Bab 18 Mimpi Buruk Dua Tahun Lalu
"Salah paham?"
Tenaga Rachel sangat kuat sehingga membuat Camille mengerutkan wajah karena kesakitan.
"Salah paham dari mana. Menurutku, kamu menyesal karena melihat anak miskin dua tahun yang lalu telah menjadi pemimpin redaksi, jadi mengatakan kalau ini hanyalah salah paham, bukan?"
Saat mengatakan ini, mata Rachel terlihat merah, dia memutar kepala Camille ke arahnya, "Camille, aku yang sekarang sudah tidak mudah dibodohi lagi!"
Camille melihat wajah paling dikenalnya dulu penuh kebencian sehingga terkejut dan sedih.
Dia ingin menjelaskan, tapi kata-kata yang sudah berada di ujung lidah tidak bisa dikeluarkan.
Apa yang harus dijelaskan?
Jika Rachel benar-benar mempercayainya, kenapa dia pergi tanpa bertanya apa-apa waktu itu?
Dia percaya kalau dirinya adalah wanita yang rela menjual diri demi uang.
Lagi pula, memangnya kenapa kalau Rachel percaya dengan penjelasannya?
Dia sudah menikah dan bukan Camille yang dulu lagi, semuanya sudah tidak bisa kembali lagi …
Saat memikirkan ini, Camille menahan matanya yang perih, menarik napas dalam-dalam dan mendongak.
"Rachel." Dia berkata pelan dan suaranya terdengar datar, "Kamu benar, masalah waktu itu memang seperti yang kamu ketahui. Tapi kamu salah, aku yang sekarang sama sekali tidak ingin punya hubungan apa-apa lagi denganmu, tidak peduli kamu seorang pemimpin redaksi atau Presdir, semuanya tidak ada hubungannya denganku."
Saat bicara, Camille bisa merasakan kalau tenaga yang mencengkeram dagunya semakin kuat.
Namun, detik berikutnya, Rachel menghempaskannya.
Camille terhuyung dan akhirnya bisa berdiri stabil setelah menopang dinding, kemudian menemukan Rachel melihatnya dengan dingin. Tatapan acuh dan jijik membuat hatinya sakit.
Tapi sakit lebih baik daripada punya hubungan tidak jelas.
Lalu, dia segera berkata, "Pemimpin Redaksi, aku pergi dulu kalau tidak ada urusan lagi."
Dia sama sekali tidak berani menatap mata Rachel dan segera meninggalkan kantornya.
Camille keluar dari kantor majalah dan baru menemukan kalau sedang hujan deras setelah tiba di lantai bawah, kebetulan payungnya tertinggal di kantor.
Dia sama sekali tidak punya keberanian untuk pergi mengambil payung, meski tahu kalau Rachel akan berada di dalam kantornya sendiri.
Dirinya benar-benar pengecut.
Camille awalnya hendak pulang dengan taksi karena hujannya sangat deras, tapi sekarang jam pulang kerja dan hujan lebat jadi tidak mudah memanggil mobil dengan aplikasi. Pada akhirnya, dia memakai tas sebagai payung dan berlari ke stasiun MRT dengan cepat.
Dia naik MRT yang ramai dengan badan yang basah dan berharap hujan sudah berhenti ketika keluar, tapi Tuhan masih ingin mengujinya karena di luar masih hujan lebat.
Camille tetap tidak bisa mendapatkan taksi sehingga hanya bisa menunggu di samping stasiun.
Dia ingat, dua tahun yang lalu juga pernah ada malam hujan badai seperti ini dan itu adalah saat dirinya kehilangan barang yang paling berharga, lalu kehilangan Rachel, pria yang dia pikir akan menemaninya sampai tua.
Perasaan putus asa dua tahun lalu seperti binatang lengket yang perlahan merayap ke hatinya yang sudah mati rasa.
Camille memeluk pundaknya sendiri, berjongkok dan meringkuk seperti bola.
Dingin … benar-benar dingin …
Seluruh tubuhnya gemetaran karena dingin, sama seperti malam dua tahun yang lalu …
Tepat ketika emosi dan ingatan hampir menenggelamkan Camille, tiba-tiba muncul kursi roda di depannya dan terlihat kaki panjang yang duduk di atasnya.
Camille tercengang dan mendongak dengan susah payah, lalu melihat Jeffrey di depannya serta Elvis yang memegang payung di sampingnya.
Hujan mengaburkan wajah tampannya dan seluruh tubuhnya memancarkan aura dingin. Meski duduk di kursi roda, tapi kemunculannya saat ini seperti dewa dan menekan semua kesedihan Camille.
Bulu mata Camille bergetar.
Jeffrey?
"Apa yang kamu lakukan di sini?" Jeffrey melihat Camille yang berjongkok, dirinya bahkan tidak tahu kenapa suaranya terdengar marah, "Kamu kehujanan?"
Camille baru sadar kembali dan segera berdiri, tapi matanya tiba-tiba terasa gelap begitu dia berdiri dan hilang kesadaran.
Jeffrey kaget dan segera meraih Camille serta merasakan kalau panas tubuh wanita dalam pelukannya tidak normal. Matanya terlihat dingin, lalu menemukan bekas cengkeram Rachel di dagu Camille sehingga matanya menyusut tanpa sadar.
"Mari pulang." Perubahan emosi itu segera hilang dan Jeffrey kembali seperti semula. Dia menggendong Camille dan menggerakkan kursi roda ke Bentley hitam di sebelahnya.
Mobil Jeffrey diparkir di sudut stasiun MRT yang sepi. Karena kursi roda membawa beban dua orang, jadi tidak bisa meluncur lancar seperti biasa.
"Tuan Muda Jeffrey, aku saja." Elvis berkata.
"Tidak perlu."
Jeffrey berkata datar, dia membenarkan posisi Camille, lalu mengangkatnya dan berdiri dari kursi roda …
…
Satu jam kemudian, di dalam kamar yang gelap.
Panas … sangat panas … terdengar suara rintihan dan Camille merasa tubuhnya berat. Sesuatu yang dingin menempel di kulitnya dan dia ingin menahan rasa sejuk itu …
Tapi tiba-tiba mendengar suara napas pria yang berat!
