Bab 2 • Mencoba Waras •
Hampir tengah malam, Zidan anak lain dari pak Rudi, baru memasuki rumah utama keluarga Rubiandini. Ia sengaja pergi menjauh karena tak sanggup melihat kemungkinan Rina yang bahagia bersama dengan Adam. Melihat mereka mungkin bermesraan setelah mengetahui kehamilan Rina. Zidan memilih menjauh dan fokus pada rencana awal, tentu tanpa melibatkan Rina. Melihat wanita kesepian itu mengingatkan nya pada Rihana sang mama yang telah meninggal beberapa tahun silam.
Zidan keluar dari kamar melalui balkon menatap langit malam dan menghirup udara malam itu. Zidan yang terdiam ditengah keheningan malam itu, ia justru mendengar suara tangisan. Zidan menoleh kearah suara itu berasal. Kamar Rina. Ia berjalan mendekat, mencondongkan tubuhnya ke samping kamar. Memastikan itu memang suara tangisan Rina.
Setelah Zidan yakin, ia melompati pagar pembatas antara balkon mereka. Ia berjalan mengendap dan berdiri tepat di depan pintu kaca yang sedikit terbuka. Melihat tubuh Rina meringkuk dilantai depan pintu dan sebuah box di samping perutnya. Mata Zidan melebar, bergegas ia menyelinap masuk melewati pintu yang sedikit terbuka itu.
"Rina."
Rina yang terkulai meringkuk di lantai dengan air mata yang masih berderai menoleh kearah suara. Melihat Zidan berdiri tak jauh dari pintu. Ia bangun, air matanya makin jatuh berderai, bibirnya semakin melengkung kebawah. Dan tangis nya pecah, Zidan berjongkok dan memeluk tubuh Rina yang menangis tersengal-sengal dalam pelukannya.
"Apa yang terjadi? Kenapa menangis? Mana Adam?"
Tangis Rina semakin kencang, dan terdengar sangat pilu. Zidan mengeratkan Pelukannya dan mengusap rambut Rina dengan sayang. Hanya agar wanita dalam pelukannya itu menjadi tenang dan merasa aman.
Sesaat lamanya tangis Rina berangsur reda.
"Kenapa dihari yang membahagiakan ini kamu justru menangis, heemm??"
"Mas Adam menolaknya, Zi. Dia tidak mengakuinya." Tangis Rina menatap mata Zidan yang tangannya menghapus pipi wanita dihadapannya. Mesti berulang kali mengusapnya, pipi itu tetap basah.
"Dia bilang ini bukan benihnya, dia bilang aku sudah berhianat."
"Kenapa?"
"Dia bilang dia vasektomi, Zi. Dia vasektomi, dia menolaknya... Ini bukan anaknya...." Rina kembali menangis tersengal." Selama lima tahun ini aku terus merasa buruk, menjadi wanita yang tak utuh dan tak sempurna, aku selalu menangis setiap kali melihat testpack ku satu garis. Hati hancur setiap bulannya aku mengalami siklus ku."
Rina makin tersengal menunjuk box dimana tumpukan testpack yang dia simpan rapi, yang kini ada disampingnya.
"Sebanyak ini hatiku hancur berkali-kali Zi. Dan hari ini, saat kurasakan secuil kebahagian dari apa yang aku nantikan, mas Adam menolaknya. Dengan entengnya dia bilang vasektomi."
Rina mukul-mukul dadanya,"sakit Zi, disini sangat sakit."
"Tega nya mas Adam padaku."
Rina meraung, menangis memandang box berisi testpack nya. "Dia sudah menghancurkan hati berkali-kali dan aku tidak menyadarinya, aku terus menyalahkan diri sendiri."
Rina memukul lagi dadanya. "Sakit Zi, disini sakit."
Malam itu Rina hanya menangis sampai ia tertidur. Zidan membaringkannya diatas ranjang dan menyelimuti tubuh Rina hingga sebatas dada. Wajah itu masih tetap terlihat sendu walau sedang tertidur.
Zidan berjalan lagi, mengambil box berisi puluhan testpack didalamnya. Ia membuang nafasnya. Terbayang lagi wajah Rina yang menangis dan berulang kali memukul dadanya. Membuat mata Zidan berembun.
"Jika memang tak ada cinta, mau sehancur apapun hatinya tetap akan sampai untuk menyakiti."
###
Pagi itu Zidan menemui pak Rudi,
"Apa yang terjadi semalam?"
Pak Rudi menghela nafasnya.
"Rina hamil, saat Adam vasektomi."
"Lalu?"
"Aku juga tak tau dengan siapa dia....."
"Maksud papa, Rina benar-benar berhubungan dengan pria lain? Begitu?" Zidan menekannya ucapannya dengan pandangan menyangkal.
"Masalahnya, Adam vasektomi. Zidan..."
"Dan papa percaya?"
Pak Rudi terdiam, menatap wajah anaknya yang satu ini, membuatnya mengingat Rihana. Wanita yang sudah ia sakiti dengan tidak adil. Dan kini, mungkin ia telah melakukan lagi pada Rina.
"Anggaplah apa yang di katakan Adan benar. Dia vasetomi, lalu apa itu menutup kemungkinan adanya kebocoran?"
"Zidan.."
"Rina nggak mungkin melakukan itu dengan pria manapun pa." Zidan kini malah tak percaya, orang yang sangat menyayangi Rina seperti ayahnya justru kini ikut meragukan janin di dalam perut Rina.
"Tetap saja...." suara pak Rudi,
Rina berdiri didepan pintu ruang kerja pak Rudi, terdiam dengan tangan yang menyentuh handel pintu. Perlahan tangan itu bergerak turun dengan lemas, wajah Rina menjadi semakin sedih. Setelah mendengar percakapan antara Zidan dan pak Rudi dari balik pintu itu.
Rina berjalan dengan gontai. Menyusuri komplek perumahan pandangan matanya kosong, tanpa menyadari sebuah mobil merah mengikutinya cukup lama. Hingga pemiliknya sangat tak sabar dan berhenti tepat di samping Rina. Akan tetapi, wanita itu masih berjalan dengan lamunan dan tatapan yang kosong. Hingga memaksa Zidan keluar dari dalam mobil dan memotong langkah Rina.
Rina mendongak menatap sosok yang menghalangi jalannya.
"Ini jam kerja, kenapa malah jalan-jalan disini?"
"Zidan....."
"Boz!"
"Boz...."
Zidan bernafas berat. Lalu menarik lengan Rina memasuki mobil. Zidan pun melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Ia menyetir, namun sesekali ekor matanya melirik wanita berwajah sendu disampingnya.
"Apa kau mau membolos?"
"Bolehkah?"
"Tidak."
"Kita masih ada meeting dengan beberapa vendor dan klien. Aku tau kamu sedang dalam masa sulit. Tapi, bisakah kau bersikap profesional dalam bekerja?"
"Baiklah. Sepertinya aku akan mengundurkan diri hari ini."
"RINA!"
"Aku harus bagaimana bos? Aku sedang tidak baik-baik saja. Aku tak bisa berfikir, aku tak bisa bekerja, aku tak bisa melakukan apapun saat ini. Aku ingin mencari mas Adam, tapi aku tidak tau dimana dia. Aku ingin menjelaskan padanya, ini sungguh anaknya, ini benihnya, ini miliknya. Kenapa dia tidak mau mengakuinya, Zi?" Rina menangis tersedu-sedu memegangi kepalanya dengan kedua tangan dengan frustasi.
Zidan hanya terdiam dan tak mengatakan apapun. Ia tau sehancur apa perasaan Rina. Sesakit apa hatinya kini. Zidan mengusap wajahnya kasar.
"Aku akan membantumu mencarinya."
"Benarkah?" seketika Rina menoleh menatap wajah Zidan dengan pengharapan.
"Tentu Saja. Aku berjanji. Tapi ada syaratnya."
"Katakan!"
"Dalam lima hari ini, bekerjalah sesuai schedule mu. Dan lakukan pekerjaanmu dengan baik. Fokuslah! Aku akan mengurus cuti mu untuk beberapa hari kedepan. Selanjutnya, kita temukan dimana suamimu. Bagaimana?"tawar Zidan masih fokus didepan.
Eina menatap Zidan dengan mata berair, namun ia tak meragukan Zidan sedikitpun.
"Baiklah."
"Bagus! Dimulai dari meeting dengan vendor jam 10. Lalu lanjutkan schedule-mu."
Sesuai kesepakatan, Rina benar-benar berusaha keras bekerja dan melupakan sesaat masalahnya, ia juga melupakan tentang kehamilannya. Selama tiga hari itu Rina memforsir tenaga dan tubuhnya. Hingga ia jatuh pingsan di dalam sebuah lift saat mengantar beberapa klien meninjau perkembangan product yang mereka buat.
"Apa? Rina pingsan di lift?"
Mata Zidan melebar saat ia melintas bersama beberapa orang yang tanpa sengaja mendengar salah satu scurity berbicara melalui HT nya.
"Dimana?"
Scurity itu tersentak kaget tiba-tiba Zidan menarik lengan nya dan bertanya.
"sorry?"
"Dimana Rina?"
"Di lift nomor 3 lantai 6."
Tanpa kata lagi, Zidan langsung berlari ketempat yang dimaksud. Dan tak memperhatikan pandangan dan panggilan orang-orang yang bersamanya tadi.
Sesampainya di lift yang dikerubungi beberapa orang, Zidan menyibak kerumunan itu. Seorang wanita memangku kepala Rina dan memberinya minyak angin. Wanita itu mendongak menatap Zidan yang mendekat.
"Hei! Apa tandunya masih belum datang?" Tanya salah satu orang yang berdiri didepan kerumunan.
"Belum. Tapi aku sudah menghubungi pihak terkait."
"Terus gimana? Apa mau dibiarin gini aja?"
Beberapa dari mereka heran melihat bos Zidan ada disana. Dan mereka dibuat semakin terperangah melihat Zidan langsung menerobos dan mengangkat tubuh Rina. Membawanya tanpa kata.
"Pak Zidan...."
"Biar aku yang mengurusnya. Tolong, lanjutkan apa yang sudah dia kerjakan." Ucap Zidan sambil melangkah lebar menjauh dari kerumunan yang terdengar berbisik-bisik dengan opini masing-masing.
______
Bersambung...
