Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Di bawah pengawasan

​Lengan Aruna terasa kaku, bukan hanya karena kelelahan setelah menuruni lereng curam, tetapi juga karena cengkeraman ketatnya pada patung perunggu keemasan itu. Setelah ia berhasil menenangkan napasnya di dasar lembah, ia menyadari urgensi untuk segera keluar dari sana. Aura mistis Lembah Terlarang, yang tadinya terasa memanggil, kini terasa mencekam, seolah mata-mata tak terlihat mengawasinya dari setiap sudut reruntuhan.

​Ia menyembunyikan patung dewi itu di tas ranselnya, membungkusnya rapat-rapat dengan syal sutra yang biasa ia pakai untuk melindungi lensa kamera, berharap bungkusan kain itu juga bisa menyerap sisa-sisa energi yang baru saja ia rasakan. Dalam perjalanan kembali, langkahnya tidak lagi hati-hati; kini ia hanya ingin segera mencapai batas aman perkemahan.

​Saat Aruna muncul dari sela-sela pohon menuju area tenda utama, Bima sudah berdiri di sana, kedua tangan dilipat di dada, wajahnya masam.

​"Dari mana saja kau, Aruna? Profesor Wisnu mencarimu sejak sarapan. Kau tahu persis jam berapa pemetaan sektor C dimulai." Bima, yang selalu berpakaian rapi meski di tengah hutan, tampak lebih gusar dari biasanya.

​Aruna menghindari tatapan mata Bima. "Maaf, Bima. Aku tersesat sedikit lebih jauh saat mencari area sampel tanah baru. Jalanannya sangat licin."

​"Tersesat?" Bima mencondongkan tubuh sedikit. "Kau tidak tersesat, kau berani melanggar. Aku lihat kau menuju ke arah timur. Ke Lembah Terlarang, kan?"

​Aruna memaksakan senyum lelah. "Jangan konyol. Aku hanya mengikuti aliran sungai kecil. Sudah, minggir. Aku perlu bicara dengan Profesor."

​Ia berjalan cepat melewati Bima, menuju tenda pusat yang berukuran paling besar. Tenda itu berfungsi ganda sebagai laboratorium lapangan dan ruang pertemuan. Di dalamnya, Profesor Wisnu, seorang pria paruh baya dengan rambut beruban rapi dan kacamata berbingkai tebal, sedang duduk di depan peta besar situs Lintang Jaya, pena merah di tangannya menandai setiap area yang teridentifikasi.

​"Profesor," sapa Aruna, suaranya sedikit bergetar.

​Profesor Wisnu mengangkat kepala, ekspresinya adalah campuran antara kekesalan ilmiah dan kekhawatiran paternal. "Aruna. Kau terlambat dua jam. Jika kau tidak mampu mengikuti jadwal yang sudah kita tentukan, aku tidak akan ragu mengirimmu kembali ke Jakarta."

​"Saya minta maaf, Profesor," ujar Aruna, menahan diri untuk tidak membela diri. "Tapi saya menemukan sesuatu. Sesuatu yang sangat penting. Itu mengubah segalanya tentang Lintang Jaya."

​Profesor Wisnu menyandarkan pena merahnya. "Oh ya? Penemuan apa yang membutuhkan pelanggaran protokol seperti ini, Nona Muda? Jangan bilang kau menemukan artefak batu biasa dan menganggapnya Kuil Emas."

​Aruna meletakkan ranselnya di meja panjang yang terbuat dari kayu darurat, lalu perlahan mengeluarkan patung dewi yang terbungkus syal. Ia membuka bungkusan itu dengan gerakan dramatis.

​Cahaya lampu neon tenda jatuh tepat ke permukaan patung, menampakkan detail ukiran yang halus. Meskipun warnanya kusam dan berlumut tipis, bentuknya yang indah dan unik langsung menarik perhatian Profesor Wisnu.

​Profesor Wisnu bangkit dari kursinya. Ia mendekati meja, matanya menyipit di balik kacamata. Ia mengambil kaca pembesar dari sakunya dan mulai mengamati patung itu, mulai dari mahkota lotus hingga ukiran aksara di dasarnya.

​Keheningan melanda tenda. Bahkan Bima, yang sempat menyusul masuk, kini diam tak berkutik.

​"Di mana kau menemukan ini?" Suara Profesor Wisnu rendah, nyaris berbisik. Semua kekesalannya hilang, digantikan oleh kegairahan seorang ilmuwan yang sedang menyaksikan sesuatu yang luar biasa.

​"Di Lembah Terlarang," jawab Aruna terus terang. "Di sebuah altar batu, di antara tiga pilar yang masih berdiri. Patung ini terkubur dangkal."

​Profesor Wisnu mendongak cepat. "Lembah Terlarang? Aruna, sudah kubilang—"

​"Saya tahu, Profesor. Tapi insting saya mengatakan ada sesuatu di sana. Lihatlah motif mahkota lotus ini. Ini bukan motif Jawa kuno yang biasa kita temukan. Lihatlah kemiripan dengan ornamen India Utara pada abad ke-6, namun dengan sentuhan lokal yang lebih kunik." Aruna mengambil alih. "Dan aksara di dasar ini... Saya yakin ini bukan aksara Kawi atau Pallawa. Ini lebih tua, mungkin pra-Hindu atau aksara lokal yang hilang."

​Profesor Wisnu kembali fokus pada patung itu, seolah patung itu adalah satu-satunya benda yang ada di alam semesta. "Ya... ya, kau benar. Pahatan ini terlalu halus untuk era yang kita duga. Dan aksara ini... Aku belum pernah melihatnya secara langsung. Ini bisa jadi penemuan yang mengubah garis waktu sejarah Lintang Jaya, bahkan mungkin seluruh Jawa Tengah."

​Mendengar pengakuan itu, Aruna merasa lega. Bagian ilmiahnya sudah terbukti.

​"Tapi, apa yang terjadi saat kau menemukannya?" tanya Profesor Wisnu, tanpa menatap Aruna.

​Aruna ragu sejenak. Haruskah ia menceritakan tentang cahaya hijau giok, bisikan yang menyedihkan, dan kilasan ingatan masa lalu? Itu akan terdengar gila.

​"Saat saya menyentuhnya, saya merasakan lonjakan listrik statis, Profesor," bohong Aruna, memilih penjelasan yang paling masuk akal. "Mungkin ada sisa-sisa logam tertentu di dalamnya yang bereaksi dengan suhu tubuh atau kelembaban lembah. Hanya kejutan kecil, Profesor."

​Profesor Wisnu mengangguk, tampaknya puas dengan penjelasan ilmiah itu. "Baik. Kita akan melakukan pemindaian awal malam ini. Aruna, kau melakukan pekerjaan yang luar biasa. Tapi lain kali, gunakanlah saluran resmi." Profesor Wisnu menghela napas, kekesalan ilmiahnya sudah terobati. "Bima, siapkan tempat steril. Kita akan menempatkan patung ini di kotak penyimpanan utama."

​Malam itu, perkemahan menjadi sibuk. Patung Dewi Laksmi ditempatkan dengan hati-hati dalam kotak penyimpanan bertekanan, menunggu transportasinya ke laboratorium utama di Jakarta. Aruna, setelah melewati interogasi singkat yang lebih berfokus pada teknik penggaliannya daripada pengalaman mistisnya, akhirnya memiliki waktu untuk sendirian.

​Namun, ia tidak bisa tidur. Setiap kali ia menutup mata, kilasan-kilasan ingatan yang ia terima di Lembah Terlarang kembali muncul. Bayangan Raja tampan yang menatap penuh kerinduan. Suara sumpah yang menggema dalam bahasa asing. Dan yang paling mengganggu, perasaan duka dan tanggung jawab yang tiba-tiba memberati jiwanya.

​Aruna bangkit, berjalan keluar dari tendanya. Ia berjalan tanpa sadar ke arah tenda pusat. Kotak penyimpanan patung itu ada di sana, dijaga oleh Bima yang sedang tertidur di kursi lipat.

​Saat ia mendekati kotak itu, Aruna merasakan lagi resonansi yang sama. Hanya saja, kali ini lebih kuat, lebih pribadi. Itu bukan lagi sensasi listrik statis. Itu adalah tarikan.

​Tangannya terangkat secara naluriah menuju kotak itu. Saat ujung jarinya menyentuh logam dingin kotak itu, suara itu kembali—sebuah bisikan lirih yang kini terasa lebih jelas, seolah berbicara langsung ke dalam pikirannya.

​“Telah tiba waktunya… Laksmi… Kembalilah… Selamatkan… dia…”

​Aruna terhuyung mundur. Laksmi. Nama itu diucapkan dengan keintiman yang mendalam. Suara itu terasa seperti suara ibunya, tetapi juga suara ribuan tahun yang lalu. Itu adalah sebuah perintah, sebuah permohonan yang tak bisa ia abaikan.

​"Aruna?" Bima terbangun, mengucek matanya. "Apa yang kau lakukan di sini? Kau tidak bisa menyentuh kotak itu."

​Aruna menarik napas dalam-dalam, mencoba menstabilkan diri. "Aku... aku haus. Aku hanya ingin mengambil air di tenda logistik."

​"Kau salah jalan," kata Bima curiga, matanya menyipit. "Kembalilah tidur. Patung itu akan aman di sini."

​Aruna mengangguk, berbalik, dan berjalan kembali ke tendanya. Tapi saat ia berjalan, ia tahu bahwa ia tidak hanya 'salah jalan' malam ini. Selama ini, hidupnya mungkin sudah 'salah jalan'.

​Ia bukanlah Aruna, arkeolog yang skeptis, lagi. Ia adalah Aruna, yang sekarang menyandang beban sebuah takdir kuno. Sumpah Dewi Laksmi telah terbangun, dan telah memilihnya sebagai wadah.

​Di bawah pengawasan ketat, baik oleh rekan-rekan ilmiahnya maupun oleh kekuatan yang tak bisa dijelaskan, Aruna menyadari bahwa tugasnya yang sebenarnya baru saja dimulai, dan itu tidak akan melibatkan brush dan sekop, melainkan takdir dan sihir. Ia harus mencari tahu apa arti sumpah itu, siapa 'dia' yang harus ia selamatkan, dan mengapa, setelah ribuan tahun, Dewi Laksmi kembali melalui dirinya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel