Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5 gerbang emas ditengah kota

Keputusan Aruna untuk meninggalkan situs Lintang Jaya berjalan mulus—atau setidaknya, semulus yang bisa diharapkan. Profesor Wisnu, meskipun awalnya ragu, akhirnya mengizinkan Aruna kembali ke Jakarta lebih awal. Alasan "mempersiapkan tim pemindaian termal dan berkoordinasi dengan logistik" terdengar cukup resmi dan darurat untuk membenarkan kepergiannya.

​Perjalanan dari Kendeng ke Jakarta adalah transisi yang keras. Bau tanah basah dan lumut digantikan oleh aroma knalpot dan polusi. Keheningan hutan berganti dengan raungan klakson yang tak henti-henti. Ketika kakinya menginjak lantai marmer mengilap di bandara Soekarno-Hatta, Aruna merasa seperti Dewi Laksmi yang baru bereinkarnasi; terkejut oleh modernitas yang asing.

​Namun, ia tidak punya waktu untuk culture shock. Ia punya waktu 72 jam—atau kini, kurang dari itu—untuk bertindak.

​Tugas pertamanya: menemukan Arkatama Satria Adiwijaya.

​Aruna segera pergi ke apartemen kecilnya di Jakarta Selatan, menyingkirkan debu, dan membuang pakaian lapangannya yang bau. Ia mandi air hangat, membiarkan kelelahan fisik luntur, tetapi membiarkan ketegangan takdir tetap melekat.

​Ia membuka laptopnya. Arkatama.

​Berdasarkan pencariannya, Arkatama Satria Adiwijaya adalah CEO dari Adiwijaya Group, sebuah perusahaan properti raksasa, dan kolektor seni yang sangat tertutup. Ia tidak bisa hanya mengirim email melalui kontak umum perusahaan. Ia butuh pendekatan yang high-value, sesuatu yang bisa menarik perhatiannya secara pribadi.

​Aruna teringat pada artikel majalah yang menyebut Arkatama seorang filantropis budaya. Ia menyadari: satu-satunya cara untuk menembus tembok pertahanan Arkatama adalah menggunakan Artefak Patung Dewi Laksmi.

​Ia menghabiskan waktu berjam-jam merumuskan strategi. Akhirnya, ia menemukan sebuah peluang.

​Pada malam hari itu juga, Aruna mengirimkan sebuah pesan ke alamat email pribadi yang ia temukan di sebuah forum kolektor seni kuno—sebuah email yang ia duga kuat milik Arkatama.

​Subjek: Penemuan Artefak Pra-Hindu di Jawa yang Mengubah Sejarah Dinasti.

​Isi:

​Kepada Yth. Bapak Arkatama Satria Adiwijaya,

​Saya adalah Aruna, seorang Arkeolog yang saat ini bertugas di situs Purbakala Lintang Jaya. Saya menulis kepada Anda bukan sebagai perwakilan resmi, melainkan sebagai individu yang percaya bahwa sebuah penemuan penting harus segera diketahui oleh pihak yang memiliki kaitan darah langsung dengan sejarahnya.

​Kami baru saja menemukan sebuah Patung Dewi Laksmi yang usianya jauh melampaui perkiraan ilmiah saat ini. Namun, Patung ini membawa sebuah rahasia yang lebih dalam: sebuah Aksara Kuno yang saya duga kuat berkaitan dengan Raja Sakaram dan Garis Darah Adiwijaya.

​Saya memiliki bukti foto resolusi tinggi dan terjemahan rahasia yang menunjukkan bahwa Patung ini adalah bukti dari Sumpah Abadi yang diucapkan ribuan tahun lalu, dan bahwa Patung ini memegang kunci untuk menyelamatkan Pewaris Garis Darah.

​Saya membutuhkan pertemuan pribadi dan rahasia dengan Anda dalam 24 jam ke depan. Ini adalah masalah takdir, bukan hanya sejarah.

​Hormat saya,

​Aruna.

​Ia menekan tombol kirim, dan kemudian hanya bisa menunggu, jantungnya berdetak kencang. Ia telah melempar umpan, dan kini nasibnya tergantung pada apakah ikan besar itu akan menggigit.

​Tanggapan datang lebih cepat dari yang ia duga. Kurang dari dua jam kemudian, ponselnya berdering. Nomor tak dikenal.

​"Halo?"

​"Anda Aruna?" Suara itu berat, tenang, namun memiliki otoritas yang tak terbantahkan. Suara yang sama yang Aruna bayangkan dimiliki oleh seorang raja.

​"Ya, saya Aruna."

​"Ini dari kantor Bapak Arkatama Adiwijaya. Pesan Anda telah diterima. Bapak Arkatama sangat tertarik dengan klaim Anda mengenai Raja Sakaram. Namun, klaim Anda terlalu besar untuk pertemuan publik."

​Aruna menahan napas. "Saya mengerti. Inilah mengapa saya ingin bertemu secara pribadi."

​"Baik. Bapak Arkatama akan bertemu dengan Anda. Tempatnya adalah Griya Kencana, kediaman pribadi beliau, malam ini pukul sepuluh. Anda akan dijemput oleh mobil kami di alamat yang Anda berikan. Jangan membawa siapa pun, dan jangan coba merekam atau mengambil foto. Keselamatan dan kerahasiaan Bapak Arkatama adalah prioritas utama."

​"Saya setuju," jawab Aruna tanpa ragu.

​"Baiklah. Sampai nanti malam." Sambungan terputus.

​Aruna menatap ponselnya, tangannya sedikit gemetar. Ia berhasil. Hanya beberapa jam di Jakarta, dan ia sudah berhasil menjangkau Pewaris Garis Darah itu. Ia akan bertemu dengan pria yang mungkin menjadi subjek sumpah abadi yang terukir di jiwanya.

​Tepat pukul sembilan malam, sebuah limusin hitam panjang yang mengilap berhenti di depan apartemen Aruna. Seorang pengawal berjas hitam yang besar dan tanpa ekspresi membukakan pintu untuknya.

​Perjalanan terasa singkat namun sunyi. Aruna dibawa melalui jalan-jalan protokol Jakarta, hingga akhirnya mobil itu berbelok memasuki area Menteng yang sepi dan berhenti di depan sebuah gerbang kayu ukiran yang sangat tinggi dan mewah—Gerbang Emas di tengah kota.

​Gerbang itu terbuka perlahan, menampakkan sebuah kediaman yang lebih mirip kompleks pura Bali modern daripada rumah di Jakarta. Bangunan utama didominasi oleh arsitektur kayu jati, dikelilingi taman yang ditata sempurna dan kolam refleksi yang tenang. Jauh dari suasana perkemahan yang dingin, tempat ini memancarkan aura kekayaan dan, yang lebih penting, kekuatan.

​Aruna dituntun melewati koridor terbuka yang dihiasi patung-patung kuno dan lukisan bernilai fantastis. Akhirnya, ia dibawa ke sebuah ruang kerja yang mewah dan besar. Dindingnya terbuat dari kayu gelap, dan di tengah ruangan, dikelilingi rak buku antik dan beberapa vitrin yang memamerkan artefak-artefak langka, duduklah seorang pria.

​Dia adalah Arkatama Satria Adiwijaya.

​Pria itu bangkit saat Aruna masuk. Ia mengenakan kemeja linen gelap yang sederhana namun mahal. Tingginya mencolok, dan kehadiran auranya memenuhi ruangan. Matanya—mata yang sama persis dengan yang dilihat Aruna dalam kilasan ingatan Raja Sakaram—menatapnya dengan intensitas yang tenang namun menuntut.

​"Aruna," sapa Arkatama, suaranya dalam dan berwibawa, tanpa senyum. "Saya Arkatama. Silakan duduk. Anda mengklaim memiliki bukti tentang Sumpah Abadi dan keterkaitan saya dengan Raja Sakaram. Saya biasanya tidak mendengarkan omong kosong seperti ini, tetapi Anda menyebut Lembah Terlarang. Itu adalah nama yang sudah lama hilang dari catatan keluarga kami."

​Aruna duduk, mencoba menyembunyikan getaran yang menjalari tubuhnya. Ada sesuatu yang tak terhindarkan tentang pria ini, sebuah tarikan magnetis yang melampaui daya tarik biasa. Rasanya seperti bertemu dengan rumah setelah sekian lama hilang.

​"Bukan omong kosong, Bapak Arkatama. Ini takdir," ujar Aruna, membuka laptopnya. "Saya tidak hanya menemukan Patung Dewi Laksmi, saya juga menemukan terjemahan dari aksara yang terkubur bersamanya. Saya yakin itu adalah Aksara Sakralingga, bahasa Raja Sakaram."

​Aruna memutar layar laptopnya, menunjukkan foto Patung Dewi Laksmi dan Aksara Kuno, dan di bawahnya, terjemahan yang ia buat:

​"Aku akan memegang takdir dan menyelamatkan Pewaris Garis Darah. Selama Sinar Sakaram masih ada, Laksmi akan Kembali."

​Arkatama membungkuk, matanya menatap foto dan terjemahan itu. Ketegasan di wajahnya perlahan luruh, digantikan oleh kerutan yang dalam. Pria yang tak tergoyahkan itu kini tampak bingung, bahkan sedikit ketakutan.

​"Ini..." Arkatama berbisik, mengambil napas dalam-dalam. "Ini adalah lambang dinasti lama kami yang hilang, yang hanya ada di dongeng. Bagaimana Anda mendapatkan ini?"

​"Patung ini yang memilih saya," jawab Aruna, menatap langsung ke mata Arkatama. "Sumpah ini yang membuat saya datang ke sini, Bapak Arkatama. Saya yakin Anda berada dalam bahaya, dan saya, entah bagaimana, ditakdirkan untuk menyelamatkan Anda."

​Arkatama menegakkan tubuh, menatap Aruna dari ujung kepala hingga ujung kaki—dari seorang arkeolog yang bau hutan hingga wanita yang mengucapkan klaim konyol di ruang tamunya.

​"Dan Anda pikir Anda siapa?" tanya Arkatama dingin, menguji batas Aruna.

​Aruna merasakan energi yang kuat memancar dari dalam dirinya. Ia ingat wajah Dewi Laksmi yang anggun, duka yang mendalam, dan kekuatan sumpah itu.

​"Saya," jawab Aruna, tatapannya tak gentar, "adalah Dewi Laksmi yang kembali. Dan saya datang untuk memenuhi janji ribuan tahun yang lalu kepada Raja Sakaram."

​Ruangan itu sunyi. Hanya suara gemericik air dari kolam di luar yang memecah keheningan. Arkatama menatapnya lama, mencoba mencari kebohongan, tetapi yang ia temukan hanyalah kejujuran yang menakutkan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel