Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 batas waktu 48 jam

Matahari pagi menyinari tenda Aruna, tetapi ia sudah terjaga sejak lama. Ia merasa seperti baru saja membaca halaman terakhir dari sebuah thriller epik dan kini harus memainkan peran utamanya—sebuah peran yang penuh risiko dan di luar nalar ilmiah.

​Ia menatap file terjemahan Aksara Sakralingga di laptopnya: “Aku akan memegang takdir dan menyelamatkan Pewaris Garis Darah.”

​Pewaris Garis Darah. Raja Arkatama.

​Aruna tahu ia tidak bisa hanya menelpon Raja Arkatama (jika pria itu benar-benar ada dan tidak hanya tertulis dalam naskah kuno) dan berkata, "Hai, aku adalah reinkarnasi Dewi Laksmi dan aku harus menyelamatkanmu." Ia membutuhkan waktu, dan yang paling penting, ia membutuhkan Patung Dewi Laksmi.

​Patung itu adalah jangkar. Itu adalah sumber energi, memori, dan yang paling penting, bukti yang membuatnya tidak merasa gila. Tanpa Patung itu, ia hanyalah seorang arkeolog yang terlalu banyak membaca mitologi.

​Waktu yang ia miliki: kurang dari 48 jam sebelum sebuah truk berpendingin tiba dari Jakarta untuk mengambil Patung itu.

​Ia harus menghambat pengiriman.

​Aruna segera berkemas, mengenakan kemeja lapangan favoritnya dan celana kargo yang sudah usang. Ia meninggalkan tendanya dan langsung menuju tenda pusat, di mana Profesor Wisnu sedang memeriksa daftar check-up transportasi.

​"Selamat pagi, Profesor," sapa Aruna, mencoba terdengar ceria namun serius.

​Profesor Wisnu mengangkat kacamata bacanya. "Ah, Aruna. Kau terlihat bersemangat. Siap melanjutkan eksplorasi Lembah Terlarang hari ini?"

​"Tentu, Profesor. Tapi, ada yang ingin saya usulkan mengenai Patung Dewi Laksmi." Aruna menarik napas. "Saya sudah mempelajari ukiran permukaannya, dan ada satu hal aneh yang luput dari perhatian kita."

​"Apa itu?" tanya Profesor Wisnu, agak tidak sabar.

​"Beberapa ornamen lotus di mahkotanya menunjukkan pola kristalisasi yang tidak wajar. Berdasarkan pengalaman saya di situs Trowulan, pola seperti itu sering kali mengindikasikan adanya mikro-retakan struktural yang sangat sensitif terhadap perubahan tekanan dan getaran. Mengingat usia Patung ini, saya khawatir perjalanan darat ke Jakarta akan memperburuk kondisi retakan, bahkan bisa menghancurkan detail-detail penting di dasarnya."

​Aruna berbicara dengan lancar, menyisipkan istilah-istilah ilmiah yang meyakinkan. Ini adalah keahliannya: berbohong dengan data.

​Profesor Wisnu mengerutkan kening. "Mikro-retakan? Itu tidak terdeteksi oleh pemindaian sonar kita semalam."

​"Pemindaian sonar hanya mendeteksi rongga. Kita butuh pemindaian termal resolusi tinggi untuk melihat distribusi tekanan internal. Profesor, Patung ini adalah Masterpiece kita. Mengambil risiko perjalanan darat tanpa memindai kelemahannya adalah tindakan ceroboh. Saya sarankan kita menunda pengiriman minimal 72 jam, dan meminta tim teknis dari Jakarta datang ke sini membawa alat pemindaian termal."

​Profesor Wisnu tampak berpikir keras. Kerusakan pada artefak yang baru ditemukan adalah mimpi buruk terburuk bagi seorang arkeolog.

​"72 jam?" ulangnya. "Itu akan mengacaukan seluruh jadwal logistik."

​"Tapi menyelamatkan Patung dari kehancuran tak ternilai harganya, Profesor. Kita bisa bilang ada kendala teknis darurat di situs yang membutuhkan penanganan di tempat. Ini demi integritas ilmiah Patung itu," Aruna mendesak, matanya memancarkan ketulusan palsu.

​Akhirnya, Profesor Wisnu menghela napas panjang. "Baik. Kau benar. Kita tidak bisa mengambil risiko. Aku akan menelpon Jakarta. Aku akan menunda pengiriman selama 72 jam, dan meminta tim pemindaian datang ke sini besok lusa. Tapi Aruna, jika kau salah, kau yang akan bertanggung jawab penuh atas penundaan ini."

​"Saya yakin, Profesor," jawab Aruna, hatinya melonjak kegirangan. Tiga hari. Itu cukup waktu.

​Setelah mengamankan waktu, langkah selanjutnya adalah menemukan Raja Arkatama.

​Aruna kembali ke tendanya dan membuka kembali file proyek genetik Profesor Wisnu. Arkatama. Pria yang diduga memiliki keturunan genetik unik yang terkait dengan populasi kuno Jawa.

​Ia mulai mencari di internet. Mencari "Raja Arkatama" tidak mungkin membuahkan hasil, tentu saja. Ia mencari "Arkatama" saja, dikombinasikan dengan kata kunci seperti "Bali" (karena proyek genetik itu mengaitkannya) dan "kolektor seni" (biasanya pewaris kuno terlibat dalam hal-hal warisan).

​Setelah beberapa kali pencarian buntu, ia akhirnya menemukan sebuah nama di majalah gaya hidup elit Jakarta:

​"Arkatama Satria Adiwijaya, Pengusaha Properti dan Filantropis Budaya."

​Artikel itu menyertakan foto. Pria itu tampak berusia sekitar 30-an, tinggi, dengan rahang tegas dan mata yang tajam—seperti mata yang pernah dilihat Aruna dalam kilasan ingatannya tentang Raja Sakaram.

​Arkatama. Raja Sakaram. Sinar Sakaram.

​Aruna merasakan sengatan aneh di dadanya. Pria itu ada. Dia nyata.

​Artikel itu menyebutkan bahwa Arkatama Satria Adiwijaya adalah keturunan bangsawan Bali yang kini bermukim di Jakarta dan mengelola bisnis real estate besar, namun dikenal sangat tertutup. Ia juga seorang kolektor artefak langka.

​Aruna menyadari bahwa pendekatan ilmiah atau spiritual tidak akan berhasil. Jika ia ingin bertemu Arkatama dan menyelamatkannya (dari apa pun bahaya yang mengintai), ia harus menggunakan satu-satunya jembatan yang menghubungkan mereka: Artefak.

​Ia mematikan laptopnya. Rencananya kini terbentuk jelas.

​Meninggalkan Situs: Ia harus segera kembali ke Jakarta. Dengan alasan "mempercepat persiapan alat pemindaian termal" yang ia klaim darurat, ia bisa meminta izin Profesor Wisnu.

​Menghubungi Target: Menggunakan Patung Dewi Laksmi sebagai umpan. Arkatama adalah kolektor. Ia pasti akan tertarik pada penemuan yang mengubah garis waktu sejarah.

​Meskipun ia telah memenangkan waktu 72 jam, Aruna tidak mau menunggu. Setiap detik terasa berharga, seolah bahaya yang mengancam Pewaris Garis Darah itu semakin mendekat. Ia harus bergerak sekarang.

​Aruna mengemas tasnya dengan cepat. Di dalamnya, selain pakaian dan laptop, ia memasukkan salinan foto resolusi tinggi Patung Dewi Laksmi dan terjemahan rahasia Aksara Sakralingga.

​Ia tidak akan membawa Patung aslinya, karena itu adalah jaminan keamanan Patung itu sendiri. Tapi ia akan membawa cerita Patung itu, dan itu sudah cukup.

​Dengan hati yang berdebar antara ketakutan dan takdir, Aruna melangkah keluar tenda. Langkah pertamanya menuju misi penyelamatan, sebuah perjalanan dari reruntuhan kuno menuju kehidupan modern Jakarta, untuk mencari pria yang ia tidak tahu, tetapi yang ia yakini pernah ia cintai.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel