Bab 6 Membuka Gerbang Skeptisisme
Keheningan di ruang kerja Arkatama terasa begitu tebal, dipenuhi aroma kayu cendana mahal dan ketegangan ribuan tahun. Aruna duduk tegak, membiarkan pernyataan besarnya tentang identitasnya sebagai Dewi Laksmi yang kembali menggantung di udara. Ia tahu klaim itu tidak masuk akal, tetapi ia juga tahu itu adalah satu-satunya kebenaran yang ia pegang.
Arkatama tidak tertawa atau panik. Ia hanya menatap Aruna, matanya yang tajam mengamati setiap detail: keringat tipis di dahi Aruna, kelelahan di bawah matanya, tetapi yang terpenting, keyakinan mutlak dalam tatapannya.
Akhirnya, Arkatama menghela napas, sebuah tindakan yang jarang ia lakukan. "Nona Aruna," katanya, suaranya kembali ke nada dingin dan penuh wibawa. "Saya menghargai imajinasi Anda. Anda datang ke rumah saya yang dijaga ketat, menuduh saya dalam bahaya, dan mengklaim sebagai dewi. Ini bagus untuk cerita, tapi tidak untuk bisnis di Jakarta."
"Saya bukan mencari uang, Bapak Arkatama," balas Aruna tenang. "Kalau mau, saya bisa jual Patung itu di pasar gelap dan jadi kaya. Saya datang mencari Anda karena Sumpah itu mengikat saya."
Arkatama berjalan perlahan ke meja kerjanya, mengambil segelas air, dan kembali. "Mari kita lupakan dulu mitos-mitos itu. Anda menyebut nama Raja Sakaram dan 'Garis Darah Adiwijaya' yang hilang. Bagaimana Anda tahu kaitan itu?"
Aruna tersenyum tipis. "Sumpah itu terukir di aksara kuno Patung Dewi Laksmi. Aksara Sakralingga, Bapak. Bahasa yang menurut catatan keluarga Anda hanya dipakai oleh pendahulu Anda sebelum Kerajaan Purbakala jatuh."
Aruna memutar laptopnya, hanya menampilkan terjemahan dari enam baris aksara itu.
"Bacalah baris kelima dan keenam, Bapak," desak Aruna.
Arkatama membungkuk, matanya menelusuri tulisan di layar:
"Aku akan memegang takdir dan menyelamatkan Pewaris Garis Darah."
"Selama Sinar Sakaram masih ada, Laksmi akan Kembali."
"Sinar Sakaram..." bisik Arkatama. "Itu adalah nama panggilan yang dipakai kakek saya untuk merujuk pada keturunan laki-laki yang membawa lambang tertentu." Ia menatap Aruna. "Dan Pewaris Garis Darah. Gelar itu sudah dihapus seratus tahun lalu karena dianggap takhayul."
"Itu bahasa takdir, Bapak Arkatama. Bukan takhayul," potong Aruna. "Patung itu, Patung Dewi Laksmi, adalah bukti nyata. Itu jembatan antara dunia modern Anda dan warisan Anda yang kuno."
Arkatama kembali duduk. Ia menyilangkan jari-jarinya di depan wajahnya. Ekspresi skeptisnya mulai retak, digantikan oleh rasa penasaran yang membuat dirinya sendiri tidak nyaman.
"Anda ingin saya percaya Anda tiba-tiba jadi dewi, dan tugas pertama Anda adalah memberi tahu saya bahwa saya dalam bahaya," ujar Arkatama, nadanya datar. "Bahaya apa? Apakah pesaing bisnis saya?"
Aruna menggeleng. "Bahaya kuno, Bapak. Yang menghancurkan Kerajaan Sakaram ribuan tahun lalu. Pengkhianat yang juga bereinkarnasi dan kini mengincar Anda untuk menyelesaikan tugas lama mereka: memutus Garis Darah Raja selamanya."
"Bukti nyata?"
Aruna menghela napas. Inilah saatnya kartu spiritual dimainkan.
"Saya akan berikan satu bukti yang hanya diketahui Pewaris Garis Darah," kata Aruna, memajukan tubuhnya. "Dua hari yang lalu, saat Patung itu bangkit, saya mendapat kilasan ingatan. Raja Sakaram, pendahulu Anda, tidak pernah membiarkan Dewi Laksmi memanggilnya 'Raja'. Di saat pribadi, ia selalu memanggilnya dengan nama sederhana dan penuh kasih sayang. Nama yang hanya boleh diucapkan oleh Dewi Laksmi sendiri."
Arkatama memandanginya, ekspresinya kaku. "Mustahil. Tidak ada catatan di arsip keluarga kami tentang detail sekecil itu."
Aruna menutup matanya sebentar, mengingat bisikan itu, duka mendalam dari seorang istri yang mencintai suaminya.
Saat Aruna membuka matanya, ia berbisik lembut, menggunakan intonasi yang terasa asing, seolah kata-kata itu datang dari masa lalu:
"Cakra."
Udara di ruangan itu menegang. Arkatama menatap Aruna, semua ketenangan dan wibawanya lenyap. Wajahnya memucat. Ia bersandar ke belakang, seolah terkejut.
"Apa yang kau katakan?" tanya Arkatama, suaranya tercekat.
"Raja Sakaram meminta Laksmi memanggilnya Cakra," ulang Aruna, kini kembali ke suaranya yang normal. "Sebuah rahasia, Bapak Arkatama. Disimpan dalam dinasti Adiwijaya dan hanya diturunkan dari ayah ke putra tertua. Anda hanya akan mengetahuinya jika Anda benar-benar Pewaris Garis Darah. Dan saya benar-benar Laksmi yang mengingat."
Arkatama bangkit dari kursinya. Ia berjalan menjauh dari Aruna, menuju jendela besar yang menghadap kota Jakarta yang bergemerlap. Pria modern yang membangun kerajaan bisnis kini dihadapkan pada rahasia yang seharusnya mati ribuan tahun lalu.
Akhirnya, Arkatama berbalik. Ada kilatan di matanya—campuran antara amarah, ketakutan, dan rasa penerimaan yang enggan.
"Baiklah, Nona Aruna," katanya. "Anda berhasil mendapatkan perhatian saya. Panggilan aneh, kecelakaan kecil yang nyaris fatal, dan sekarang rahasia yang hanya saya dan almarhum ayah saya yang tahu. Saya mungkin tidak percaya Anda dewi, tapi saya percaya Anda adalah satu-satunya yang tahu apa yang sedang terjadi."
Arkatama berjalan mendekat, mendekati Aruna. "Apa yang Anda inginkan? Apa rencana penyelamatan Anda?"
Aruna menghela napas lega. Ia telah memenangkan ronde pertama. "Saya butuh akses penuh ke arsip rahasia keluarga Adiwijaya, Bapak. Saya harus tahu siapa musuh kita, bagaimana mereka menyerang, dan cara mengumpulkan artefak kunci lain untuk membangkitkan kekuatan Laksmi. Dan yang paling penting," Aruna menatapnya lurus. "Anda harus percaya, mulai sekarang."
Arkatama mengulurkan tangannya di atas meja. "Selamat datang di kehidupan saya, Nona Aruna. Mulai sekarang, kita adalah rekan. Tapi jika ini lelucon, percayalah, konsekuensinya bukan main-main."
Aruna menjabat tangan dingin dan kuat Arkatama. Sebuah perjanjian baru, antara seorang arkeolog dan pewaris takhta, baru saja terjalin, menandai dimulainya kembali sebuah takdir yang tertunda ribuan tahun.
