Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

#2. Nafas dan Bisikan

Eden terbentang dalam keheningan yang agung, sebuah kanvas hidup di mana setiap goresan ciptaan adalah sebuah melodi. Cahaya pagi menyaring dari sela-sela kanopi, menyentuh setiap daun dengan kelembutan, memantulkan kilauan pada embun yang menggantung seperti permata. Angin berbisik lembut, membawa aroma tanah basah dan wangi bunga yang belum pernah tersentuh tangan. Sungai-sungai mengalir dengan irama yang tenang, seolah menyanyikan nyanyian pujian kepada Penciptanya, memantulkan langit yang tak berawan dalam riak-riak kecil yang berkilau.

Adam berjalan di antara padang rumput yang lembut, merasakan kehangatan tanah yang memeluk telapak kakinya. Setiap langkahnya bukan sekadar jejak fisik, melainkan sebuah dialog hening dengan alam. Ia mengamati, menyentuh, dan mencium, setiap sensasi adalah wahyu baru. Matanya, yang belum pernah melihat keburukan, menangkap kesempurnaan warna hijau yang tak pernah layu, biru yang tak pernah kusam, dan cahaya yang menari tanpa pernah menciptakan bayangan kelam. Dalam benaknya, sebuah pemahaman tumbuh: ia adalah penjaga, imam yang ditunjuk untuk merawat keindahan ini, bukan hanya sebagai penghuni, melainkan sebagai pelayan dari segala yang ada.

Tak jauh darinya, Hawa berdiri di bawah naungan pohon besar, rambutnya yang gelap tergerai lembut, menyatu dengan bayangan. Wajahnya memantulkan cahaya pagi dengan senyum yang menawan. Ia tertawa, suara itu mengalun seperti lonceng kristal, mengundang Adam mendekat. Saat mata mereka bertemu, dunia seolah berhenti. Ada pengakuan yang instan, resonansi jiwa yang tak terucapkan, dua hati yang berdetak dalam satu irama, menyadari bahwa mereka adalah cerminan satu sama lain.

Adam melangkah maju, tangannya terulur. “Kau tulang dari tulangku, daging dari dagingku,” bisiknya, suaranya dipenuhi kekaguman. “Di dalam dirimu, aku menemukan diriku yang utuh.”

Hawa membalas senyumnya, tangannya menyambut genggaman Adam. Bukan sekadar sentuhan, melainkan sebuah ikrar. Sebuah keheningan yang penuh makna menyelimuti mereka, langit, sungai, dan pepohonan seolah menahan napas, memberi ruang bagi momen suci tersebut. Mereka berjalan bersama, tangan saling menggenggam, melangkah dalam ketenangan yang sama. Mereka menyentuh daun, menatap burung yang hinggap di ranting, dan mendengarkan setiap bisikan angin. Di Eden, kebersamaan mereka adalah ibadah paling murni.

Namun, di balik harmoni yang sempurna itu, sebuah bisikan lain mulai menyusup. Sebuah getaran tak berwujud, melayang di udara, tak terdeteksi oleh indera manusia tetapi dirasakan oleh kesunyian itu sendiri. Lucifer, yang cahayanya kini redup oleh iri hati, mengamati mereka dari balik bayangan pohon-pohon yang rindang. Ia melihat Adam dan Hawa, murni dan penuh damai, dan kebenciannya membara. Ia ingin membuktikan bahwa kemuliaan yang kini diberikan kepada manusia hanyalah fatamorgana yang rapuh. Ia menelan pahitnya amarah dan merencanakan cara untuk memecah belah kesempurnaan yang ia benci.

Hari-hari di Eden berlalu dalam ritme yang tenang. Adam dan Hawa belajar nama-nama semua makhluk, dari yang paling kecil hingga yang paling agung. Mereka berbagi tawa dengan monyet yang nakal dan berdiam diri di samping singa yang damai. Ada kepuasan mendalam dalam setiap interaksi, dalam setiap detail kecil dari hidup mereka bersama. Namun, di tengah taman itu, berdiri tegak sebuah pohon yang berbeda dari yang lain: Pohon Pengetahuan tentang yang Baik dan yang Jahat. Pohon itu bukanlah sekadar tumbuhan, melainkan sebuah janji dan ujian. Daun-daunnya hijau, tetapi ada nuansa aneh di sana, sebuah daya tarik halus yang membuat mata tanpa sadar menatapnya lebih lama.

Lucifer mendekat, tidak dalam wujudnya yang utuh, melainkan sebagai bayangan yang menari-nari di sela-sela cahaya. Suaranya tidak terdengar oleh telinga, tetapi bergema langsung di benak Hawa, seperti bisikan naluri yang tak bisa dijelaskan.

“Bukankah buah itu terlihat menggiurkan?” bisiknya, suaranya sehalus angin, tetapi penuh racun. “Hanya satu gigitan, dan matamu akan terbuka. Kau akan tahu segalanya. Tidak hanya apa yang Pencipta izinkan, tetapi juga rahasia yang Dia sembunyikan. Kau akan setara dengan-Nya, menguasai ilmu tentang yang baik dan yang jahat.”

Hawa menatap pohon itu. Ada gejolak aneh di dadanya, rasa penasaran yang tak dikenal, keinginan untuk melampaui batas yang telah ditetapkan. Di sisinya, Adam masih terperangkap dalam kesederhanaan hatinya, memandang Hawa dengan kepercayaan penuh. Ia tidak menyadari bisikan halus yang kini mulai mengukir keraguan di hati istrinya.

Hari demi hari, Lucifer tidak mendesak. Ia hanya mengarahkan pandangan Hawa ke pohon itu. Hawa tetap berjalan bersama Adam, memetik buah dari pohon-pohon lain, tetapi pikirannya kini sering kembali pada pohon yang satu itu. Alam tetap indah, burung tetap bernyanyi, tetapi di dalam hati manusia pertama, benih perpecahan mulai berakar.

Adam dan Hawa terus belajar: tentang musim yang berubah, tentang bahasa binatang, tentang ritme kehidupan. Mereka bernyanyi bersama angin, menari dengan cahaya, tertawa dengan percikan air sungai. Namun, mereka belum memahami pedang bermata dua yang disebut kebebasan. Setiap langkah, setiap keputusan, membawa konsekuensi.

Pada suatu sore, saat mentari mulai tenggelam, Adam dan Hawa duduk di tepi sungai. Mereka melihat bayangan mereka terpantul di air, menyadari kesadaran diri yang baru. Mereka saling bertatapan, mengukuhkan cinta mereka, dan memeluk peran sebagai penjaga Eden.

Namun, Pohon Pengetahuan itu masih berdiri di sana, diam dan menunggu, dengan buahnya yang tampak begitu sempurna. Angin berdesir melalui daun-daunnya, seolah membawa cerita-cerita yang belum terungkap. Ada rasa hormat, bercampur sedikit ketakutan, yang membuat mereka menjaga jarak. Mereka tahu bahwa dalam ketaatan ada kedamaian, dan dalam batasan ada keselamatan.

Lucifer kembali ke dalam bayang-bayang, menunggu. Ia tahu bahwa godaan yang lembut dan perlahan lebih mematikan daripada serangan langsung. Eden masih murni, Adam dan Hawa masih polos, dan sejarah masih menahan napas, menunggu momen ketika harmoni akan diuji, ketika pilihan satu manusia akan mengubah takdir seluruh dunia.

Hari-hari Eden terus mengalir dalam musik yang sempurna. Mereka bekerja, berjalan, dan bermain, memuji Pencipta dengan setiap tarikan napas dan setiap sentuhan. Tetapi di dalam kedamaian itu, mereka mulai memahami: tidak semua yang indah bisa dimiliki, dan kebebasan sejati terletak pada pilihan untuk tetap setia.

Di malam yang sunyi, di bawah jutaan bintang yang bertaburan, Adam dan Hawa berbaring. Tangan mereka saling menggenggam erat. Mereka menatap langit, hati mereka penuh kedamaian. Di tengah keheningan itu, ada misteri yang tak terucapkan, sebuah bisikan takdir yang akan segera menuliskan sejarah manusia, dari Eden hingga akhir zaman, dari debu hingga api, dari kesempurnaan yang rapuh hingga penebusan yang abadi.

Eden masih indah. Adam dan Hawa masih murni. Tetapi Pohon Pengetahuan itu menunggu. Dan bayangan pertama dari kegelapan tersenyum dalam diam.

Pagi berikutnya, Hawa kembali berdiri di dekat pohon itu, matanya terpikat pada buah yang bersinar lembut. Bisikan halus kembali menggoda, kali ini menekankan janji pengetahuan dan kekuatan. Adam mendekat, masih polos dan penuh cinta, tak menyadari bahwa keputusan yang mereka buat sebentar lagi akan mengubah segalanya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel