Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

#3. Bisikan di Bayangan

Di bawah langit Eden yang abadi, kesempurnaan masih bersemayam, namun kini di sana ada getaran halus, sebuah bisikan yang belum terucap, sebuah bayangan yang belum menyentuh. Adam dan Hawa terus melangkah dalam keharmonisan, mengagumi setiap inci taman yang menjadi rumah mereka. Mereka menyingkap rahasia alam, belajar nama-nama burung, dan memuji Sang Pencipta dalam setiap tarikan napas. Namun, di antara bisikan angin dan nyanyian sungai, sesuatu yang tak kasat mata mulai menyelinap, sebuah daya pikat yang lembut namun mematikan.

Lucifer, menyelimuti dirinya dalam wujud ular yang anggun dengan sisik berkilauan, bergerak di antara dahan-dahan. Ia tak tergesa-gesa, tak menyerang secara frontal. Hanya ada tatapan yang menyimpan dendam, dan suara yang mengalir keheningan seperti arus bawah yang licik. Ia mengamati Hawa, melihat di matanya rasa ingin tahu yang murni, sebuah celah yang bisa ia manfaatkan. Ia tahu, di tangan perempuan ini, nasib sejarah manusia bisa diubah dengan satu keputusan.

“Betapa indahnya engkau di bawah cahaya ini,” bisik ular itu, suaranya selembut sungai yang membelai akar pohon. “Tapi tidakkah engkau ingin tahu lebih dari yang telah diberikan? Apakah keindahan ini sudah cukup? Tidakkah ada kerinduan untuk memahami rahasia yang tersembunyi, yang terlarang?”

Hawa menoleh. Jantungnya berdebar, bukan karena rasa takut, melainkan karena getaran aneh yang baru pertama kali ia rasakan. Ia melirik Adam, yang berdiri beberapa langkah di belakangnya, matanya memantulkan biru langit yang tak berawan, penuh ketulusan. Adam belum melihat ular itu, belum mendengar bisikan yang kini membelai pikiran Hawa.

“Siapa kau?” tanya Hawa, suaranya lembut, namun ada ketegasan yang tak terduga.

“Aku hanya pengamat,” jawab ular itu, suaranya penuh tipu daya. “Aku hanya ingin menunjukkan sebuah kemungkinan, bahwa ada hal di luar batas yang telah ditetapkan. Mengapa harus berpuas diri dengan ‘cukup’ jika ada pengetahuan yang lebih besar menunggu?”

Hawa mengernyit, pandangannya tertuju pada Pohon Pengetahuan di dekat mereka. Buahnya menggantung dengan janji tak terucap, kulitnya tampak sempurna, memikat mata. Hawa bisa merasakan sesuatu yang menggoda di sana, sebuah misteri yang menantang.

Adam melangkah mendekat, merasakan keanehan di udara. Ia meraih tangan Hawa, matanya memancarkan kekhawatiran yang samar. “Hawa, ada apa? Ada perasaan aneh… seperti ada yang tidak beres. Taman ini aman, kita diberi kebebasan yang luas. Kita hanya perlu percaya pada-Nya.”

Ular itu tersenyum dalam diam. “Manusia,” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. “Kepercayaanmu sungguh indah. Tapi pernahkah kau bertanya tentang yang tidak terlihat? Tentang apa yang tidak Dia beritahu? Kau diberi terang, tapi kau tidak tahu gelap; diberi pengetahuan, tapi kau tidak tahu rahasia terdalam.”

Hawa mendekati pohon itu, tangannya gemetar. Antara ketaatan dan rasa ingin tahu, hatinya terbelah. “Adam,” bisiknya, “bolehkah kita…?” Kata-katanya menggantung di udara.

Adam menggenggam tangan Hawa lebih erat. “Hawa, kita telah diberi segalanya. Tapi ingatlah pesan-Nya. Pohon ini… hanya Dia yang tahu maknanya. Kita sudah diberkati dengan lebih dari cukup.”

Namun, bisikan ular itu semakin gencar. “Cukup? Apakah cukup berarti tidak lengkap? Apakah diberkati berarti terkekang? Bukankah seseorang yang diberkahi harusnya mengetahui segalanya? Bukankah engkau diciptakan untuk mengerti, bukan hanya menerima?”

Hawa menunduk, tangannya kini berada di atas buah itu. Rasa ingin tahu yang meledak di dalam dirinya terasa seperti jeritan dari setiap sel tubuhnya. Adam, di sisinya, merasakan perubahan di hati Hawa. Ia takut, namun ia juga mencintai. Kedua emosi itu saling berebut di dadanya.

“Adam,” bisik Hawa lagi, suaranya bergetar. “Tidak ingin rasanya… melihat kebenaran yang tersembunyi? Memahami semua, bukan hanya sebagian?”

Adam menarik napas dalam, pandangan matanya pada Hawa dipenuhi keresahan. Ia bisa merasakan tarikan yang tak pernah ia kenal sebelumnya. “Hawa… hati-hati,” katanya, suaranya serak. “Kita harus percaya. Dia tahu yang terbaik untuk kita.”

Namun, suara ular itu kembali menguasai ruang. “Percaya adalah awal dari batasan. Keingintahuan adalah awal dari kebebasan. Mengapa kau takut akan sesuatu yang belum kau ketahui? Mengapa takut pada yang mungkin membawa kemuliaan lebih besar dari yang kau miliki sekarang?”

Hawa menatap buah itu, menyentuh kulitnya yang halus. Ia merasakan sensasi dingin, namun memikat. Di dalam pikirannya, ia melihat bayangan dunia yang tak terbatas. Adam memandang dengan cemas, tangannya menggenggam lengan Hawa, seolah berusaha menahannya dari jurang yang tak terlihat.

Waktu di Eden kini terasa melambat. Pilihan ada di depan mereka. Hawa mengangkat buah itu. Matanya memancarkan campuran ketakutan dan rasa ingin tahu. Ular itu tersenyum, merasakan kemenangan kecil. Satu sentuhan, satu langkah, satu pikiran, sudah cukup untuk mengubah segalanya.

“Hawa… jangan,” ucap Adam, suaranya tegas, namun ada keputusasaan di sana. “Kita tidak tahu apa yang akan terjadi.”

Hawa menoleh, menatap Adam dengan mata yang penuh keraguan sekaligus keberanian. “Adam,” bisiknya, “apakah kita hanya akan hidup dalam ketidaktahuan, tanpa pernah mencoba memahami? Apakah itu cukup bagimu?”

Keheningan melingkupi mereka, seolah alam menahan napasnya. Sungai berhenti beriak, burung terdiam di dahan. Semua ciptaan menunggu keputusan manusia pertama.

Hawa menggigit buah itu perlahan. Rasa manis yang pekat, diikuti rasa pahit yang samar, menyentuh lidahnya. Dalam satu gigitan itu, dunia berubah. Adam menatap, hatinya hancur, dan dalam satu gerakan impulsif, ia mengambil buah yang sama. Rasa yang sama, manis dan pahit, menyelimuti dirinya.

Seketika, mata mereka terbuka dengan cara yang berbeda. Mereka melihat Eden, namun kini warna-warnanya terasa lebih tajam, cahayanya lebih menusuk. Dan di balik semua itu, muncul bayangan yang sebelumnya tak pernah ada. Ada rasa malu, rasa takut, dan rasa kehilangan yang baru muncul.

Ular itu menghilang, meninggalkan mereka sendirian. Lucifer tersenyum di balik bayang-bayang. Ia tahu, awal telah terjadi. Hati manusia telah digoda, sejarah telah diubah. Eden kini tak lagi murni, Adam dan Hawa telah mengenal batas dan kebebasan, ketaatan dan pemberontakan.

Mereka menunduk, menyadari ketelanjangan, keterbatasan, dan dosa. Mereka merasakan rasa malu dan kebingungan pertama. Mereka menatap satu sama lain, dan dalam diam, mereka tahu dunia mereka tak lagi sama.

Angin tetap berbisik, burung tetap bernyanyi, sungai tetap mengalir. Namun, di dalam hati manusia pertama, ada kesadaran akan baik dan jahat, sebuah kesadaran bahwa kebebasan memiliki harga.

Mereka menyadari, dengan satu gigitan, perjalanan dari debu menuju api, dari Eden menuju dunia yang luas, kini telah dimulai.

Di malam hari, di bawah bintang-bintang, Adam dan Hawa berbaring di bawah pohon yang sama, tetapi mata mereka tak lagi polos. Mereka kini mengerti bahwa tanggung jawab dan pilihan akan selalu menyelimuti mereka. Dan di dalam keheningan itu, ada janji tersirat: dunia akan diuji, manusia akan jatuh dan bangkit. Rencana-Nya akan terus berjalan, dari debu hingga api, dari kesalahan hingga penebusan, dari dosa hingga kasih yang lebih besar.

Eden tetap indah, namun kini diselimuti oleh bisikan pertama kegelapan. Pohon pengetahuan tetap tegak, dan bayangan Lucifer tersenyum dalam diam, menunggu babak berikutnya dari sejarah yang baru dimulai.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel