Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

#1. Kebangkitan Fajar dan Bayangan Pertama

Sebelum ada waktu, sebelum ada matahari yang menorehkan bayang di tanah, sebelum ada bumi yang teguh berdiam, hanya ada Keabadian yang tak terukur, Sang yang Esa, yang bersemayam dalam cahaya yang tidak dapat didekati. Tiada ruang bagi kekosongan, tiada nada bagi kesunyian hanya kemuliaan yang tak terlukiskan, lautan terang yang tidak mengenal tepi. Dari dalam pangkuan-Nya, Sang Firman abadi telah ada, yang bersama dengan-Nya sejak permulaan, dan Roh yang melayang-layang di kedalaman tak berbatas, bagaikan nafas lembut yang mengandung segala kemungkinan. Tiga Pribadi dalam satu Hakikat, sebuah misteri yang tak terjangkau akal, namun menjadi fondasi segala yang ada.

Dan berfirmanlah Dia yang tiada awal dan tiada akhir: “Jadilah terang.” Maka dari kegelapan yang tak bernama, cahaya meletus bagaikan ledakan mahkota surgawi, menyingkirkan gulita yang berabad-abad membungkus jurang purba. Terang itu menari, membelah kabut yang belum berbentuk, memandikan cakrawala dengan kemilau pertama yang pernah dikenal. Malam pun mundur ke jurang-jurangnya, siang pun lahir dan terpisahlah dua kerajaan itu, satu berselimut gemerlap, satu terhanyut dalam kelam. Demikianlah hari pertama bangkit, lahir dari rahim keabadian. Cahaya itu bukan sekadar iluminasi fisik, melainkan penyingkapan dari sebuah Kebenaran yang akan selalu menjadi pembeda antara yang nyata dan yang maya.

Namun bumi masih bagaikan janin yang terikat pada rahasia, belum berbentuk, belum bernyawa. Lautan purba menutupi wajah tanah, ombak tanpa arah mengerang di bawah langit yang baru terangkat. Maka sekali lagi Sang Pencipta bersabda, dan cakrawala terbentang laksana kanopi permai, memisahkan air yang bergemuruh di bawah dari air yang bertabir di atas. Kubah langit tegak, biru bagaikan permata, berkilau laksana kaca murni yang melengkung tak bertepi. Dan terbitlah hari kedua, penuh keteduhan surgawi. Di atas kubah itu, tersembunyi pula kediaman-kediaman Surgawi yang tiada tanding, tempat para malaikat bersorak memuji. Langit yang kini terlihat oleh mata manusia adalah cermin yang memantulkan keindahan yang lebih tinggi, sebuah pengingat akan asal muasal yang agung.

Kemudian bumi dipanggil untuk menampakkan wajahnya. Dari dalam pusaran air, gunung-gunung mencuat bagaikan tombak agung yang menusuk kabut, lembah menganga, dasar laut tergelar. Gelombang pun mundur ke palungnya, tunduk pada titah Yang Maha Kuasa. Tanah kering menampakkan diri, dan di atasnya Ia menaburkan hijau rumput yang halus bagai karpet surgawi, pohon-pohon yang tegak bagai tiang perjanjian, buah yang ranum menggantung laksana permata bagi lidah ciptaan. Hutan pun berdesir, padang pun berseri, bumi yang semula kosong kini bernafas. Hari ketiga pun rampung, penuh dengan janji kehidupan. Setiap helai daun, setiap kelopak bunga, setiap butir pasir adalah kalimat dari sebuah syair yang agung, sebuah pernyataan cinta dari Pencipta kepada ciptaan-Nya.

Lalu Sang Pengatur musim bersabda, dan lampu-lampu agung pun dinyalakan. Pada cakrawala ditempatkan dua penjaga waktu, sang besar, matahari, yang siangnya menyinari dan sang kecil, bulan, yang malamnya menghibur. Dan bintang-bintang oh, tak terhitung jumlahnya ditaburkan laksana debu emas dari tangan-Nya, berkedip sebagai saksi bisu atas kebesaran. Mereka menjadi tanda bagi masa dan musim, penunjuk arah bagi peziarah yang kelak akan menapak bumi, sebuah kalender kosmik yang abadi. Maka hari keempat selesai, bersinar dengan keagungan kosmik. Setiap rasi bintang yang kelak akan dipelajari oleh para filsuf dan nabi, telah digambar dengan detail oleh tangan Ilahi. Mereka adalah petunjuk yang diam, peta menuju rumah, dan pengingat akan ketepatan janji-janji yang kekal.

Namun bumi masih sunyi, bagaikan panggung tanpa pelakon. Maka dari laut Ia memanggil keluar makhluk-makhluk yang menyelam paus yang berlenggok laksana raksasa biru, kawanan ikan bagai panah perak, dan segala gerakan yang berdenyut dalam arus. Dari udara Ia memanggil burung-burung yang mengepak, sayap-sayapnya memahat angin rajawali yang melayang tinggi, merpati yang lembut, burung kecil yang bernyanyi merdu. Langit pun bergema dengan kicauan, laut pun bergetar dengan sorak kehidupan. Hari kelima pun berakhir, penuh suara dan tarian, sebuah orkestra alam yang sempurna, tanpa nada sumbang.

Kemudian bumi diperintah untuk melahirkan kawanan yang berjalan. Maka lahirlah binatang padang yang berlari di antara ilalang, hewan liar yang meraung di hutan, ternak jinak yang mendekat ke kandang manusia yang belum tercipta. Harimau mengaum, domba mengembik, singa menegakkan surai sebagai raja belantara.

Semua bergerak menurut jenisnya, semua taat pada hukum Sang Pencipta. Ada harmoni yang tak terucap, sebuah tarian kosmik di mana setiap makhluk mengisi perannya dengan sempurna.

Namun mahkota ciptaan masih kosong. Tiada makhluk yang mampu menggemakan rupa Ilahi, tiada yang dapat mengukur kedalaman kasih atau mengatur bumi dengan hikmat. Maka firman surgawi berkumandang: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita.” Ini adalah puncak dari segalanya, sebuah puncak yang ditandai dengan penciptaan yang paling istimewa.

Dan terbentuklah dari debu tanah sosok pertama, tanah liat yang diberi napas kehidupan. Roh Ilahi masuk ke dalam hidungnya, dan manusia itu menjadi jiwa hidup. Adam, anak sulung bumi, berdiri dengan mata yang memantulkan langit, dengan tangan yang diciptakan untuk bekerja, dan hati yang diciptakan untuk menyembah.

Kepadanya diserahkan kuasa atas ciptaan burung di udara, ikan di laut, binatang di darat semua tunduk pada suara dan langkahnya. Ia adalah raja dan imam, seorang penguasa yang diberi tanggung jawab untuk menjaga dan merawat bait suci dunia ini.

Namun Sang Pencipta melihat tidak baik manusia itu seorang diri. Kesempurnaan dunia ini terasa hampa tanpa persahabatan sejati, sebuah cermin bagi Adam, bukan sekadar pelayan. Maka dari tulang rusuknya yang diambil saat ia terlelap dalam tidur nyenyak yang dikirimkan oleh Ilahi, dibentuklah seorang penolong yang sepadan, Hawa, mahkota dari kemanusiaan. Matanya bagai fajar, rambutnya bagai aliran sungai yang bergemerlap di bawah cahaya, senyumnya cermin kasih Pencipta. Adam pun terbangun dan bersorak dalam pujian “Inilah tulang dari tulangku, daging dari dagingku.” Dalam seruannya, ada pengakuan akan kesatuan yang mendalam, bahwa mereka adalah satu dan tak terpisahkan. Demikianlah manusia, laki-laki dan perempuan, ditetapkan untuk hidup dalam taman yang penuh kemuliaan.

Dan taman itu bukan sembarang tanah, Eden, yang di tengahnya mengalir empat sungai, penuh pohon yang indah dan buah yang baik dimakan. Taman itu adalah jantung dunia, sebuah oase yang menampung keindahan sejati. Pohon kehidupan berdiri tegak bagaikan tiang emas, menyalurkan keabadian di dalam daunnya. Namun juga ada pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat, ditanam sebagai misteri dan batas, tanda bahwa kebebasan manusia bukan tanpa ujian. Pohon itu bukanlah jebakan, melainkan manifestasi dari kehendak bebas, sebuah pilihan yang dihormati oleh Pencipta.

Hari ketujuh pun tiba, dan Sang Pencipta berhenti dari segala karya-Nya. Ia memberkati hari itu, menyucikannya, menjadikannya peringatan bagi segala generasi bahwa pekerjaan yang sempurna lahir dari tangan-Nya. Maka dunia pun sempurna, langit yang terentang, bumi yang hijau, laut yang bergelora, burung yang bernyanyi, binatang yang meraung, manusia yang memerintah, dan Tuhan yang beristirahat. Sebuah simfoni kosmik telah selesai, dan harmoni memenuhi seluruh ciptaan.

Namun dalam harmoni itu, bayangan pertama pun mulai bersembunyi. Sebab musuh lama, yang jatuh dari ketinggian karena congkak, memandang iri pada tanah yang kini dijaga kasih. Ia, yang pernah bersinar bagaikan bintang fajar, kini terkutuk dalam kegelapan. Ia adalah Lucifer, sang pembawa terang yang kini telah menjadi kegelapan. Dengan tatapan penuh dengki ia menyaksikan makhluk baru yang dikasihi, yang diberi gambar Ilahi, yang dijanjikan kerajaan atas bumi. Ia menyaksikan betapa dekatnya hubungan manusia dengan Pencipta, sebuah kedekatan yang pernah ia miliki namun kini hilang selamanya. Dan dalam hatinya yang terbakar ia berikrar, bila ia tidak lagi dapat mengalahkan Sang Pencipta, ia akan mencemari ciptaan; bila ia tidak lagi dapat merebut singgasana sorga, ia akan merampas hati manusia.

Tetapi untuk saat ini, Eden masih murni. Adam dan Hawa berjalan tanpa malu, telanjang tanpa cela, berdua dalam cahaya yang tidak ternoda. Burung menyanyikan lagu pagi bagi mereka, angin bertiup lembut membawa keharuman bunga, dan sungai beriak bagai pujian yang tak henti. Mereka berbicara dengan Sang Pencipta dalam suara yang jernih, tanpa tabir, tanpa jarak. Dunia adalah bait suci, dan mereka adalah imam-imamnya. Mereka hidup dalam sebuah ketiadaan waktu, dalam sebuah keadaan di mana masa lalu adalah tiada dan masa depan adalah abadi.

Namun waktu akan menguji harmoni itu. Sebab kebebasan adalah mahkota sekaligus pedang; pilihan adalah anugerah sekaligus ujian. Dan di tengah taman berdiri pohon yang menunggu, sunyi namun sarat takdir. Pohon itu adalah titik balik sejarah, sebuah sumbu di mana dua jalan akan terbentang. Di bawah bayangannya yang rimbun, sejarah manusia diam-diam menahan nafas, menunggu kata pertama yang akan jatuh dari bibir mereka, menunggu tangan pertama yang akan meraih buahnya. Apakah mereka akan memilih kehidupan dan ketaatan, atau memilih pengetahuan dan pemberontakan?

Maka berakhirlah kisah hari-hari pertama, saat bumi masih segar, saat air masih jernih, saat manusia masih murni. Langit belum ternoda, tanah belum tercemar, laut belum dirusak, hati belum terbelah. Hanya terang, hanya damai, hanya kasih yang mengalir. Sebuah simfoni awal, sebuah prolog bagi drama yang akan meluas dari Eden hingga ujung zaman, dari debu hingga bintang, dari kelahiran pertama hingga kebangkitan terakhir. Sebuah kisah tentang kehancuran dan penebusan yang akan segera dimulai.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel