Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Aksara yang terlupakan

Keesokan paginya, suasana di perkemahan Lintang Jaya terasa tegang, namun bukan karena Aruna. Ketegangan itu berasal dari kehebohan ilmiah. Setelah semalam suntuk meneliti patung Dewi Laksmi di bawah mikroskop portabel, Profesor Wisnu mengumumkan bahwa artefak itu memang berasal dari periode yang jauh lebih tua dari yang pernah mereka duga, mungkin setara dengan era Tarumanegara, tetapi dengan gaya seni yang benar-benar unik.

​Patung itu telah ditempatkan di dalam kotak pengaman berteknologi tinggi, yang akan diangkut ke Jakarta dalam waktu 48 jam. Sementara itu, Aruna, yang kini diperlakukan layaknya pahlawan meskipun melanggar protokol, ditugaskan untuk fokus mendokumentasikan semua ukiran dan simbol di area Lembah Terlarang yang ia temukan.

​Ini adalah kesempatan yang Aruna tunggu-tunggu.

​Ia tahu bahwa ia tidak bisa mengandalkan penjelasan ilmiah semata lagi. Setelah bisikan semalam, ia yakin kunci untuk memahami takdirnya terletak pada detail yang diabaikan Profesor Wisnu: aksara kuno di dasar patung.

​Pagi itu, sebelum Profesor Wisnu sempat memonitornya, Aruna bergegas ke tenda pusat. Ia berpura-pura mengambil buku catatan, tetapi matanya hanya fokus pada kotak pengaman.

​"Bima, apakah Profesor sudah mengambil foto resolusi tinggi dari aksara di dasar patung semalam?" tanya Aruna sambil pura-pura mencari brush.

​Bima, yang masih terheran-heran dengan perubahan status Aruna, menjawab, "Sudah, tapi fotonya sudah dikunci di hard drive utama. Profesor bilang, aksara itu terlalu sensitif, dia tidak ingin ada kebocoran sebelum dia mempresentasikannya."

​"Oh, tentu saja," ujar Aruna, berpura-pura kecewa. "Padahal aku ingin membandingkannya dengan aksara Pallawa yang ada di bukuku. Sayang sekali."

​Aruna tahu persis Profesor Wisnu menyimpan salinan cadangan foto penelitiannya di mana: di dalam laci meja kerjanya yang terkunci, di dalam sebuah flash drive hitam. Ini adalah kebiasaan buruk Profesor Wisnu yang sering ia kritik secara internal.

​Sepanjang hari itu, Aruna menghabiskan waktu di sektor C, berpura-pura menyusun laporan tentang penemuan sebelumnya. Ia menunggu kesempatan.

​Kesempatan itu datang menjelang sore, saat Profesor Wisnu menerima panggilan telepon penting dari kantor pusat di Jakarta mengenai logistik pengiriman patung, dan ia harus berjalan menjauh dari tenda untuk mencari sinyal. Bima, sementara itu, sedang sibuk mengurus persediaan makanan di bagian belakang perkemahan.

​Aruna segera bergerak. Ia menuju tenda pusat. Jantungnya berdebar, bukan karena adrenalin petualangan, tapi karena ia sekarang adalah seorang pencuri ilmiah.

​Laci meja kerja Profesor Wisnu terkunci. Namun, sebagai arkeolog yang sering menghadapi situs terkunci, Aruna selalu membawa satu set perkakas kecil, termasuk penjepit logam tipis yang biasa digunakan untuk membersihkan artefak. Dalam hitungan detik, dan dengan keahlian yang ia pelajari dari menonton video di YouTube (ia menyebutnya 'keterampilan lapangan mendesak'), ia berhasil membuka kunci laci.

​Ia menemukan flash drive hitam yang dicarinya. Dengan cepat, ia mencolokkannya ke laptop pribadinya dan menyalin semua file foto resolusi tinggi dari Patung Dewi Laksmi. Ia mengunci laci kembali, mengembalikannya ke posisi semula, seolah tidak ada yang terjadi, tepat sebelum suara Bima terdengar memanggilnya.

​"Aruna! Ayo, kita harus mencatat pergerakan Matahari terbenam di reruntuhan!"

​"Aku datang!" jawab Aruna, segera mematikan laptopnya.

​Malam itu, di dalam tendanya yang remang-remang, Aruna akhirnya bisa fokus pada tugas pribadinya. Ia membuka file foto aksara kuno di laptopnya.

​Aksara itu terdiri dari enam baris simbol yang sangat asing. Simbol-simbolnya lebih berlekuk dan bulat dibandingkan aksara Kawi, seolah ditulis dengan air atau daun, bukan diukir di batu.

​Aruna mulai membandingkannya dengan semua referensi aksara kuno Asia Tenggara yang ia miliki di database pribadinya.

​Aksara Palawa: Tidak.

Aksara Sunda Kuno: Bukan.

Aksara Batak: Jauh berbeda.

​Hampir putus asa, Aruna ingat akan kilasan ingatan yang ia terima saat menyentuh patung itu: bayangan raja, janji, dan api. Ia memutuskan untuk beralih dari ilmu linguistik ke mitologi.

​Ia mencari legenda lokal yang berhubungan dengan Lintang Jaya dan Lembah Terlarang. Ada banyak variasi, tetapi semuanya bermuara pada satu poin: Dewi Laksmi dan Raja Sakaram.

​Raja Sakaram, sang raja fana yang berhasil merebut hati Dewi Laksmi.

​Menggunakan nama 'Sakaram' sebagai kata kunci baru dalam pencariannya, Aruna menemukan sebuah naskah kuno yang langka dan belum pernah dipublikasikan, tersimpan di sebuah arsip universitas kecil. Naskah itu menyebutkan sebuah bahasa kuno yang disebut Aksara Sakralingga, bahasa yang digunakan oleh para pendeta dan Raja Sakaram sebelum kerajaan mereka runtuh.

​Aruna membuka file Aksara Sakralingga dan membandingkannya dengan foto aksara pada patung. Jantungnya melonjak. Mereka cocok.

​Aksara Sakralingga di dasar Patung Dewi Laksmi bukanlah kutukan, melainkan sebuah mantra janji.

​Dengan keringat dingin menetes di pelipisnya, Aruna mulai menerjemahkan enam baris aksara itu.

​Baris 1: Aku, Laksmi, Sumber Air dan Kesuburan.

Baris 2: Menyatakan diriku fana demi cinta Sakaram.

Baris 3: Namun, Sumpahku abadi, terikat pada Tanah ini.

Baris 4: Ketika Kerajaan ini membutuhkan, Jiwaku akan bangkit kembali.

Baris 5: Aku akan memegang takdir dan menyelamatkan Pewaris Garis Darah.

Baris 6: Selama Sinar Sakaram masih ada, Laksmi akan Kembali.

​Aruna membacanya lagi. Tangan dan kakinya gemetar. Terjemahan itu menguatkan semua yang ia rasakan: Dewi Laksmi memang mengikatkan dirinya pada reinkarnasi. Dan ia harus menyelamatkan Pewaris Garis Darah.

​Namun, kalimat terakhir yang paling menghantuinya: "Selama Sinar Sakaram masih ada, Laksmi akan Kembali."

​Raja Sakaram. Raja fana. Ia adalah kunci untuk membangkitkan dan juga untuk menyelesaikan takdir Dewi Laksmi.

​Aruna melirik ke jamnya. Sudah larut malam. Ia harus segera mencari informasi tentang keturunan Raja Sakaram, Pewaris Garis Darah yang kini harus diselamatkannya. Apakah pewaris itu masih ada di masa kini? Siapa dia? Dan dari apa dia harus diselamatkan?

​Tiba-tiba, ia teringat sebuah detail kecil yang ia lihat saat mengintip dokumen di laptop Profesor Wisnu sebelum menyalin foto patung. Ada sebuah proyek penelitian terpisah yang sedang dikerjakan Profesor Wisnu, berjudul: "Hubungan Genetik Populasi Bali dan Jawa Kuno"—Proyek itu mencantumkan nama seorang pria.

​Sebuah nama yang langsung mengirimkan getaran aneh ke tulang punggung Aruna, sama seperti sentuhan pada patung itu. Nama itu terasa familiar, seolah ia pernah mencintai—atau berjanji—kepadanya di masa lalu yang jauh.

​Nama Pewaris Garis Darah: Raja Arkatama.

​Aruna menatap laptopnya, hatinya berdegup kencang. Ia tidak hanya menemukan artefak kuno. Ia telah menemukan takdirnya, dan takdir itu terikat pada seorang pria. Dan waktu terus berjalan sebelum Patung Dewi Laksmi, satu-satunya penghubungnya, diangkut jauh ke Jakarta.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel