski itu dengan cara membeli.
