Bab 1 Bisikan dari Reruntuhan yang Terlupakan
Kabut pagi di punggung bukit Pegunungan Kendeng bergelung malas, merayapi setiap lekukan candi-candi purba yang menjulang, membungkus mereka dalam selubung misteri yang abadi. Aruna, dengan napas teratur dan langkah penuh perhitungan, menapaki jalur setapak yang licin, tas ransel kulitnya bergesekan pelan dengan punggung. Aroma tanah basah dan daun-daun yang membusuk menyambutnya, bau khas dari hutan yang tak terjamah, yang menyimpan bisikan-bisikan masa lalu di setiap jengkalnya.
Sudah tiga bulan ia berkutat di situs Purbakala Lintang Jaya, sebuah kompleks reruntuhan yang baru ditemukan di jantung Jawa Tengah. Bukan reruntuhan biasa, Lintang Jaya memancarkan energi aneh, berbeda dari situs-situs lain yang pernah Aruna kunjungi. Ada daya tarik tak kasat mata, seolah reruntuhan itu sendiri memanggilnya, mengisahkan cerita yang belum selesai. Sebagai arkeolog muda yang ambisius dan sedikit terlalu idealis, Aruna tahu betul ia berada di ambang penemuan besar. Namun, timnya, yang dipimpin oleh Profesor Wisnu yang konservatif dan skeptis, lebih memilih pendekatan yang hati-hati—atau, seperti yang Aruna rasakan, terlalu lambat.
"Aruna, ingat petunjuk Profesor. Jangan menyimpang terlalu jauh dari sektor yang sudah kita petakan!" Suara Bima, asisten lapangan yang setia namun selalu was-was, memantul di antara pepohonan rimbun. Aruna hanya mengangkat tangan sebagai isyarat, tanpa menoleh. Ia tahu ia melanggar aturan. Lagi.
Sejak hari pertama ekspedisi, ada satu area yang terus memanggilnya: sebuah lembah terjal di sisi timur, yang oleh penduduk lokal disebut "Lembah Terlarang". Mereka menceritakan legenda kuno tentang lembah itu, tempat Dewi Laksmi mengorbankan keilahiannya demi cinta seorang raja fana, namun juga tempat kutukan abadi bersemayam. Profesor Wisnu dengan tegas melarang siapa pun mendekat, menyebutnya takhayul belaka yang bisa membahayakan integritas ilmiah tim. Tapi insting Aruna, yang selama ini jarang meleset, terus mendorongnya. Ada sesuatu di sana. Sesuatu yang penting.
Pagi ini, ia memutuskan untuk mengabaikan perintah. Dengan alasan mencari sampel lumut langka, Aruna diam-diam menyelinap, membawa peralatan esensialnya: parang kecil, brush arkeologi, kantong sampel, dan kamera DSLR lamanya. Jantungnya berdebar kencang, bukan hanya karena adrenalin melanggar aturan, tapi juga karena antisipasi.
Jalur ke Lembah Terlarang jauh lebih sulit dari yang ia duga. Tanaman merambat setebal lengan orang dewasa membelit pohon-pohon raksasa, membentuk jaring-jaring alami yang nyaris tak bisa ditembus. Tanah labil dan licin, penuh dengan batu-batu lepas yang siap menggelinding. Beberapa kali ia tergelincir, nyaris jatuh ke jurang dangkal yang menganga di sampingnya. Namun, dorongan yang tak bisa dijelaskan itu terus menariknya ke depan, seolah ada benang tak kasat mata yang mengikatnya dengan tujuan akhir.
Setelah hampir satu jam berjuang, Aruna akhirnya tiba di bibir lembah. Ia terkesiap. Pemandangan di depannya jauh melampaui imajinasinya.
Lembah itu memang tersembunyi, terlindungi oleh tebing-tebing curam dan hutan yang tak pernah terjamah. Di dasarnya, terbentang sebuah kuil kuno yang megah, atau lebih tepatnya, reruntuhan kuil yang kini ditelan oleh alam. Batu-batu pahatan yang dulunya membentuk dinding dan menara kini tercerai-berai, ditumbuhi lumut tebal, dihiasi sulur-sulur akar pohon beringin raksasa yang mencengkeram kuat. Kelembaban udara di sana terasa berbeda, lebih berat, lebih kuno. Kabut tipis masih menggantung di antara pilar-pilar yang patah, menciptakan aura mistis yang begitu pekat. Ini bukan sekadar reruntuhan. Ini adalah sebuah makam, sebuah tempat suci yang tertidur selama ribuan tahun.
Aruna mengeluarkan kameranya, mulai memotret setiap sudut. Detail ukiran yang masih samar terlihat di antara lumut. Beberapa figur dewi dengan ornamen rumit, pahatan lotus, dan motif-motif yang belum pernah ia lihat di situs manapun. Hatinya bergetar. Profesor Wisnu pasti akan terkesima—dan mungkin sangat marah karena ia berani menyelinap ke sini.
Ia mulai menuruni lereng yang lebih curam, berpegangan pada akar-akar pohon. Setiap langkah terasa seperti memasuki dimensi lain, menjauh dari dunia modern yang penuh data dan logika, masuk ke dalam alam yang penuh mitos dan legenda.
Saat kakinya akhirnya menyentuh lantai dasar lembah, ia merasakan getaran aneh merambat dari telapak kakinya ke seluruh tubuh. Bukan gempa bumi, melainkan semacam resonansi, seperti ada sesuatu yang baru saja terbangun dari tidur panjangnya. Aruna mengabaikannya, terlalu terpukau oleh keindahan tragis reruntuhan di depannya.
Ia menjelajahi setiap sudut yang bisa ia capai, membersihkan lumut dari beberapa pahatan dengan brush halusnya, mencoba mengidentifikasi simbol-simbol yang tersembunyi. Sebagian besar hancur, namun beberapa masih bisa dikenali. Ada pola daun beringin, lotus, dan figur wanita yang anggun.
Di tengah-tengah reruntuhan, di antara tiga pilar besar yang masih berdiri kokoh, Aruna melihat sesuatu yang berbeda. Ada sebuah altar batu kecil, sebagian besar terkubur oleh tanah dan akar. Namun, di atasnya, ada sebuah lekukan yang tampak disengaja, seperti tempat untuk meletakkan sesuatu.
Dengan hati-hati, Aruna mulai menggali di sekitar altar itu menggunakan brush dan sendok kecilnya. Tanah di sana lebih lembut, bercampur dengan butiran pasir halus yang terasa berbeda. Setiap sapuan brush semakin meningkatkan debar jantungnya. Ia merasa dekat. Sangat dekat.
Beberapa menit kemudian, ujung sendoknya menyentuh sesuatu yang keras. Bukan batu. Rasanya lebih halus, lebih dingin. Aruna membungkuk, dengan gemetar menyingkirkan sisa-sisa tanah.
Sebuah artefak muncul ke permukaan.
Benda itu berupa patung kecil setinggi sekitar 20 sentimeter, terbuat dari bahan seperti perunggu keemasan yang kini telah beroksidasi menjadi hijau kehitaman. Namun, yang membuat Aruna terkesima adalah detailnya. Patung itu menggambarkan sesosok wanita yang duduk bersila, dengan mahkota lotus di kepalanya, tangan kanannya memegang bunga lotus, dan tangan kirinya seolah memberikan berkat. Mata patung itu terukir indah, memancarkan kedamaian yang tak terlukiskan. Ini jelas adalah representasi seorang dewi. Dewi Kesuburan, atau mungkin Dewi Laksmi yang disebut dalam legenda.
Aruna menelan ludah. Ini adalah penemuan yang luar biasa. Sebuah patung dewi yang tersembunyi di dalam Lembah Terlarang yang belum terjamah! Ini akan mengubah segalanya.
Dengan sarung tangan arkeolognya, Aruna mengangkat patung itu perlahan dari tempatnya. Beratnya terasa pas di tangannya. Saat ia membalikkannya untuk melihat bagian belakang, ia melihat sebuah ukiran kecil di dasar patung. Itu bukan tulisan yang dikenalnya. Terlihat seperti aksara kuno yang sangat langka, mungkin dari periode pra-Hindu atau periode awal Hindu-Buddha.
Tiba-tiba, saat jemarinya menyentuh ukiran tersebut, sebuah sensasi aneh menjalar. Bukan dingin, bukan panas, melainkan semacam getaran energi yang melesat dari patung itu ke lengannya, lalu ke seluruh tubuhnya. Aruna merasakan kepalanya pening, pandangannya berputar. Warna-warna di sekelilingnya tampak memudar, lalu kembali dengan intensitas yang lebih kuat. Suara gemuruh pelan memenuhi telinganya, bukan guntur, melainkan seperti ribuan suara yang berbisik bersamaan.
Ia menjatuhkan patung itu karena terkejut, namun patung itu tidak hancur. Patung itu melayang beberapa sentimeter di atas tanah, memancarkan cahaya hijau giok lembut yang menerangi seluruh reruntuhan, menembus kabut dan pepohonan.
Aruna mundur selangkah, jantungnya berdebar kencang di balik tulang rusuknya. Ini bukan hal yang terjadi dalam arkeologi normal. Ini... ini adalah sesuatu yang di luar akal sehat.
Cahaya dari patung itu semakin terang, membentuk spiral energi di sekelilingnya. Dari cahaya itu, muncul bisikan-bisikan. Bukan kata-kata yang jelas, tetapi semacam nyanyian kuno yang memenuhi udara, menusuk relung jiwanya. Ia tidak mengerti bahasanya, namun Aruna merasakan kesedihan yang mendalam, kerinduan yang abadi, dan kekuatan yang sangat besar dalam bisikan itu.
Kemudian, gambar-gambar mulai melintas di benaknya, begitu cepat dan begitu nyata, seolah ia sedang mengalami ingatan orang lain.
Sebuah istana megah, dengan ukiran emas dan permata. Seorang raja muda yang tampan, matanya penuh cinta, menatapnya.
Seorang wanita anggun, dengan mahkota lotus dan sari yang berkilau, memancarkan aura cahaya. Dia adalah Dewi, Laksmi.
Sebuah tangan yang meraih, sentuhan yang lembut, sumpah yang diucapkan di bawah pohon beringin raksasa, diiringi nyanyian alam.
Lalu, kehancuran. Api, pedang, dan ratapan. Kerajaan yang dulu makmur kini luluh lantak, ditelan kegelapan.
Wajah sang Dewi yang penuh duka, sebuah keputusan yang berat. Mata yang menatap ke langit, mengucapkan perpisahan, lalu sebuah cahaya terang yang menghilang.
Gambar-gambar itu menghantam Aruna seperti gelombang, membuatnya tersentak. Ia jatuh berlutut, napasnya tersengal-sengal. Cahaya hijau giok dari patung itu perlahan meredup, kembali ke warnanya yang kusam, dan patung itu jatuh ke tanah dengan suara "tok".
Kepalanya masih berdenyut, namun penglihatannya kembali normal. Patung itu kini tergeletak di lumpur, tampak tak lebih dari sebuah artefak kuno yang biasa. Tidak ada lagi cahaya. Tidak ada lagi bisikan. Hanya keheningan lembah yang kembali menyelimutinya, seolah apa yang barusan terjadi hanyalah halusinasi akibat kelelahan dan hipoksia.
Namun, Aruna tahu itu bukan halusinasi. Getaran yang tersisa di tubuhnya, dan bayangan-bayangan yang begitu jelas di benaknya, terlalu nyata. Ia meraih patung itu lagi, kali ini dengan sarung tangan yang masih melekat erat. Tidak ada lagi sengatan energi, hanya keheningan.
Apa yang baru saja ia alami? Apakah itu ingatan? Mimpi? Atau... apakah itu adalah Sumpah Sang Dewi yang diceritakan dalam legenda?
Aruna menatap patung dewi di tangannya, lalu ke arah reruntuhan yang menjulang, dan kemudian ke arah puncak-puncak gunung yang membatasi lembah. Jantungnya bergemuruh dengan campuran ketakutan dan kegembiraan. Sebagai seorang ilmuwan, ia selalu mencari bukti, mencari penjelasan rasional. Namun, apa yang baru saja ia saksikan melampaui segala rasionalitas yang ia kenal.
Ia adalah Aruna. Seorang arkeolog. Ia percaya pada apa yang bisa ia lihat, sentuh, dan analisis. Tapi apa yang terjadi jika apa yang ia lihat dan rasakan justru membuyarkan semua definisi itu?
Sebuah pemikiran melintas di benaknya, dingin dan mendalam. Jika apa yang baru saja ia alami adalah sebagian dari ingatan Dewi Laksmi, sebuah kilasan dari masa lalu yang terkubur, lantas mengapa ia yang mengalaminya? Mengapa ia yang menemukan patung ini di Lembah Terlarang yang dikutuk?
Apakah ada kaitan antara dirinya, Aruna, dengan Dewi Laksmi yang legendaris itu? Mungkinkah sumpah reinkarnasi itu, yang selama ini hanya dianggap mitos, benar-benar nyata?
Aruna berdiri, memegang patung dewi itu erat-erat. Cahaya matahari pagi mulai menembus celah-celah pepohonan, menyinari sebagian kecil lembah, menampakkan keindahan dan kehancuran reruntuhan dengan lebih jelas.
Ia harus kembali ke perkemahan. Ia harus melaporkan penemuan ini. Tapi bagaimana ia akan menjelaskan apa yang terjadi? Siapa yang akan percaya padanya? Profesor Wisnu pasti akan menertawakannya, atau bahkan lebih buruk, menganggapnya gila.
Aruna menatap patung itu sekali lagi. Di mata dewi yang terukir, ia melihat pantulan sesuatu yang familiar, sesuatu yang pernah ia lihat di cermin setiap pagi. Sebuah kesamaan yang samar, sebuah kilatan energi yang tak terlukiskan.
Ini bukan sekadar penemuan arkeologi. Ini adalah permulaan. Permulaan dari sebuah takdir yang telah menunggu ribuan tahun, dan kini, entah bagaimana, telah memilih Aruna sebagai wadahnya.
Sumpah Sang Dewi mungkin telah terbangun, dan Aruna, sang arkeolog yang skeptis, kini berada di tengah-tengahnya, di Lembah Terlarang yang bisu, tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Sebuah bab baru dalam sejarah, dan juga dalam hidupnya, baru saja dimulai.
